Makalah Munasabah Al-Qur’an
A.
Pengertian Munasabah
Kata
munasabah secara etimologi, menurut As-Suyuthi bearti Al- musyakalah (keserupaan) dan al-muqarabah
(kedekatan). Az-Zarkaysi memberi contoh sebagai berikut : fulan yunabsi fulan,
bearti si A mempunyai hubungan dekat dengan si B dan menyerupainya. Istilah
munasabah digunakan dalam ‘illat dalam bab qiyas dan bearti Al-wasf Al-muqarib
li Al-hukm (gambaran yang berhubungan dengan hukum). Istilah munasabah di
ungkapkan juga dengan kata rabth (pertalian).
Menurut
perngertian terminologi, munasabah dapat didefinisikan sebagai berikut :
1.
Menurut Az-Zarkasyi :
Artinya
: Munasabah adalah suatu hal yang dapat dipahami. Tatkala dihadapkan kepada
akal, pasti akal itu akan menerimanya.
2.
Menurut Manna’ Al-Qathhthan :
Artinya
: Munasabah adalah sisi keterikatan antara beberapa ungkapan dalam sau
ayat atau antara ayat pada beberapa
ayat, atau antar surat (di dalam Al-qur’an).
3.
Menurut Ibn Al-‘Arabi :
Artinya
: Munasabah adalah keterikatan ayat-ayat Al-qur’an sehingga seolah-olah
merupakan satu ungkapan yang mempunyai kesatuan makna dan keteraturan redaksi.
Munasabah merupakn ilmu yang sangat agung.
4.
Menurut Al-Biqa’i :
Munasabah
adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui alasan-alasan di balik susunan atau
urutan bagiab Al-qur’an, baik ayat dengan ayat atau surat dengan surat.
Jadi
munasabah berarti menjelaskan korelasi makna antara ayat atau antara surat,
baik korelasi itu bersifat umum atau khusus, rasional ('aqli), persepsi
(hassiyl, atau imajinatif (khayali), atau korelasi berupa sebab-akibat,'illat
dan ma'lul, perbandingan, dan perlawanan.
Dalam
Al-Quran sekurang-kurangnya terdapat delapan macam munasabah, yaitu:
1.
Munanbah antar surat dengan surat sebelumnya
As-Suyuthi
menyimpulkan bahwa munasbah antar satu surat dengan surat sebelumnya berfungsi
menerangkan atau menyempumakan ungkapan pada surat sebelurnnya. sebagai contoh,
dalam surat Al-Fatihah ayat 1 ada ungkapan alhamdulilah. ungkapan ini
berkorelasi dengan surat Al-Baqarah ayat 152 dan 186:
Artinya
: Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan
bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku. ( QS.
Al-Baqarah ayat 152).
Artinya
: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang aku, Maka (jawablah),
bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa
apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala
perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada
dalam kebenaran. (QS. Al-Baqarah ayat 186).
Ungkapan
" rabb al-alamin" dalam surat Al- Fatihah berkorelasi dengan surat
Al-Baqarah ayat 21-22:
Artinya
: Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang Telah menciptakanmu dan orang-orang yang
sebelummu, agar kamu bertakwa. (Al-Baqarah ayat 21)
Dialah
yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan dia
menurunkan air (hujan) dari langit, lalu dia menghasilkan dengan hujan itu
segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; Karena itu janganlah kamu mengadakan
sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu Mengetahui. (Al-Baqarah ayat 22).
Di
dalam surat Al-Baqarah ditegaskan ungkapan "dzalik Al-kitab la raiba
fih". Ungkapan ini berkorelasi dengan surat Ali ‘lmran ayat 3:
Artinya
: Dia menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepadamu dengan Sebenarnya; membenarkan
Kitab yang Telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil. (Ali
'lmran : 3)
Demikian
pula, apa yang oleh surat Al-Baqarah diungkapkan secara global, yaitu ungkapan
wa ma unzila min qablik, dirinci lebih jauh oleh surat Ali 'lmran ayat 3:
Artinya
: Dia menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepadamu dengan Sebenarnya; membenarkan
Kitab yang Telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil. (Ali
'lmran : 3).
