Makalah Wadiah dan Ji'alah

Pict : Unsplash

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat  menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Shalawat dan salam tak lupa senantiasa kita sanjungkan kepada Nabi Muhammad SAW yang kita harapkan syafa’atnya di yaumulqiyamah nanti, amin.
Penyusunan makalah ini dibuat guna memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Muamalah  .makalah ini berjudul “ JIALAH DAN WADIAH ”, yang membahas tentang pengertian dan dasar hukum ji’alah, rukun dan syarat ji’alah, perbedaan ji’alah dengan ijarah, sifat ji’alah, berakhirnya aad ji’alah, Pengertian wadiah , macam macam wadiah, rukun wadiah dan batasan – batasan menjaga wadiah.
   Kami menyadari bahwa makalah ini belum sempurna,baik dalam hal penulisan maupun pokok bahasan yang kami jelaskan. Berkaitan dengan hal tersebut kami selaku penulis sangat mengharapkan saran, agar kedepannya kami bisa memperbaiki kesalahan-kesalahan kami yang lalu. 



BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
           Di antara muamalah yang cukup penting pada masa sekarang ini adalah keamanan, kenyamanan, serta kepastian hukum dalam menitipkan uang dan/ataupun mencari pinjaman dana, yang di dalam hal ini bank serta memberikan upah yang sesuai kepada seseorang berdasarkan dengan ketentuan yang ada.
        Al-wadiah merupakan salah satu akad yang digunakan oleh bank syariah untuk produk penghimpunan dana pihak ketiga.  Al-wadiah merupakan prinsip simpanan murni dari pihak yang menyimpan atau menitipkan kepada pihak yang menerima titipan untuk di manfaatkan atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan ketentuan. Titipan harus dijaga dan dipelihara oleh pihak yang menerima titipan, dan titipan ini dapat diambil sewaktu-waktu pada saat dibutuhkan oleh pihak yang menitipkannya. Dalam akad al-wadiah, bank syariah dapat menawarkan dua produk perbankan yang telah dikenal oleh masyarakat luas yaitu giro dan tabungan. 
        Berbeda dengan Wadiah akad ji’alah identik dengan sayembara, yakni menawarkan sebuah pekerjaan yang belum pasti dapat diselesaikan. Jika seseorang mampu menyelesaikan maka ia berhak mendapat hadiah atau upah. Secara harfiah ji’alah bermakna sesuatu yang dibebankan kepada orang lain untuk dikerjakan, atau perintah yang dimandatkan kepada seseorang untuk dijalankan

B.     RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam penilitian ini adalah sebagai berikut.
a.  Apa pengertian dan dasar hukum ji’alah?
b.  Apa saja rukun dan syarat ji’alah?
c.   Apa Pengertian wadiah  ?
d.   Apa Macam Macam wadiah ?
e.   Apa dasar hukum wadiah ?
f.   Bagaimana  Rukun dan syarat wadiah
g.  Bagaimana Penerapan wadiah di perbankan syariah ?
h.  Apa  hikmah adanya wadiah dan jialah ?

C.    TUJUAN PENULISAN
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut.
a.  Menjelaskan apa yang dimaksud dengan ji’alah beserta dasar hukum yang  menjelaskan terjadinya ji’alah.
b.  Menguraikan rukun dan syarat dari jialah.
c.  Menjelaskan pengertian wadiah 
d.  Menjelaskan macam macam wadiah 
e. Menjelaskan dasar hukum wadiah
f.  Menjelaskan rukun dan syarat wadiah 
g.  Menjelaskan penerapan wadiah di perbankan syariah
h.  Menjelaskan hikmah adanya wadiah dan jialah 


BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN DAN DASAR HUKUM JI’ALAH
            Ji’alah atau ju’alah berasal dari kata ja’ala – yaj’lu – ja’lan. Secara harfiah bermakna mengadakan ataumenjadikan, sedangkan ju’alah  berarti upah. Secara syara’ sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid Sabiq ji’alah adalah sebuah akad untuk mendapatkan materi (upah) yang di duga kuat dapat diperoleh.
                  Istilah ji’alah dalam kehidupan sehari-hari diartikan oleh fuqaha yaitu memberi upah kepada orang lain yang dapat menemukan barangnya yang hilang atau mengobati orang yang sakit atau menggali sumur sampai memancarkan air atau seseorang menang dalam sebuah kompetisi. Jadi, ji’alah bukan hanya terbatas pada barang yang hilangnamun dapat setiap pekerjaan yang dapat menguntungkan seseorang.
                Kata jialah dapat dibaca jaalah. Pada zaman rasulullah jialah telah dipraktikkan. Dalam shahih Bukhari dan Muslim terdapat hadis yang menceritakan tentang seorang badui yang disengat kala kemudian dijampi oleh seorang sahabat dengan upah bayaran beberapa ekor kambing.
                Menurut Mazhab Hanafi ji’aah tidak diperbolehkan karena di dalam ji’alah ada ghararatau tidak diketahuinya pekerjaan yang akan dilakukan dan waktu pekerjaannya. Hanya saja berdasarkan isthsan ji’alah dibolehkan, misalkan menjanjikan upah untuk mengembalikan budak yang melarikan diri. Ulama Malikiyah, Syafiiyah dan Hanabilah membolehkan ji’alah berdasarkan QS Yusuf [12: 72]

 قَالُوا نَفْقِدُ صُوَاعَ الْمَلِكِ وَلِمَن جَاءَ بِهِ حِمْلُ بَعِيرٍ وَأَنَا بِهِ زَعِيمٌ ﴿٧٢﴾   
“Dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan Aku menjamin terhadapnya”.

            Masyarakat membutuhkan ji’alah sebb terkadang pekerjaan (untuk mencapai suatu tujuan) tidak jelas bentuk dan waktu pelaksanaannya, seperti mengembalikan budak yang hilang, hewan hilang dan sebagainya. Untuk pekerjaaan ini tidak sah dilakukan akad ijarah padahal seseorang membutuhkannya  agar  kedua barang yang hilang bisa kembali. Sementara itu, ia dapat menemukan orang yang mau membantu mengembalikannya sacara sukarela (tanpa imbalan). Oleh karena itu, adanya kebutuhan masyarakat dalam keadaan seperti itu mendrong agar akadji’alah dibolehkan sekalipun bentuk dan masa pelaksanaan pekerjaan tersebut tidak jelas.

            Dari pengertian ini, dalam  ji’alah terdapat unsur-unsur:
a.       Pekerjaan khusus, misalnya mencari barang yang hilang, atau menyembuhkan penyakit. Biasanya pekerjaan yang akan dilakukan merupakan pekerjaan yang sulit bagi orang-orang yang membuat pengumuman. Hal inilah yang membedakan antara ji’alah (sayembara) dengan musaqah (perlombaan) atau dengan undian.
b.      Upah terhadap orang yang berhasil melakukan pekerjaan. Apakah hadiah itu berbentuk materiil atau imateriil, seperti diangkat menjadi saudara.
Ji’alah dibolehkan dalam islam berdasarkan QS Yusuf [12: 72]
قَالُوا نَفْقِدُ صُوَاعَ الْمَلِكِ وَلِمَن جَاءَ بِهِ حِمْلُ بَعِيرٍ وَأَنَا بِهِ زَعِيمٌ ﴿٧٢﴾
Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya." 

Dalam hadis Nabi dijelaskan: Dari Ibn Abas, Rasulullah Saw, bersabda: “Sesungguhnya perkara yang paling berhak mendapatkan upah adalah mengajarkan membaca Al-Qura’an”.
            Para ulama sepakat tentang kebolehan ji’alah, karena memang diperlukan untuk mengembalikan hewan yang hilang, atau pekerjaan yang tidak sanggup dikerjakan dan tidak ada orang yang bisa membantu secara sukarela. Pekerjaan itu tidak dapat dilakukan dengan akad ijarah karena tidak jelas batas pekerjaan waktu dan sebagainya sehingga yang boleh dilakukan dengan memberinya ja’alah seperti akad sewa dan bagi hasil.

