Makalah Gadai (Rahn)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam segenap aspek kehidupan bisnis dan transaksi, ada bermacam-macam cara untuk mencari uang dan salah satunya dengan cara gadai / rahn(الرهن). Para ulama’ berpendapat bahwa gadai boleh dilakukan dan tidak termasuk riba apabila memenuhi syarat dan rukunnya. Akan tetapi banyak sekali orang yang melalaikan masalah tersebut, sehingga tidak sedikit dari mereka yang melakukan gadai asal-asalan tanpa mengetahui hukum dasar gadai tersebut. Dalam syari’at bermuamalah, seseorang tidaklah selamanya mampu melaksanakan syari’at tersebut secara tunai dan lancar sesuai dengan syari’at yang ditentukan. Ada kalanya suatu misal ketika sedang dalam perjalanan jauh seseorang kehabisan bekal, sedangkan orang tersebut tidaklah mungkin kembali ke tempat tinggalnya untuk mengambil perbekalan demi perjalanan selanjutnya.
Dalam kehidupan bisnis baik Klasik dan Modern, masalah penggadaian tidak terlepas dari masalah perekonomian. Untuk mengetahui lebih dalam mengenai pnggadaian dijelaskan sebagai berikut .Selain daripada itu, keinginan manusia untuk memnuhi kebutuhannya, cenderung membuat mereka untuk saling bertransaksi walaupun dengan berbagai kendala, misalnya saja kekurangan modal, tenaga dsb. maka dari itu, dalam islam diberlakukan syari’at gadai.
Gadai secara umum berupa transaksi peminjaman sejumlah uang dengan memberikan jaminan berupa perhiasan (emas, perak platina), barang elektronik (TV, kulkas, radio, tape, video), kendaraan (sepeda, motor, mobil), barang-barang pecah belah, mesin jahit, mesin motor kapal, tekstil (kain batik, permadani) dan barang lainnya yang dianggap bernilai. Adapun pengertian hukum dan syaratnya akan dibahas dalam makalah ini.
B. Rumusan masalah
1) Apa pengertian Gadai (Rahn) ?
2) Apa saja Dasar Hukum Rahn ?
3) Apa saja Rukun dan Syarat Gadai (Rahn) ?
4) Bagaimana cara penggambil manfaat rahn ?
5) Apa saja Resiko Rahn ?
6) Bagaimana permasalahan riba dalam gadai ?
C. Tujuan
1) Untuk mengetahui pengertian Gadai (Rahn)
2) Untuk mengetahui Dasar Hukum Rahn
3) Untuk mengetahui Rukun dan Syarat Gadai (Rahn)
4) untuk mengetahui cara pengambilan rahn
5) Untuk mengetahui Resiko Rahn
6) Untuk mengetahui Bagaimana Permasalahan riba dalam gadai
Source : pixabay.com |
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Rahn
Menurut bahasa, gadai/ ar-rahn (الرهن) berarti al-stubut dan al-habs yaitu penetapan dan penahanan. Ada pula yang menjelaskan bahwa rahn (الرهن) adalah terkurung atau terjerat. Menurut istilah syara’, yang dimaksut dengan rahn adalah:
1) Akad yang objeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin diperoleh bayaran dengan sempurna darinya.
2) Menjadikan suatu benda berharga dalam pandangan syara’ sebagai jaminan hutang selama ada dua kemungkinan, untuk mengembalikan uang itu atau mengambil sebagian benda itu
3) Gadai adalah suatu barang yang dijadikan peneguhan atau penguat kepercayaan dalam hutang-piutang
4) Gadai ialah menjadikan suatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan hutang, dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu seluruh atau sebagian hutang dapat diterima
Ulama fiqih berbeda pendapat dalam mendefinisikan rahn :
• Menurut ulama Syafi’iyah:
Menjadikan suatu benda sebagai jaminan hutang yang dapat dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar hutang
• Menurut ulama Hanabilah :
Harta yang dijadikan jaminan hutang sebagai pembayar harga (nilai) hutang ketika yang berutang berhalangan (tidak mampu membayar) hutangnya kepada pemberi pinjaman
B. Dasar Hukum Rahn
Sebagai referensi atau landasan hukum pinjam-meminjam dengan jaminan (brog) adalah firman Allah Swt.