Berkaitan
dengan munasabah macam ini, ada uraian yang baik yang dikemukakan Nasr Abu
Zaid. la menjelaskan bahwa hubungan khusus surat Al-Fatihah dengan surat
Al-Baqarah merupakan hubungan stilistika kebahasaan. Sementara
hubungan-hubungan umum lebih berkaitan dengan isi dan kandungan. Hubungan
stilistika-kebahasaan ini tercermin dalam kenyataan bahwa surat Al-Fatihah
diakhiri dengan doa: lhdina Ashshirath Al-mustaqim, shirath Al-ladzina an'amta
alaihim ghair Al-maghdhubi'alaihim wa la adh-dhallin. Doa ini mendapatkan
jawabannya dalam permulaan surat Al-Baqarah Alif, Lam, Mim. Dzalika Al-Kitabu
la raiba fihi hudan li Al-muttaqin. Atas dasar ini, kita menyimpulkan bahwa
teks tersebut berkesinambungan: "Seolah-olah ketika mereka memohon hidayah
(petunjuk) ke jalan yang lurus, dikatakanlah kepada mereka: Petunjuk yang lurus
yang Engkau minta itu adalah Al-Kitabin"
Jika
kaitan antara surat Al-Fatihah dan suratAl-Baqarah merupakan kaitan stilistika,
hubungan antara surat Al-Baqarah dengan surat Ali' lmran lebih mirip dengan
hubungan antara "dalil" dengan "keraguan-keraguan akan
dalil". Maksudnya, surat Al-Baqarah merupakan surat yang mengajukan dalil
mengenai hukum, karena surat ini memuat kaidah-kaidah agama, sementara Surat
Ali lmran "sebagai jawaban atas keragu-raguan para musuh”. Kaitan antara
surat Al-Baqarah dan surat Ali 'lmran merupakan kaitan yang didasarkan pada
semacam ta'wil (interpretasi) yang membatasi kandungan Surat Ali'lmran pada
ayat ketujuh saja.
2.
Munasabah antar nama surat dan tujuan turunnya
Setiap
surat mempunyai tema pembicaraan yang menonjol, dan itu tercermin pada namanya
masing-masing, seperti surat Al-Baqarah, surat yusuf, surat An-Naml dan surat
Al-Jinn. Lihatlah firman Allah surat Al-Baqarah : 67-71:
Artinya
: Dan (ingatlah), ketika Musa Berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina." mereka berkata:
"Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan? Musa menjawab: "Aku
berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang
jahil". Mereka menjawab: "
mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar dia menerangkan kepada Kami, sapi
betina apakah itu." Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman
bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda, pertengahan
antara itu, Maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu". Mereka
berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar dia menerangkan
kepada kami apa warnanya". Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah
berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua
warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya." Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada
Tuhanmu untuk kami agar dia menerangkan kepada kami bagaimana hakikat sapi betina
itu, Karena Sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi kami dan Sesungguhnya kami
insya Allah akan mendapat petunjuk (untuk memperoleh sapi itu)." Musa
berkata: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi
betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi
tanaman, tidak bercacat, tidak ada belangnya." mereka berkata:
"Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina yang
sebenarnya". Kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak
melaksanakan perintah itu. (QS. Al-Baqarah : 67-71).
Cerita
tentang lembu betina dalam surat Al-Baqarah di atas merupakan inti
pembicaraannya, yaitu kekuasaan Tuhan membangkitkan orang mati. Dengan
perkataan lain, tujuan surat ini adalah menyangkut kekuasaan Tuhan dan keimanan
kepada hari kemudian.
3.
Munasabah antar bagian suatu ayat
Munasabah
antar bagian surat sering berbentuk pola munasabah Al-tadhadat (perlawanan)
seperti terlihat dalam surat Al-Hadid ayat 4:
Artinya
: Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian dia
bersemayam di atas arsy dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa
yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik
kepada-Nya. dan dia bersama kamu di mama saja kamu berada. dan Allah Maha
melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Hadid ayat 4).
Antara
kala "yaliju”(masuk) dengan kata "yakhruju (keluar), serta kata
"yanzilu (turun) dengan kata"ya'ruju”(naik) terdapat korelasi
pertawanan. Contoh lainnya adalah kata"Al-'adzab' dan Ar-rahmah" dan
janji baik setelah ancaman. Munasabah
seperti ini dapat dijumpai dalam suratAl-Baqarah, An-Nisa dan surat Al-Mai'dah.
4.
Munasabah antarayat yang letaknya berdampingan
Munasabah
antar ayat yang letaknya berdampingan sering terlihat dengan jelas, tetapi
sering pula tidak jelas. Munasabah antar ayat yang terlihat dengan jelas
umumnya rnenggunakan pola ta'kid (penguat), tafsir (penjelas), i’tiradh
(bantahan), dan tasydid (penegasan). Munasabah antar ayat yang menggunaan pola
ta'kid yaitu apabila salah satu ayal atau bagian ayat memperkuat makna ayat atau
bagian ayat yang terletak di sampingnya. Contoh firman Allah:
Artinya
: Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji
bagi Allah, Tuhan semesta alam (QS. Al-Fatihah : 1-2).
Munasabah
antar ayat menggunakan pola tafsir, apabila satu ayat atau bagian ayat tertentu
ditafsirkan maknanya oleh ayat atau bagian ayat di sampingnya. Contoh firman
Allah :
Artinya
: Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang
bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan
shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang kami anugerahkan kepada mereka.