B.     RUKUN DAN SYARAT JI’ALAH
            Ji’alah merupakan akad antara dua orang atau lebih agar orang yang menerimaji’alah melakukan pekerjaan khusus seperti menyembuhkan orang yang sakit atau menemukan barang yang hilang. Ji’alah dibolehkan karena dibutuhkan. Ji’alah menjadi sah kalau terpenuhi rukun dan syaratnya sebagai berikut:
a.       Ja’il (pihak yang berjanji akan memberikan imbalan), harus ahliyah atau cakap bertindak hukum, yakni baligh, berakal dan cerdas. Dengan demikian anak-anak, orang gila dan orang yang berada dalam pengampuan tidak sah melakukan ju’alah. Sementara itu, orang yang melakukan pekerjaan jika ia ditentukan maka ia harus orang yang cakap melakkan pekerjaan tersebut dan mendengar jiala boleh melakukannya.
b.      Ju’lah (upah)
Upah dalam ja’alah harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
Pertama, upah yang dijanjikan harus berupa sesuatu yang bernilai harta dan dalam jumlah yang jelas. Jika upah berbentuk barang haram seperti minuman keras makajialah tersebut batal.
Kedua, bayaran itu harus diketahui dan harus ada pengetahuan tentangnya, misalnya “siapa yang mengembalikan hartaku atau hewanku yang hilang maka dia mendapat pahala, atau ridha, akad seperti ini tidak sah.
Ketiga, upah yang bleh disyaratkan diberikan di muka (sebelum pelaksaan ju’alah).
c.       ‘Amal (pekerjaan)
Pekerjaan dalam ja’alah harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
Pertama, pekerjaan yang diharapkan hasilnya itu harus mengandung manfaat yang jelas dan boleh dimanfaatkan menurut syara’. Ji’alah tidak diperolehkan terhadap pekerjaan dalam bentuk mengeluarkan jin dari diri seseorang atau membebaskan dari sihir. Karena keluar atau bebas dari sihir tdak dapat diketahui secara jelas. Oleh karena itu, ji’alah tidak boleh terhadap sesuatu yang diharamkan.
Kedua, Mazhab Maliki mensyaratkan, ju’alah tidak boleh dibatasi dengan waku tertentu, seperti mengembalikan (menemukan) orang yang hilang dalam satu hari.
Ketiga, Mazhab Malikyiah menyatakan baha pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan yang mudah dilakukan meskipun dilakukan berulang kali seperti mengembalikan binatang ternak yang lepas dalam jumlah yang banyak.
Keempat, pekerjaan yang ditawarkan secara hukum bukan pekerjaan yang wajib bagi pekerja, jika ia wajib secara syar’i maka dia tidak berhak mendapat upah, misalnya seseorang mengatakan “siapa yang mengembalikan hartaku yang hilang maka ia mendapat begini, kemudian dikembalikan oleh orang yang merampasnya maka orang tersebut tidak berhak mendapat upah yang telah disebutkan, sebab sesuatu yang wajib dilakukan secara syar’i tidak ada upah baginya.
d.      Shighat (ucapan)
Ucapan ini datang dari pihak pemberi ji’alah sedangkan dari pihak pekerja tidak disyratkan ada ucapan kabul darinya dan ji’alah tidak batal seandainya dia menjawab, misalnya ia berkata: saya akan kembalikan hewanmu atau mobilmu dan saya mendapat bayaran satu dinar. Kemudian, pemberi ja’alah berkata ya maka itu sudah dianggap cukup. Ijab harus disampaikan dengan jelas oleh pihak yang menjanjikan upah walaupun tanpa ucapa kabul dari pihak yang melaksanakan pekerjaan. Lafaz, diisyaratkan mengandung izin untuk melakukan pekerjaan kepada setiap orang yang mampu, dan tidak dibatasi waktunya.
Termasuk dalam syarat ini beberapa gambaran di antara yang paling penting:
1)      Jika pemberi ji’alah mengizinkan seseorang lalu yang bekerja orang lain, maka orang itu tidak berhak mendapatkan sesuatu walaupun dia dikenali sebagai orang yang memiliki keahlian dengan pekerjaan tersebut.
2)      Jika pemberi ji’alah berkata: “siapa yang bisa mengembalikan untaku atau mobilku, maka dia mendapat satu dinar” lalu dikembalikan oleh orang yang tidak mendengar panggilan tersebut, dia tidak berhak mendapat ji’alah sebab dia rela mengmbalikan tanpa ada upah.