وَإِن كُنتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ ۖ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَه وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ ۗ وَلَا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ ۚ وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ ُ
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah secara tidak tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang ( oleh berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya ( Al-Baqarah 283).
Syaikh Muhammad Ali as-sayis berpendapat, bahwa ayat Al-Qur’an tersebut adalah petunjuk untuk menerapkan prinsip kehati-hatian bila seseorang hendak melakukan transaksi utang-piutang yang memakai jangka waktu dengan orang lain, dengan cara menjaminkan sebuah barang kepada orang yang berpiutang rahn (الرهن)
Diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah dari Anas r.a berkata:
عَنْ أَنَسٍ – رضى الله عنه – قال : لَقَدْ رَهَنَ النَّبِىُّ – صل الله عليه وسلم – دِرْعًا لَهُ بِالْمَدِينَةِ عِنْدَ يَهُودِىٍّ وَأَخَذَ مِنْهُ شَعِيرًا ، ى
“ Rasullah Saw, telah meruguhkan baju besi beliau kepada seorang Yahudi di Madinah, sewaktu beliau menghutang syair (gandum) dari orang Yahudi itu untuk keluarga itu untuk keluarga beliau”. (HR. Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah).
Dari hadist tersebut dapat dipahami bahwa bermualah dibenarkan juga dengan non-muslim dan harus ada jaminan sebagai pegangan, sehingga tidak ada ke khawatiran bagi yang memberi piutang.
Para ulama’ semua berpendapat, bahwa perjanjian gadai hukumnya mubah (boleh). Dan itu termuat dalam DNS Nomor: 25/DSN-MUI/III/2002, Namun ada yag berpegang pada zahir ayat, yaitu gadai hanya diperbolehkan dalam keadaan berpergian saja, seperti paham yang di anut oleh Madhab Zahiri, Mujahid dan al-Dhahak. Sedangkan jumhur (kebanyakan ulama) membolehkan gadai, baik dalam keadaan berpergian maupun tidak, seperti yang pernah dilakukan oleh Rasulullah di Madinah, seperti telah disebutkan dalam hadist di atas
C. Rukun dan Syarat Gadai
Gadai atau pinjaman dengan jaminan suatu benda memiliki beberapa rukun, antara lain yaitu:
1. Akad dan ijab Kabul
2. Aqid, yaitu orang yang menggadaikan (rahin) dan yang menerima gadai (murtahin). Adapun syarat yang berakad adalah ahli tasyarruf, yaitu mampu membelanjakan harta dan dalam hal ini memahami persoalan-persoalan yang berkaitan dengan gadai. Menurut ulama Syafi’iyah ahliyah adalah orang yang telah sah untuk jual beli, yakni berakal dam mumyyis, tetapi tidak disyaratkan harus baligh.[9]
3. Barang yang dijadikan jaminan (borg), syarat pada benda uyang dijadikan jaminan ialah keadaan barang itu tiddak rusak sebelum janji utang harus dibayar. Rosul bersabda: “Setiap barang yang boleh diperjual belikan boleh dijadikan barang gadai”
4. Ada hutang, disyaratkan keadaan hutang telah tetap.
Menurut ulam Hanafiyah mensyaratkan marhun, antara lain:
• Dapat diperjual belikan
• Bermanfaat
• Jelas
• Milik rahin
• Bisa diserahkan
• Tidak bersatu dengan harta lain
• Dipegang oleh rahin
• Harta yang tetap atau dapat dipindahkan.
Menurut Sayyid Sabiq bahwa gadai itu baru dianggap sah apabila memenuhi empat syarat, yaitu:
Orangnya sudah dewasa.
Berpikiran sehat.