(Qs. Al-Baqarah : 2-3).
Makna
"muttaqin" pada ayat kedua ditafsirkan oleh ayat ketiga. Dengan
demiklan, orang yang bertakwa adalah orang yang mengimani hal-halyang gaib,
mengerjakan shalat, dan selerusnya.
Munasabah
antara ayat menggunakan pola i’tiradh apabila terletak satu kalimat atau lebih
tidak ada kedudukannya dalam i’rab (struktur kalimat), baik di pertengahan
kalimat atau di antara dua kalimat yang berhubungan maknanya. Contohnya firman
Allah pada surat An-Nahl ayat 57:
Artinya
: Dan mereka menetapkan bagi Allah anak-anak perempuan. Maha Suci Allah, sedang
untuk mereka sendiri (mereka tetapkan) apa yang mereka sukai (yaitu anak-anak
laki-laki). (QS. An-Nahl ayat 57).
Kala
"subhanahu" pada ayat di atas merupakan bentuk i'tiradh dari dua ayat
yang mengantarinya. Kata itu merupakan bantahan bagi klaim orang-orang kafir
yang menetapkan anak perempuan bagi Allah. Adapun munasabah antar ayat menggunakan
pola tasydid apabila satu ayat atau bagian ayat mempertegas arti ayat yang
terletak di sampingnya. Contohnya firman Allah dalam surat Al-Fatihah ayat 6-7:
Artinya
: Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang Telah Engkau
beri nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula
jalan) mereka yang sesat. (QS. Al-Fatihah ayat 6-7).
Ungkapan
“Ash-shirath Al-mustaqim"pada ayat 6 dipertegas oleh ungkapan
“Shirathalladzina...”. Antara kedua ungkapan yang saling memperkuat itu
terkadang ditandai dengan huruf athaf (langsung) dan terkadang tidak diperkuat
olehnya (tidak langsung).
Munasabah
antar ayat yang tidak jelas dapat dilihat melalui qara'in ma'nawiyyah (hubungan
makna) yang terlihat dalam empat pola munasabah: At-tanzir (perbandingan),
Al-mudhadat (perlawanan), istithrad (penjelasan lebih lanjut) dan At-takhallush
(perpindahan).
Munasabah
yang berpolakan At-tanzir rerlihat pada adanya perbandingan antara ayat-ayat
yang berdampingan. Contohnya firman Allah pada surat Al-Anfal ayat 4-5:
Artinya
: Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. mereka akan
memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki
(nikmat) yang mulia. Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dan rumahmu dengan
kebenaran, padahal Sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman itu
tidak menyukainya. (QS. Al-Anfal: 4-5).
Pada
ayat kelima, Allah memerintrahkan kepada RasulNya agar terus melaksanakan
perintah-Nya meskipun para sahabatnya tidak menyukainya. Sementara, pada ayat
keempat, Allah memerintahkannya agar tetap keluar dari rumah untuk berperang.
Munasabah antarkedua ayat tersebut di atas terletak pada perbandingan antara
ketidaksukaan para sahabat terhadap pembagian ghanimah yang dibagikan Rasul dan
ketidaksukaan mereka untuk berperang. Padahal, sudah jelas bahwa dalam kedua
perbuatan itu terdapat keberuntungan, kemenangan, ghanimah, dan kejayaan lslam.
Munasabah
yang berpolakan Al-mudhadaf terlihat pada adanya perlawanan makna antara satu
ayat makna yang lain yang berdampingan. Dalam surat Al-Baqarah ayat 6,
misalnya, terdapat ungkapan:
Artinya
: Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan
atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman. (QS.
Al-Baqarah : 6).
Ayat
ini bebicara tentang watak orang-orang kafir dan sikap mereka terhadap
peringatan, sedangkan ayat-ayat sebelumnya berbicara tentang watak-watak orang
mukmin.
Munasabah
yang berpolakan istithradh terlihat pada adanya penjelasan lebih lanjut dari suatu
ayat. Misalnya dalam surat Al-A’raaf ayat 26 diungkapkan:
Artinya
: Hai anak Adam, Sesungguhnya kami Telah menurunkan kepadamu Pakaian untuk
menutup auratmu dan Pakaian indah untuk perhiasan. dan Pakaian takwa Itulah
yang paling baik. yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda
kekuasaan Allah, Mudah-mudahan mereka selalu ingat. (QS. Al-A’raaf ayat 26).
Ayat
ini, menurut Az-Zamakhsyari, datang setelah pembicaraan tentang terbukanya
aurat Adam-Hawa dan menutupnya dengan daun. Hubungan ini dimaksudkan untuk
menunjukkan bahwa penciptaan pakaian berupa daun merupakan karunia Allah,
telanjang dan terbuka aurat merupakan suatu perbuatan yang hina, dan menutupnya
merupakan bagian yang besardari takwa.