C.   PENGERTIAN WADIAH 
Secara etimologi wadi’ah ( الودعة) berartikan titipan (amanah). Kata Al-wadi’ah berasal dari kata wada’a (wada’a – yada’u – wad’aan) juga berarti membiarkan atau meninggalkan sesuatu. Sehingga secara sederhana wadi’ah adalah sesuatu yang dititipkan.
Dalam literatur fiqh, para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikannya, disebabkan perbedaan mereka dalam beberapa hukum yang berkenaan dengan wadi’ah tersebut yaitu perbedaan mereka dalam pemberian upah bagi pihak penerima titipan, transaksi ini dikatagorikan taukil atau sekedar menitip, barang titipan tersebut harus berupa harta atau tidak.
            Secara terminologi wadi’ah menurut mazhab hanafi, maliki dan hambali. Ada dua definisi wadi’ah yang dikemukakan ulama fiqh :
·         Ulama Hanafiyah :
تسليط الغير على حفظ ماله
“mengikutsertakan orang lain dalam memelihara harta, (baik dengan ungkapan yang jelas, melalui tindakan, maupun melalui isyarat)”
·         Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah (Jumhur Ulama) :
توكيل في حفظ مملوك على وجه مخصوص
“mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu”
·         Secara harfiah, Al wadiah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak kepihak yang lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendakinya.
·         Sementara itu menurut Menurut UU No 21 Tentang Perbankan Syariah yang dimaksud dengan “Akad wadi’ah” adalah Akad penitipan barang atau uang antara pihak yang mempunyai barang atau uang dan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan, serta keutuhan barang atau uang.

D.     MACAM MACAM WADIAH
1.      Wadiah Yad Dhamanah
Adalah akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima titipan (Wadi’i) dengan atau tanpa ijin pemilik barang/uang (Muwaddi), dapat memanfaatkannya dan bertanggung jawab terhadap kehilangan atau kerusakan barang/uang titipan tersebut. “diriwayatkan dari Abu rafie bahwa Rasulullah SAW pernah meminta seseorang untuk meminjamkannya seekor unta. Maka diberinya unta qurban (berumur sekitar 2 tahun), setelah selang beberapa waktu, Rasulullah SAW memerintahkan Abu rafie untuk mengembalikan unta tersebut kepada pemiliknya, tetapi Abu rafie kembali kepada Rasulullah SAW seraya berkata,”Ya Rasulullah, unta yang sepadan tidak kami temukan, yang ada hanya unta yang besar berumur empat tahun. Rasulullah SAW berkata “Berikanlah itu karena sesungguhnya sebaik-baiknya kamu adalah yang terbaik ketika membayar.” (HR Muslim).
2.      Wadiah Yad Amanah
Adalah akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima (Wadi’i) tidak diperkenankan penggunaan barang/uang dari si penitip (Muwaddi) tersebut dan tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau kelalaian yang bukan disebabkan oleh kelalaian si penerima titipan (Wadi’i). Dan sebagai gantinya si penitip (Muwaddi) wajib untuk membayar kepada orang yang dititipi (Wadi’i), namun boleh juga untuk tidak membayar asalkan orang yang dititipi tidak merasa keberatan dan menganggapnya sedekah.
Ada dalil yang menegaskan bahwa wadi’ah adalah akad tanpan jaminan, yaitu adalah :
   1.  Amr Bin Syuaib meriwayatkan dari bapaknya, dari kakeknya bahwa Nabi    
        SAW bersabda : “penerima titipan itu tidak menjamin”.
   2.  Karena Allah menamakannya amanat, dan jaminan bertentangan dengan 
        amanat.
  3. Penerima titipan telah menjaga titipan tersebut tanpa imbalan (tabarru). 