Barang yang akan digadaikan sudah ada pada saat terjadi akad gadai dan barang gadaian itu dapat diserahkan/diserahkan kepada penggadai.
Barang atau benda yang dapat dijadikan jaminan itu dapat berupa emas, berlian dan benda bergerak lainnya dan dapat pula surat-surat berharga ( surat tanah atau surat rumah
Syarat Rahn antara lain :
1) Rahin dan murtahin
Tentang pemberi dan penerima gadai disyaratkan keduanya merupakan orang yang cakap untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sesuai dengan ketentuan syari'at Islam yaitu berakal dan baligh.
2) Sighat
Ulama hanafiyah berpendapat bahwa sighat dalam rahn tidak boleh memakai syarat atau dikaitkan dengan sesuatu. Hal ini karena sebab rahn jual beli, jika memakai syarat tertentu, syarat tersebut batal dan rahn tetap sah.
3) Marhun bih (utang)
Menyangkut adanya utang, bahwa utang tersebut disyaratkan merupakan utang yang tetap, dengan kata lain utang tersebut bukan merupakan utang yang bertambah-tambah atau utang yang mempunyai bunga, sebab seandainya utang tersebut merupakan utang yang berbunga maka perjanjian tersebut sudah merupakan perjanjian yang mengandung unsur riba, sedangkan perbuatan riba ini bertentangan dengan ketentuan syari'at Islam.
D. Pengambilan Manfaat Barang Gadai
Dalam pengambilan manfaat barang-barang yang digadaikan para ulama’ berbeda pendapat, diantara jumhur fuqaha dan ahmad.
Jumhur fuqoha berpendapat bahwa murtahin tidak boleh mengambil suatu manfaat barang-barang gadaian tersebut, sekalipun rahin mengizinkannya, karena hal ini termasuk kepada utang yang terdapat menarik manfaat, sehingga bila dimanfaatkan termasuk riba.
Rasul bersbada:
“Setiap orang yang menarik manfaat adalah termasuk riba” ( riwayat Harits bin Abi Usamah).
Menurut Imam Ahmad, Ishak, al-Laits, dan al-Hasan, jika barang gadaian berupa kendaraan yang dapat dipergunakan atau binatang ternak yang dapat diambil susunya, maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dari kedua benda tersebut disesua ikan dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkan selama kendaraaan atau binatang itu ada padanyaJika dia dibiayai oleh pemiliknya, maka pemilik uang tetap tidak boleh menggunakan barang gadai tersebut.
Rasul bersabda:
الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَب
ُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِى يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ
“ Binatang tunggangan boleh ditunggangi karena pembiyayaannya apabila digadaikan, binatang boleh diambil susunya untuk diminum karena pembiyayaannya, bila digadaikan bagi orang yang memegang dan meminumnya wajib memberikan biaya
Pengambilan manfaat pada benda-benda gadai tersebut ditekankan pada biaya atau tenaga untuk pemeliharaan sehingga bagi yang memegang barang-barang gadai punya kewajiban tambahan. Pemegang barang gadai berkewajiban memberikan makanan bila barang gadaian itu adalah hewan. Harus membelikan bensin bila pemegang barang gadaian berupa kendaraan. Jadi yang di bolehkan disini adalah adanya upaya pemeliharaan terhadap barang gadaian yang ada pada dirinya.
E. resiko rahn
Adapun resiko yang mungkin terdapat pada rahn apabila diterapkan sebagai produk adalah:
• Resiko tak terbayarnya hutang nasabah (wanprestasi)
• Resiko penurunan nilai aset yang ditahan atau rusak.
Ada beberapa pendapat mengenai kerusakan barang gadai yang di sebabkan tanpa kesengajaan murtahin. Ulama mazhab Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa murtahin (penerima gadai) tidak menanggung resiko sebesar harga barang yang minimum. Penghitungan di mulai pada saat diserahkannya barang gadai kepada murtahin sampai hari rusak atau hilang.