Selanjutya,
pola muhasabah takhallush terlihat pada perpindahan dari awal pembicaraan pada
maksud tertentu secara halus. Misalnya, dalam surat Al-Araf, mula-mula Allah
berbicaara tentang para Nabi dan umat terdahulu, kemudian tentang Nabi Musa dan
para pengikutya yang selanjutnya berkisah tentang Nabi Muhammad dan umatnya.
5.
Munasabah antar-suatu kelompok ayat dan kelompok ayat di sampingnya
Dalam
surat Al-Baqarah ayat 1 sampai ayat 20, misalnya Allah memulai penjelasan-Nya
tentang kebenaran dan fungsi Al-Quran bagi orang-orang yang bertakwa. Dalam kelompok
ayat-ayat berikutnya dibicarakan tiga kelompok manusia dan sifat-sifat mereka
yang berbeda-beda, yaitu mukmin, kafir, dan munafik.
6.
Munasabah antar fashilah (pemisah) dan isi ayat
Macam
munasabah ini mengandung tujuan tujuan tertentu. Di antaranya adalah untuk
menguatkan (tamkin) makna yang terkandung dalam suatu ayat. Misalnnya, dalam
surat Al-Ahzab ayat 25 diungkapkan sebagai berikut:
Artinya
: Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka penuh
kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh keuntungan apapun. dan Allah
menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan. dan adalah Allah Maha Kuat
lagi Maha Perkasa. (QS. Al-Ahzab : 25).
Dalam
ayat ini, Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan, bukan karena
lemah, melainkan karenaAllah Maha kuat dan Maha perkasa. Jadi, adanya fashilah
diantara kedua penggalan ayat di atas dimaksudkan agar pemahaman terhadap ayat
tersebut menjadi lurus dan sempurna. Tujuan lain dari fashilah, adalah memberi
penjelasan tambahan, yang meskipun tanpa fashilah sebenamya, makna ayat sudah
jelas. Misalnya dalam surat An-Naml ayat 80:
Artinya
: Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar dan
(Tidak pula) menjadikan orang-orang yang tuli mendengar panggilan, apabila
mereka Telah berpaling membelakang. (QS. An-Naml ayat 80).
Kalimat
“idza wallau mudbirin" merupakan penjelasan tambahan terhadap makna orang
tuli.
7.
Munasabah antar awal surat dengan akhir surat yang sama
Tentang
munasabah semacam ini, As-suyuthi telah mengarang sebuah buku yang berjudul
Marasid Al-Mathali fi Tanasub Al-Maqati ‘wa Al-Mathali’. Contoh munasabah ini
terdapat dalam surat Al-Qashas yang bermula dengan menjelaskan perjuangan Nabi
Musa dalam berhadapan dengan kekejaman Firaun. Atas perintah dan
pertolonganAllah, Nabi Musa berhasil keluar dari Mesir dengan penuh tekanan. Di
akhir surat Allah menyampaikan kabar gembira kepada Nabi Muhammad yang
menghadapi tekanan dari kaumnya dan janji Allah atas kemenangannya. Kemudian,
jika di awal surat dikemukakan bahwa Nabi Musa tidak akan menolong orang kafir.
Munasabah di sini terletak dari sisi kesamaan kondisi yang dihadapi oleh kedua
Nabi tersebut.
8. Munasbah antar-penutup suatu surat dengan
awal surat berikutnya
Jika
diperhatikan pada setiap pembukaan surat, akan dijumpai munasabah dengan akhir
surat sebelumnya, sekalipun tidak mudah untuk mencarinya. Misalnya, pada
permulaan surat Al-Hadid dimulai dengan tasbih:
Artinya
: Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah
(menyatakan kebesaran Allah). dan dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
(QS. Al-Hadid Ayat 1).
Ayat
ini bermunasabah dengan akhir surat sebelumnya. Al-Waqiah yang memerintahkan
bertasbih:
Artinya
: Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Rabbmu yang Maha besar (QS.
AL-Waqiah Ayat 96).
Kemudian,
permulaan surat Al-Baqarah:
Artinya
: Alif laam miin. Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk
bagi mereka yang bertaqwa (QS. Al-Baqarah ayat 1-2).
Ayat
ini bermunasabah dengan akhir surat Al-Fatihah
Artinya
: (yaitu) jalan orang-orang yang Telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan
(jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (QS.
Al-Fatihah ayat 7).
C.
Tertib Ayat Dan Surat
Tertib
Ayat
Al-Qur'an
terdiri atas surat-surat dan ayat-ayat, baik yang pendek maupun yang panjang.