E. DASAR HUKUM WADIAH
Beberapa dasar hukum yang melandasi wadi’ah, di antaranya:
1. Al-Quran
a. Q.S. An-Nisa Ayat 58
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.”
Berdasarkan ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa barang titipan harus dikembalikan kepada pemiliknya disaat pemilik harta titipan memintanya dan penerima titipan wajib mengembalikan amanat tersebut tepat waktu sesuai dengan kesepakan oleh keduanya. Penerima titipan juga wajib mengembalikannya secara jujur, artinya tidak menipu dan menyembunyikan rahasia dari pemilik titipan tersebut. Menurut para mufasir, ayat tersebut turun karena berkaitan dengan penitipan kunci Ka’bah kepada Utsman bin Thalhah (seorang sahabat Nabi) sebagai amanat dari Allah
b. Q.S. al-Baqarah ayat 283
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Berdasarkan ayat tersebut dapat disimpulkan apabila dalam melakukan akad wadi’ah haruslah saling mempercayai dan berbaik sangka pada masing-masing pihak, yaitu tidak adanya pengkhianatan atau mengingkari hak-hak dan kewajiban-kewajibannya. Penerima titipan juga harus dapat menunaikan amanat yang diberikan penitip harta kepadanya sebaik mungkin. Penerima titipan harus dapat mempercayai dirinya sendiri bahwa ia sanggup menjaga harta titipan yang diserahkan kepadanya tersebut, karena makruh hukumnya terhadap orang yang dapat menjaganya tetapi ia tidak percaya pada dirinya sendiri bahwa ia dapat menjaganya. Selain itu apabila seseorang tersebut tidak kuasa atau tidak sanggup untuk menjaga harta titipan sebagaimana mestinya hukumnya haram, karena seolah-olah ia membukakan pintu untuk kerusakan atau lenyapnya barang yang dititipkan tersebut. 
2. Hadist
a. Hadist yang menjadi landasan wadi’ah, yaitu:
“Tunaikanlah amanah kepada orang yang mengamanahkan kepadamu, dan janganlah kamu mengkhianati orang yang mengkhianatimu." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Al Irwaa' 5/381). 
Berdasarkan hadis tersebut dapat disimpulkan orang yang merasa mampu dan sanggup menerima barang titipan adalah sangat baik dan mengandung nilai ibadah juga mendapat pahala, disamping mempunyai nilai sosial yang tinggi. 
b. Hadits yang diriwayatkan dari Arar bin Syu’aib dari bapaknya, dari kakeknya, bahwa Nabi saw, bersabda:
“Barang Siapa yang dititipi, ia tidak berkewajiban menjamin’’. (Ibnu Majah: Jilid 2: 353) 
Hadits ini menerangkan bahwa orang yang menerima titipan tidak berkewajiban menjamin kecuali apabila dia tidak melakukan kewajiban sebagaimana mestinya atau melakukan jinayah terhadap barang titipan.
Ibnu Umar berkata bahwasanya Rasulullah telah bersabda, “Tiada kesempurnaan iman bagi setiap orang yang tidak beramanah, tiada shalat bagi yang tidak bersuci”. (HR. Thabrani) 
3. Ijma’
Para tokoh ulama Islam sepanjang zaman telah melakukan ijma’ (konsesus) terhadap legitimasi al-wadi’ah karena kebutuhan manusia terhadap hal ini jelas terlihat, seperti dikutip oleh Az-Zuhayly dalam Fiqh al-Islam wa Adillatul dari Kitab al-Mughni wa Syarh Kabir li Ibni Qudamah dan Mubsuth li Imam Sarakhsy. 
Pada dasarnya, penerima simpanan adalah yad al-amanah (tangan amanah), artinya ia tidak bertanggung jawab atas kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset titipan selama hal ini bukan akibat dari kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan dalam memelihara barang titipan (karena faktor-faktor diluar batas kemampuan). Hal ini telah dikemukakan oleh Rasulullah dalam suatu hadis, ‚Jaminan pertanggungjawaban tidak diminta dari peminjam yang tidak menyalahgunakan (pinjaman) dan penerima titipan yang tidak lalai terhadap titipan tersebut.‛ 
4. Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN)
a. Fatwa DSN No. 01/DSN-MUI/IV/2000 tentang giro berdasarkan prinsip wadi’ah, yaitu dengan ketentuan sebagai berikut:
1) Bersifat titipan
2) Titipan bisa diambil kapan saja (on call)
3) Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athaya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.
b. Fatwa DSN No. 02/DSN-MUI/IV/2000 tentang tabunganberdasarkan prinsip wadi’ah, dengan ketentuan sebagai berikut:
1) Bersifat simpanan
2) Simpanan bisa diambil kapan saja (on call) atau berdasarkan kesepakatan
3) Tidak ada imbalan yang diisyaratkan kecuali dalam bentuk pemberian (‘athaya) yang bersifat suka rela dari pihak bank.