F. Permasalahan riba dalam gadai
• Perlakuan Bunga dan Riba dalam Perjanjian Gadai
Aktivitas perjanjian gadai yang selama ini telah berlaku, yang pada dasranya adalah perjanjian utang-piutang, dimungkinkan terjadi riba yang dilarang oleh syara’. Riba terjadi apabila dalam perjanjian gadai ditemukan bahwa harus memberikan tambahan sejumlah uang atau prosentase tertentu dari pokok utang, pada waktu membayar utang atau pada waktu lain yang telah ditentukan oleh murtahin ( مرتحن ). Hal ini lebih sering disebut bunga gadai dan perbuatan yang dilarang syara’. Karena itu aktivitas perjajian gadai dalam Islam tidak membenarkan adanya praktik pemungutan bunga karena larangan syara’, dan pihak yang terbebani, yaitu pihak penggadai akan merasa dianiaya dan tertekan, karena selain harus mengembalikan utangnya, dia juga masih berkewajiban untuk membayar bunganya.
Kondisi saat ini, gadai sudah menjadi lembaga keuangan formal yang telah diakui oleh pemerintah. Mengenai fungsi dari penggadaian tersebut tentu sudah bersifat komersil. Artinya pegadaian harus memperoleh pendapatan guna menggantikan biaya-biaya yang telah dikeluarkan, sehingga pegadaian mewajibkan menambahkan sejumlah uang tertentu kepada nasabah sebagai imbalan jasa Minimal biaya itu dapat menutupi biaya operasional gadai. Gadai yang ada saat ini, dalam praktiknya menunjukkan adanya beberapa hal yang dipandang memberatkan dan mengarahkan kepada suatu persoalan riba, yang dilarang oleh syara’ menurut A.A. Basyir. [Mengenai riba itu, Afzalurahman dalam Muhammad Skholikhul Hadi, memberikan pedoman bhwa yang dikatakan riba, di dalamnya terdapat tiga unsur berikut
a) Kelebihan dari pokok pinjaman
b) Kelebihan pembayaran itu sebagai imbalan tempo pembayaran
c) Sejumlah tambahan itu di syaratkan dalam transaksi
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
• Rahn adalah “Menjadikan suatu benda sebagai jaminan hutang yang dapat dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar hutang”,
• Dalam dasar hukum gadai, ada dalil-dalil yang melandasi di perbolehkannya gadai yang bersal dari Al-Qur’an dan hadis.
• Rukun gadai yaitu akad dan ijab Kabul, akid, barang yang di jadikan jaminan (borg). Syarat gadai Orangnya sudah dewasa, berpikiran sehat, barang yang akan digadaikan sudah ada pada saat terjadi akad, barang yang dapat dijadikan jaminan.
• Pengambilan manfaat pada barang-barang gadai seperti hewan dan kendaraan ditekankan pada biaya atau tenaga untuk pemeliharaan sehingga bagi yang memegang barang-barang gadai seperti diatas punya kewajiban tambahan
• Adapun resiko yang mungkin terdapat pada rahn apabila diterapkan sebagai produk adalah:
Resiko tak terbayarnya hutang nasabah (wanprestasi)
Resiko penurunan nilai aset yang ditahan atau rusak.
• Permasalahna yang sering dialami yakni dalam hal Perlakuan Bunga dan Riba dalam Perjanjian Gadai
B. SARAN
Dalam makalah kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan, baik dari kapasitas materinya yang kurang. Mohon kritik dan saran yang membangun sebagai bahan instropeksi kami dalam penyusunan makalah.berikutnya
DAFTAR PUSTAKA
https://hamasfaiumi.blogspot.com/2015/04/makalah-fiqh-muamalah-gadai-rahn.html?m=1 diakses 15 juni 2019 pukul 17 30 wita
https://zezameirisenthia90.blogspot.com/2016/06/makalah-fiqh-muamalah-gadai-rahn.html?m=1 diakses 15 juni 2019 pukul 17 32 wita
0 Response to "Makalah Gadai (Rahn)"
Post a Comment