Adapun ayat, ia adalah sejumlah kalam Allah yang terdapat dalam suatu surat
Al-Qur'an. sedangkan surat adalah sejumlah ayat Al-Qur'an yang mempunyai
permulaan dan kesudahan. Penempatan secara tertib urutan ayat-ayat Al-Qur'an
ini adalah bersifat tauqifi, berdasarkan ketentuan dari Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam.
Az-Zarkasyi
dalam Al-Burhan dan Abu Ja'far Ibnu Az-Zubair dalam Munasabah-nya, mengatakan,
"Tertib ayat-ayat di dalam surat-surat itu berdasarkan tauqifi dari
Rasulullah dan atas perintahnya, tanpa dipersilisihkan kaum muslimin."
As-suyuthi memastikan hal itu, katanya, "Ijma' dan nash-nash yang serupa
menegaskan, tertib ayat-ayat itu adalah tauqifi, tanpa diragukan lagi."
Jibril menurunkan beberapa ayat kepada Rasulullah dan menunjukkan kepadanya di
mana ayat-ayat itu harus diletakkan dalam surat atau ayat-ayat yang turun
sebelumnya. Lalu Rasulullah memerintahkan kepada para penulis wahyu untuk
menuliskannya di tempat tersebut. Beliau bersabda kepada mereka,
"Letakkanlah ayat-ayat ini pada surat yang di dalamnya disebutkan begini
dan begini, atau letakkanlah ayat ini di tempat anu. Susunan dan penempatan
ayat tersebut adalah sebagaimana yang disampaikan para sahabat kepada kita.
Utsman
bin Abi Al-'Ash berkata, "Aku tengah duduk di samping Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam, tiba-tiba pandangannya menjadi tajam lalu kembali
seperti semula. Kemudian katanya; Jibril telah datang kepadaku dan
memerintahkan agar aku meletakkan ayat ini di tempat anu dari surat ini,
'Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan serta
bersedekah kepada kaum kerabat." (An-Nahl: 90)
Ketika
pengumpulan Al-Qur'an, Utsman selalu berada di tempat setiap kali suatu ayat
atau surat akan diletakkan di dalam mushaf, sekalipun ayat itu telah mansukh
hukumnya, tanpa mengubahnya. Ini menunjukkan, penulisan ayat dengan tertib
seperti itu adalah tauqifi.
Kata
Ibnu Az-Zubair,'Aku mengatakan kepada Utsman bahwa ayat; 'Dan orang orang yang
meninggal dunia di antara kamu dengan meninggalkan istri istri...'(Al-Baqarah:
234) telah dimansukh oleh ayat yang lain. Tetapi, mengapa anda menuliskannya
atau membiarkannya dituliskan? Ia menjawab, "wahai putra saudaraku, aku
tidak mengubah sesuatu pun dari tempatnya'.
Terdapat
sejumlah hadits yang menunjukkan keutamaan beberapa ayat dari surat-surat
tertentu. Ini menunjukkan bahwa tertib ayat-ayat bersifat tauqifi. Sebab jika
susunannya dapat diubah, tentulah ayat ayat itu tidak akan didukung oleh
hadits-hadits tersebut.
Diriwayatkan
dari Abu Ad-Darda'dalam hadits marfu'. "Barang siapa yang hafal sepuluh
ayat dari awal surat Al-Kahfi, Allah akan melindunginya dari Dajjal.
Juga
terdapat hadits-hadits lain yang menunjukkan letak ayat tertentu pada tempatnya.
Umar berkata, "Aku tidak menanyakan kepada Nabi tentang sesuatu lebih
banyak dari yang aku tanyakan kepada beliau tentang kalalah (orang yang
meninggal, tetapi tidak mempunyai anak dan orang tua), sampai Nabi menekankan
jarinya ke dadaku dan mengatakan,'Tidak cukupkah bagimu ayat yang diturunkan
pada musim panas, yang terdapat di akhir surat An-Nisaa?.
Disamping
itu, banyak juga riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi
wa Sallam membaca sejumlah surat dengan tertib ayat-ayatnya dalam shalat atau
dalam Khutbah Jum'at, seperti surat Al-Baqarah, Ali Imran dan An-Nisaa'. Juga
diriwayatkan secara shahih, bahwa Rasulullah membaca surat Al-A'raf dalam
shalat maghrib. Beliau juga membaca surat AIif Lam Mim Tanzil (As-Sajdah) dan
Hal ata'alal insan (Ad-Dahr) dalam shalat subuh di hari Jum'at. Beliau pun
membaca surat Qaf pada waktu khutbah; surat Al-Jumu'ah dan surat Al-Munafiqun
dalam shalat Jum'at.
Jibril
senantiasa mengujikan Al-Qur'an yang telah disampaikannya kepada Rasulullah
setiap tahun sekali pada bulan Ramadhan, dan pada tahun terakhir kehidupannya
sebanyak dua kali. Dan pengulangan jibril terakhir ini seperti tertib yang
dikenal sekarang ini.