F.    RUKUN DAN SYARAT WADIAH
    a. Rukun wadiah :
         Rukun merupakan hal yang sangat penting yang harus dilakukan, jika rukun tersebut tidak ada salah satu, maka akad wadi’ah tidak sah. Wadi’ah mempunyai tiga rukun yang harus dilaksanakan. Adapun rukun yang harus dipenuhi dalam transaksi dengan prinsip wadi’ah menurut jumhur ulama adalah sebagai berikut: 
1. Orang yang menitipkan barang (muwadi’)
2. Orang yang dititipi barang (wadi’)
3. Barang yang dititipkan (wadi’ah)
4. Ijab qabul (sighat)
Menurut ulama Mazhab Hanafi menyatakan bahwa rukun wadi’ah hanya satu, yaitu ijab dan qabul, sedangkan yang lainnya termasuk syarat bukan rukun. 
b. Syarat wadiah 
Sahnya perjanjian wadi’ah  harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Orang yang melakukan akad sudah baligh, berakal dan cerdas (dapat bertindak secara hukum), karena akad wadi’ah, merupakan akad yang banyak mengandung risiko penipuan. Oleh sebab itu, anak kecil sekalipun telah berakal, akan tetapi tidak dibenarkan melakukan akad wadi’ah, baik sebagai orang yang menitipkan barang maupun sebagai orang yang menerima titipan barang. Disamping itu, jumhur ulama juga mensyaratkan orang yang berakad harus cerdas. Sekalipun telah berakal dan baligh, tetapi kalau tidak cerdas, hukum wadi’ah -nya tidak sah. 
2. Barang titipan itu harus jelas dan dapat dipegang dan dikuasai. maksudnya, barang titipan itu dapat diketahui jenisnya atau identitasnya dan dikuasai untuk dipelihara. 
3. Bagi penerima titipan harus menjaga barang titipan tersebut dengan baik dan memelihara barang titipan tersebut di tempat yang aman sebagaimana kebiasaan yang lazim berlaku pada orang banyak berupa pemeliharaan. 