Dengan
demikian, tertib ayat-ayat Al-Qur'an seperti yang ada dalam mushaf yang beredar
di antara kita adalah tauqifi, tanpa diragukan lagi. Para sahabat tidak akan
menyusunnya dengan tertib yang berbeda dengan yang mereka dengar dari Nabi.
Maka sampailah tertib ayat seperti demikian kepada tingkat mutawatir.
Tertib
Surat
Para
ulama berbeda pendapat tentang tertib surat-surat Al-Qur'an yang ada sekarang.
1.
Ada yang berpendapat bahwa tertib surat itu tauqifi dan ditangani langsung oleh
Nabi sebagaimana diberitahukan Malaikat Jibril kepadanya atas perintah Allah.
Dengan demikian, Al-Qulan pada masa Nabi telah tersusun surat-suratnya secara
tertib sebagaimana tertib ayat-ayatnya, seperti yang ada di tangan kita
sekarang ini, yaitu tertib mushaf Utsman yang tak ada seorang sahabat pun
menentangnya. Ini menunjukkan telah terjadi ijma' atas susunan surat yang ada,
tanpa suatu perselisihan apa pun.
Kelompok
ini berdalil bahwa Rasulullah telah membaca beberapa surat secara tertib di
dalam shalatnya. Ibnu Abi syaibah meriwayatkan bahwa Nabi pernah membaca
beberapa surat mufashshal (surat-surat pendek) dalam satu rakaat. Al-Bukhari
meriwayatkan dari lbnu Mas'ud katanya, "Surat Bani Israil, Al-Kahfi,
Maryam, Thaha dan Al-Anbiya' termasuk yang diturunkan di Makkah dan yang
pertama-tama aku pelajari.' Kemudian ia menyebutkan surat-surat itu secara berurutan
sebagaimana tertib susunan seperti sekarang ini.
Juga
Ibnu Wahab meriwayatkan dari Sulaiman bin Bilal, ia berkata Aku mendengar
Rabi'ah ditanya orang, "Mengapa surat Al-Baqarah dan Ali Imran
didahulukan, padahal sebelum surat itu diturunkan sudah ada delapan puluh
sekian surat Makiyyah, sedang keduanya diturunkan di Madinah?" Ia
menjawab, "Kedua surat itu memang didahulukan dan Al-Qur'an dikumpulkan
menurut pengetahuan dari orang yang mengumpulkannya." Kemudian katanya,
"Ini adalah sesuatu yang mesti terjadi dan tidak perlu dipertanyakan.
Ibnul
Hashshar mengatakan, "Tertib surat dan letak ayat-ayat pada tempatnya
masing-masing itu berdasarkan wahyu. Rasulullah mengatakan, "Letakkanlah
ayat ini di tempat ini." Hal tersebut telah diperkuat pula oleh riwayat yang
mutawatir dengan tertib seperti ini, dari bacaan Rasulullah dan ijma' para
sahabat untuk meletakkan atau menyusunnya seperti ini di dalam mushaf.
2.
Kelompok kedua berpedapat bahwa tertib surat itu berdasarkan ijtihad para
sahabat, sebab ternyata ada perbedaan tertib di dalam mushaf-mushaf mereka.
Misalnya mushaf Ali disusun menurut tertib nuzul, yakni dimulai dengan Igra',
kemudian Al-Muddatstsir, lalu Nun, Al- Qalam, kemudian Al-Muzammil, dan
seterusnya hingga akhir surat Makkiyah dan Madaniyah.
Adapun
dalam mushaf Ibnu Mas'ud, yang pertama ditulis adalah surat Al-Baqarah,
kemudian An-Nisaa', lalu disusul AIi Imran. Sedangkan dalam mushaf Ubay, yang
pertama ditulis adalah Al-Fatihah, Al-Baqarah, An-Nisaa', lalu Ali Imran.
Ibnu
Abbas menceritakan, "Aku bertanya kepada Utsman, apakah yang mendorongmu
mengambil Al-Anfal yang termasuk kategori surat al-matsani dan Bara'ah yang
termasuk mi'in untuk anda gabungkan menjadi satu tanpa anda tuliskan
bisrnillahir rahmanir rahim di antara keduanya, anda juga meletakkannya pada
as-sab'u ath-thiwal (tujuh surat panjang)? Utsman menjawab; Telah turun kepada
Rasulullah surat-surat yang mempunyai bilangan ayat. Apabila ada ayat turun
kepadanya, ia panggil beberapa orang penulis wahyu, lalu menginstruksikan, 'Letakkanlah
ayat ini pada surat yang di dalamnya terdapat ayat anu dan anu. Surat Al-Anfal
termasuk surat pertama yang turun di Madinah sedang surat Bara'ah termasuk yang
terakhir diturunkan. Kisah dalam surat Al-Anfal serupa dengan kisah dalam surat
Bara'ah, sehingga aku mengira surat Bara'ah adalah bagian dari surat Al-Anfal.
Tetapi nyatanya sampai Rasulullah Shallallahu Alaihiwa Sallam wafat tidak
pernah menjelaskan kepada kami bahwa surat Bara'ah merupakan bagian dari surat
Al-Anfal. Oleh karena itu, kedua surat tersebut aku gabungkan dan di antara
keduanya tidak aku tuliskan bismitlahir rahmanir rahim. Aku juga meletakkannya
pada as -sab'u ath-thiwal.
3.
Kelompok ketiga berpendapat, sebagian surat itu tertibnya bersifat tauqifi dan
sebagian lainnya berdasarkan ijtihad para sahabat, hal ini karena terdapat
dalil yang menunjukkan tertib sebagian surat pada masa Nabi. Misalnya,
keterangan yang menunjukkan tertib as-sab'u ath-thiwal, aI-hawamim dan
al-mufashshal pada masa hidup Rasulullah.
Menurut
Ibnu Hajar, "Tertib sebagian surat-surat atau bahkan sebagian besarnya
tidak dapat ditolak, bersifat tauqifi. Untuk mendukung pendapatnya ini ia
mengemukakan hadits Hudzaifah Ats-Tsaqafi yang mengatakan, "Rasulullah
berkata kepada kami; 'Telah datang kepadaku waktu untuk hizb (bagian) dari
Al-Qur'an, maka aku tidak ingin keluar sebelum selesai. Lalu kami tanyakan
kepada sahabat-sahabat Rasulullah, "Bagaimana kalian membuat pembagian
Qu'ran?" Mereka menjawab; Kami membaginya menjadi tiga surat, lima surat,
tujuh surat, sembilan surat, sebelas surat, tiga belas surat, dan bagian
al-mufashshal dari Qaf sampai kami khatam.
Kata
Ibnu Hajar lebih lanjut, "Hal ini menunjukkan, bahwa tertib surat-surat
seperti terdapat dalam mushaf sekarang adalah tertib surat pada masa Rasulullah."
Dan katanya, "Namun mungkin juga yang telah tertib pada waktu itu hanyalah
bagian mufashshal, bukan yang lain. Apabila membicarakan ketiga pendapat ini,
jelaslah bagi kita bahwa pendapat kedua, yang menyatakan tertib surat-surat itu
berdasarkan ijtihad para sahabat, tidak bersandar dan berdasar pada suatu
dalil. Sebab, ijtihad sebahagian sahabat mengenai tertib mushaf mereka yang
khusus, merupakan ikhtiar mereka sebelum Al-Qur'an dikumpulkan secara tertib.
Ketika pada masa Ustman Al-Qur'an dikumpulkan, ditertibkan ayat-ayat dan surat-
auratnya pada satu dialek, umat pun sepakat, maka mushaf-mushaf yang ada pada
mereka ditinggalkan. Seandainya tertib itu merupakan hasil ijtihad, tentu
mereka tetap berpegang pada mushafnya masing-masing.
Sementara
itu pendapat ketiga, yang menyatakan sebagian surat itu tertibnya tauqifi dan
sebagian lainnya bersifat ijtihadi; dalil-dalilnya hanya berpusat pada
nash-nash yang menunjukkan tertib tauqifi.Adapun bagian yang ijtihadi tidak
bersandar pada dalil yang menunjukkan tertib ijtihadi. Sebab, ketetapan yang
tauqifi dengan dalil-dalilnya tidak berarti yang selain itu adalah hasil
ijtihad. Disamping itu, yang bersifat demikian hanya sedikit sekali.
Dengan
demikian, jelaslah bahwa tertib surat-surat itu bersifat tauqifi, seperti
halnya tertib ayat-ayat. Abu Bakar bin Al-Anbari menyebutkan, "Allah telah
menurunkan Al-Qur'an seluruhnya ke langit dunia. Kemudian Ia menurunkannya
secara berangsur-angsur selama dua puluh sekian tahun. Sebuah surat turun
karena ada suatu masalah yang terjadi, ayat pun turun sebagai jawaban bagi
orang yang bertanya. Jibril senantiasa memberitahukan kepada Nabi dimana surat
dan ayat tersebut harus ditempatkan. Dengan demikian susunan surat-surat,
seperti halnya susunan ayat-ayat dan huruf-huruf Al-Qur'nn seluruhnya berasal
dari Nabi. Oleh karena itu, barangsiapa mendahulukan sesuatu surat atau
mengakhirkannya, berarti ia telah merusak tatanan Al-Qur'an.
Kata
Al-Kirmani dalamAl-Burhan, 'Tertib surart seperti kita kenal sekarang ini sudah
menjadi ketentuan Allah dalam Lauh Mahfuzh.. Menurut tertib ini pula Nabi
membacakan di hadapan Jibril setiap tahun. Demikian juga pada akhir hayatnya
beliau membacakan di hadapan Jibril, menurut tertib ini sebanyak dua kali. Dan
ayat yang terakhir kali turun ialah, “Dan peliharalah dirimu pada hari di mana
waktu itu kamu semua akan dikembalikan kepada Allah.' (Al-Baqarah: 281) Lalu
Jibril memerintahkan kepadanya untuk meletakkan ayat ini di antara ayat riba
dan ayat tentang utang piutang.
As-suyuthi
mendukung pendapat Al-Baihaqi yang mengatakan “Surat-surat dan ayat-ayat
Al-Qur'an pada masa Nabi, telah tersusun menurut tertib ini kecuali Al-Anfal
dan Bara'ah, sesuai dengan hadits Utsman.
D.
Urgensi mempelajari munasabah Al-Qur’an
Para
ulama bersepakat bahwa Al Quran ini, yang dilurunkan dalam tempo 20 tahun lebih
dan mengandung bermacam-macam hukum karena sebab yang berbeda-beda,
sesungguhnya memiliki ayat-ayat yang mempunyai hubungan erat, hingga tidak
perlu lagi mencari asbab Nuzulnya, karena pertautan satu ayat dengan ayat
lainnya sudah bisa mewakilinya. Berdasarkan prinsip itu pulalah, Az-Zarkasyi
mengatakan bahwa jika tidak ada asbab An-Nuzul, yang lebih utama adalah
mengemukakan munasabah. Lebih jauh lagi, kegunaan mempelajari ilmu Munasabah
dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.
Dapat rnengembangkan bagian anggapan orang bahwa terna-tema Al-Quran kehilangan
relevansi antara satu bagian dan bagian yang lainnya. Contohnya terhadap firman
Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 189:
Artinya
: Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit
itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah
kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu
ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari
pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung. (QS.
Al-Baqarah ayat 189).
Orang
yang membaca ayat tersebut tentu akan bertanya-tanya: Apakah korelasi antara
pembicaraan bulan sabit dengan pembicaraan mendatangi rumah. Dalam menjelaskan
munasabah antara kedua pembicaraan itu, Az-Zarkasy menjelaskan:
“sudah
diketahui bahwa ciptaan Allah mempunyai hikmah yang jelas dan mempunyai
kemaslahatan bagi hamba-hamba-Nya, maka tinggalkan pertanyan tentang hal itu,
dan perhatikanlah sesuatu yang engkau anggap sebagai kebaikan, padahal sama
sekali bukan merupakan sebuah kebaikan”
2.
Mengetahui atau persambungan/hubungan antara bagian Al-Quran, baik antara
kalimat atau antar ayat maupun antar surat, sehingga lebih memperdalam pengetahuan
dan pengenalan terhadap kitab Al-Quran dan memperkuat keyakinan terhadap
kewahyuan dan kemukjizatannya.
3.
Dapat diketahui mutu dan tingkat ke-balaghah-an bahasa Al-Quran dan konteks
kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lainnya, serta persesuaian ayat atau
surat yang satu dari yang lain.
4.
Dapat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran setelah diketahui hubungan
suatu kalimat atau ayat dengan kalimat atau ayat yang lain.
BAB
III
KESIMPULAN
Munasabah
berarti menjelaskan korelasi makna antara ayat atau antara surat, baik korelasi
itu bersifat umum atau khusus, rasional ('aqli), persepsi (hassiyl, atau
imajinatif (khayali), atau korelasi berupa sebab-akibat,'illat dan ma'lul,
perbandingan, dan perlawanan.
Macam-macam
munasabah yaitu munasabah antar surat dengan surat sebelumnya, munasabah antar
nama surat dan tujuan turunnya, munasabah antar bagian suatu ayat, munasabah
antar ayat yang terletak berdampingan, munasabah antar suatu kelompok ayat
dengan kelompok ayat disampingnya, munasabah antar fashilah (pemisah) dan isi
ayat, munasabah antar awal surat dengan akhir surat yang sama, munasabah antar
penutup suatu surat dengan awal surat berikutnya.
Urgensi
mempelajari munasabah Al-quran yaitu dapat mengembangkan sementara anggapan orang
yang menganggap bahwa tema-tema Al-quran kehilangan relevansi antara satu
bagian dengan bagian yang lainnya, mengetahui persambungan atau hubungan antara
bagian alkuran, baik antara kalimat-kalimat atau ayat-ayat maupun
surat-suratnya.
0 Response to "Makalah Munasabah Al-Qur’an"
Post a Comment