I. PENERAPAN WADIAH DI PERBANKAN SYARIAH 

Dalam penerapannya, produk bank Syariah dengan akad wadiah menerapkan prinsip wadiah yad amanah dan wadiah yad dhamanah. Terkait dengan kedua produk tersebut, dalam pelaksanaannya perbankkan Syariah lebih menerapkan prinsip wadiah yad dhamanah. Padahal, akad wadiah yad dhamanah secara nama tidak ditemukan dalam literatur fikih klasik dan apabila dibedah prinsip ini ditemukan dua akad yang sifatnya bertentangan namun dipaksakan. 
Adanya unsur dua akad dalam prinsip wadi’ah yad dhamanah , karena di dalam praktiknya baik produk Giro Wadi’ah ataupun Tabungan Wadi’ah, bank meminta pihak penitip (nasabah) memberikan kewenangan kepada pihak bank untuk mengelola titipan/asetnya, dan bank memiliki hak penuh atas hasil  yang diperoleh dari pemanfaatan titipan nasabah, dengan kata lain bank tidak dikenai tanggungjawab (kewajiban) membagi hasilnya.
Padahal, secara asal di dalam prinsip wadi’ah, pemanfaatan suatu titipan dalam bentuk apapun hukumnya terlarang, karena apabila telah ada unsur penggunaan oleh pihak yang dititipi maka akadnya pun berubah. Di dalam fikih, yang demikian dikatakan sebagai prinsip pinjam-meminjam (qard). Melalui sekilas gambaran seputar prinsip wadiah yad dhamanah yang di dalamnya terkandung unsur wadiah dan qard, namun lebih layak berlandaskan qard.
Jika kita cermati lebih lanjut, dapat diketahui dengan jelas bahwa wadi’ah yang ada di perbankan syariah bukanlah wadi’ah yang dijelaskan dalam kitab-kitab fiqih. Wadi’ah perbankan syariah yang saat ini dipraktekkan, lebih relevan dengan hukum dain/piutang, karena pihak bank memanfaatkan uang nasabah dalam berbagai proyeknya. Sebagaimana nasabah terbebas dari segala risiko yang terjadi pada dananya. Karena alasan ini, banyak dari ulama kontemporer yang mengkritisi penamaannya dengan wadi’ah. Dan sebagai gantinya mereka mengusulkan untuk menggunakan istilah lain, semisal al-hisabal-jari atau yang secara bahasa bermakna account. 

J. HIKMAH ADANYA WADIAH DAN JIALAH
  a. Hikmah adanya Wadiah
Mengamankan dan menjaga barang agar terhindar dari bahaya atau pencurian
Dengan wadi’ah terwujudnya sikap tolong menolong sesama anggota masyarakat yang dengan itu pula yang menrima titipan akan mendapat rahmat serta pertolongan Alloh.
Terjalinnya hubungan baik .

b.Hikmah adanya ji'alah 
Berlomba-lomba dalam kebaikan yaitu menolong orang yang sangat memrlukan pertolongan manusia
menemukan orang yang punya prestasi atau loyalitas yang tinggi
Menumbuhkan semangat dan percaya diri untuk melakukan sesuatu.


BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Ji’alah diartikan sebagai sesuatu yang disiapkan untuk diberikan kepada seseorang yang berhasil melakukan perbuatan tertentu,  atau juga diartikan sebagai sesuatu yang diberikan kepada sesorang karena telah melakukan pekerjaan tertentu. Dan berdasarkan landasan hukum tentang ji’alah, maka ji’alah hukumnya yaitu mubah atau dengan kata lain boleh dilakukan akan tetapi dengan syarat-syarat tertentu juga yang telah di tentukan ilmu fiqih yang diajarkan dalam agama islam.
          Wadi’ah adalah penitipan, yaitu akad seseorang kepada yang lain dengan menitipkan benda untuk dijaganya secara layak. Apabila ada kerusakan pada benda titipan tidak wajib menggantinya, tapi bila kerusakan itu disebabkan oleh kelalaiannya maka diwajibkan menggantinya.

B.     SARAN
Semoga dengan adanya makalah ini, bisa membantu siapapun yang membacanya dan terutama penulis.

DAFTAR PUSTAKA
http://salingkainspirasi.blogspot.com/2018/01/jialah-fiqih-muamalah.html
http://seruansantri.blogspot.com/2016/11/makalah-wadiah-pengertian-macam-dan.html
https://www.google.com/url?q=https%3A%2F%2Fwww.academia.edu%2F29169073%2FImplementasi_Al Wadiah_di_Lembaga_Keuangan_Syariah&sa=D&sntz=1&usg=AFQjCNGbzyYNcClCK BkhCeTlUoEH7AkWQ

0 Response to "Makalah Wadiah dan Ji'alah"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel