MAKALAH PEMIKIRAN JAMALUDDIN AL-AFGHANI DAN TEORI-TEORI TENTANG BUDAYA
PEMIKIRAN JAMALUDDIN AL-AFGHANI
1.1
Pendahuluan
Sejarah pertumbuhan
dan perkembangan agama Islam pernah mengalami masa keemasan dan kemunduran
serta bangkit kembali atau pembaharuan. Hal ini bukan berarti ajaran agama
Islam yang berubah, tetapi di sebabkan oleh berbagai faktor yang muncul di kalangan
umat Islam yang melatarbelakangi pertumbuhan dan perkembangan Islam. Diantara
faktor yang menyebabkan kemunduruan ummat
Islam di maksud adalah adanya dominasi Barat dengan politik adu domba yang mengakibatkan perpecahan
dikalangan umat Islam, adanya fanatisme yang berlebihan terhadap mazhab dan
aliran-aliran serta kesukuan. Adanya kemerosotan moral para penguasa yang
melenyapkan idintitas muslim,melakukan koropsi dan hidup mewah. Situasi demikian di perparah
lagi oleh penetrasi Barat, terutama Inggris dan Francis ke dunia Islam,
cengkeraman dan campur tangan barat terhadap negara-negara Islam kian hari
bertambah kuat. Pada tahun
Merespon
kondisi ummat Islam yang menyedihkan, maka bangkitlah kaum muslimin di negeri-negeri
Islam di tandai dengan bangkitnya perhatian terhadap Islamsebagai idiologi yang
memiliki kekuatan dan dorongan pembebas. Kembali kepada Alqur’an dan Sunnah
Nabi SAW merupakan sumber pokok untuk membuat solusi bagi pelbagai problem,
baik problem ekonomi sosial politik yang mendesak . Para cendekiawan dan pemuka
agama Islam melontarkan pemikiran-pemikiran mareka,banyak tokoh tokoh
pembaharu Islam yang lahir dengan lahir dengan ide-ide cemerlang menentang
tradisi lama yang dianggap telah mengusung kemerdekaan individu umtuk berkreasi dan berinovasi
baik tataran yang sempit maupun
global. Ali Rahnema mengetengahkan empat penyebab kemunduran ummat yang selanjutnya
merupakan titik awal pembaharuan itu sendiri yaitu erosi nilai Islam dan
ketidakpedulian penguasa untuk menerapkan peraturan sosio ekonomi dan etika Islam, sikap
diam dan kerjasama lembaga ulama dengan pemerintah yang pada hakikatnya tidak Islami, korupsi
dan kezaliman kelas penguasa
atau keluarganya, kerjasama penguasa dan ketergantungan mereka pada kekuatan penjajah yang
tidak islami, para
pembaharu Islam menghendaki semangat islam seperti kasih sayang, solidaritas dan keadilan
sosial bukan hanya dirasakan ditingkat atas tetapi juga ditingkat bawah yang selama
ini merasakan keterpurukan dan kemiskinan itu. Semangat ini dihubungkan
dengan “zaman keemasan” pada masa pemerintahan Nabi SAW oleh karena itu
mareka merasa terbebani dan ditantang untuk menyusun dan memperbaharui dan
mensintesis Islam agar relevan dengan kebutuhan, tuntutan dan keadaan yang
sedang dihadapi sesuai kemajuan zaman.
Di Mesir
pergerakan pembaharuan Islam dimulai dengan pertemuan Syeikh Muhammad Abduh ( 1849 -1905)
dengan Jamaluddin Al-Afghani (1838- 1897), maka mareka memperluas studi meliputi Filsafat dan
Ilmu sosial politik. Pada awal ilmu
ini tidak di gemari oleh tokoh-tokoh agama, namun setelah menyadari bahwa kepentingan ilmu-ilmu tersebut
untuk agama, mareka menyadari problem terjadi dimasa ini akibat kekakuan
pemikiran kaum muslimin. Mareka harus bisa membedakan mana diantara pengalaman agama yang bisa
dirubah dan mana pula yang
tidak bisa dirubah, metode untuk mewujudkan perubahan adalah dengan meyakinkan kaum muslimin untuk
tidak menyerah dalam keputusasaan dan kehancuran. Salah seorang yang sangat
peduli terhadap kondisi umat Islam dan berusaha sekuat tenaga untuk memajukan kembali umat
Islam adalah Sayyid Jamaluddin
Al-Afghani yang di kenal dalam dunia Islam sebagai seorang Mujaddid dan Mujahid. Dia
sangat banyak merubah cara berpikir umat Islam terutama sekali pada muridnya Muhammad
Abduh, semangat dan udara baru yang ditiupkan
Sayyid Jamaluddin Al-Afghani kepada muridnya membuatnya sadar akan tanggung jawab terhadap
kemajuan umat Islam.
Pada tulisan
ini penulis berkeinginan melakukan kajian terhadap pemikiran Sayyid Jamaluddin Al-Afghani
dalam mewujudkan pembaharuan pemikiran di dunia Islam terkhusus pemikiran kalam modern yang
dikemukakannya, dalam hal ini
di perlukan adanya gambaran biografi dan ide pembaharuan serta karyanya.
1.2
Kajian Pustaka
a)
Riwayat Hidup
Al-Afghani
Nama
lengkapnya Sayid Jamaluddin Al-Afghani, lahir di Asadabad pada tahun 1255 H/
1838 M, wafat pada tahun1315 H/ tanggal 9 Maret 1897 di Istanbul. Gelas Sayid
menunjukkan bahwa ia berasal dari keturunan Husain bin Ali bin Abi Thalib. Di
samping nama Al-Afghani, ia juga dikenal dengan nama Asabadi. Nama Al-Afghani
dinisbahkan kepada negeri kelahirannya, ia lahir dari keluarga penganut Madzhab
Hanafi. Tentang tempat kelahirannya terdapat dua persi. Menurut pengakuannya bahwa ia
dilahirkan di As’adabad dekat kanar wilayah kabul Afghanistan. Menurut pendapat yang
lain bahwa ia lahir di As’adabad dekat hamadan wilayah persia. AlAfghani
mengaku orang Afghanistan untuk menyelamatkan diri dari kesewenang-wenangan
penguasa Persia. Menurut Majid Fakhry, bahwa Al-Afghani dilahirkan di Asadabad
Persia, kemudian hijrah dengan keluargannya ke Qazwin dan kemudian ke
Teheran, di situ ia belajar di bawah asuhan Aqashid Shadiq, Teologi Syi’ah yang
sangat terkemuka saat itu Teheran. Ayahnya bernama Sayid Shaftar, satu di
antara keturunan itu yang amat dihormati di negeri Afganistan. Silsilah keturunan itu
di tengahnya bertemu dengan perawi hadis yang masyhur, yaitu Sayid Ali
At-Turmuzi dan di antaranya sampailah kepada Husain Bin Abi Thalib. Ali Rahnema
mengemukakan bahwa tak ada sumber primer yang mendukung
bahwa tempat lahir atau besarnya Al-Afghan, tetapi banyak sumber yang
mengatakan ia lahir dan mendapat pendidikan syi’ah di Iran. Hal ini didukung dengan banyak
tulisan tentang Al-Afgani yang memperlihatkan bahwa Al-Afghani mendapat
pendidikan di Iran dan hampir pasti di kota-kota suci Syi’ah di Irak, dia piawi dalam
filsafat islam dan dalam syi’ah dalam madzhab Syaikhi yang merupakam
ragam Syi’ah yang sangat filosofis pada abad kedelapan belas dan kesembbilan
belas. Al-Afghani dikenal dengan seorang banyak melakukan pengembaraan. Dari Teheran ia
pindah ke al-Najd di Irak, pusat studi keagamaan Syi’ah, disitulah ia menghabiskan
waktunya selama empat puluh tahun sebagai murid Murtadha alAnshari, seorang
teologi dan sarjana yang terkenal. Pada tahun 1853 ia melawat ke India, dimana
ia diperkenalkan dengan studi-studi ilmu-ilmu Eropa. Ada waktu selanjutnya
ia melakukan perlawatan ke berbagai negara di dunia, seperti Hijaz, Mesir, Yaman,
Turki, Russia, Inggris, dan Perancis. Salah satu yang paling berkesan dari
perjalanannya ini adalah kunjungan ke Mesir pada tahun 1869 dan di negeri ini ia
memulai memunculkan pemikiran pembaruan. Al-Afghani seorang refornis dan
modernis, dikenal pula sebagai seorang yang pernah aktif dalam dunia
politik. Hal ini dibuktikan pada tahun 1876 ia bergabung
dengan para politikus di Mesir pada tahun 1879 membentuk suatu partai politik
dengan nama Hizb al-Wathani (partai Kebangsaan). Dengan partai ini ia berusaha
menanamkan kesadaran nasionalisme dalam diri orang-orang mesir. AlAfgani juga
diakui sebagai seorang filosof, jurnalis dan sufi, namun yang lebih banyak
dipublikasikan adalah sebagai seorang politikus.
Karena
berbagai ide pembaruan yang dimunculkannya, maka ia sering mendapat
tekanan bahkan dipenjara oleh para pengusaha yang tidak setuju terhadap ide yang
diperjuangkannya. Hal itu menimbulkan adanya mitos di seputar kematiannya,
bahwa ia meninggal akibat diracuni oleh Sultan. Namun bukti yang terdokumentasi
dengan baik menyatakan bahwa Al-fghani meninggal akibat penyakit
kanker didagunya dan pernah dioperasi.
b)
Usaha
Pembaharuan dan Karya Al-Afghani
Dengan
luasnya wawasan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh Al-Afghani yang
didapatnya dari sejumlah gurunya dan banyaknya pengalaman yang ia dapakan dari
hasil perlawatannya ke berbagai wilayah di penjuru dunia, maka munculah ide
dan kemauan yang sangat kuat untuk mengadakan pembaruan di dunia islam. Salah satu
latar belakang kultural yang mempengaruhi pemikiran AlAfghani dalam menggagas
ide pembaruan adalah keterpurukan dunia islam (umat islam) dalam
berbagai aspek kehidupan, terjadi perpecahan atau desintegrasi hampir di semua
wilayah kekuasaan islam, umat islam telah meninggalkan ajaran islam yang
sebenarnya, kuat berpegang pada taklid, bersifat fatalistis dan melupakan
ilmu pengetahuan. hal ini terjadi sebagai akibat adanya kolonialisme dan
imperialisme yang dilakukan oleh dunia barat seperti Inggris dan Rusia terhadap
dunia Islam. Pengaruh barat ini menimbulkan adanya kediktatoran dan depotisme
oleh para raja dan sultan di dunia Islam. Gambaran kemunduran dan keterpurukan
umat islam pada saat itu pernah dideskripsikan dalam sebuah tulisan dengan judul “Masa lalu
umat dan masa kininya, serta pengobatan bagi penyakit-penyakitnya” yang
diterjemahkan dan diedit oleh Nurcholish Madjid dalam buku yang berjudul
Khazanah Intelektual Islam. Dalam tulisan itu Al-Afghani menyebut bahwa umat Islam
pernah mengalami kemajuan dan kejayaan namun kondisi itu lenyap dan
sirna setelah umat Islam tidak memperpegang Al-Quran dan sunnah Nabi Muhammad
SAW, secara konsekuen, hidup penuh dengan taklid dan mengikuti tahyul dan
bid’ah. Al-Afghani menggambarkan kondisi umat islam sebagai seorang yang terserang
banyak penyakit. Oleh karena itu untuk dapat menyembuhkannya haruslah
mengetahui macam penyakit yang diderita, kemudian memilih alternatif pengobatan
dan usaha penyembuhan. Hal itu dinyatakannya tidaklah sesuatu hal yang mudah
dan gampang dilakukan.Pada bagian akhir tulisan itu, Al-Afghani mengherankan
atas Ungkapan masyarakat bahwa prinsip-prinsip agama yang benar adalah
hasil yang terbebas dari berbagai bid’ah hasil ciptaan (manusia),maka akan tumbuh
pada umat kekuatan persatuan, keserasian kekompakkan, serta sikap lebih
mementingkan kehormatan (umat) di atas kenikmatan hidup, membangkitnya
untuk memiliki keluhuran budi, meluaskan ruang lingkup pengetahuan
dan mengantarkan ke puncak peradaban yang tertinggi. Usaha yang dilakukan oleh
Al-Afghani dalam mewujudkan pembaruan ialah menyebarkan ide-ide pembaruan
kepada segenap lapisan umat islam. Usaha dimaksud dilakukan dengan berbagai
cara.
Pertama,
melalui pengajian yang diadakan di rumahnya di jalan Khan Halili yang dihadiri
oleh para ulama terkemuka seperti Syekh Muhammad Abdullah, Syekh Abdul Kairm
Salman, Syekh Ibrahim al-laqani, Sa’ad Zaglul dan lain-lain, dengan
pembahasan kitabkitab politik, tasawuf, logika, dan filsafat. Cara kedua
melalui ceramah-ceramah dan diskusi yang sifatnya intelektual di frum persaudaraan,
pada umumnya dihadiri oleh kalangan sastrawan, seniman, budayawan, politikus dan
agamawan, dengan pembahasan di sekitar sastra dan perjuangan bangsa. Di sini
ia berusaha membelokkan arah orientasi sastra yang pada saat itu terarah
kepada keagungan dan gemetrlapan kalangan atas (aristoktar) ke arah kalangan
bawah yaitu rakyat dengan segala penderitaan, keterbelakangan, dan kemiskinan.
Pada tahun
1883 ketika berada di Paris, Al-Afghani mendirikan suatu
perkumpulan
yang diberi nama al-‘Urwah al-Wusqa (Ikatan Yang Kuat) yang anggotanya
terdiri atas orang-orang Islam dari India, Mesir, Suriah, Afrika Utara dan
lain-lain. Perkumpulan bertujuan, antara lain memperkuat rasa persaudaraan Islam.
membela Islam dan membawa umat Islam kepada kemajuan. Sebagai sarana untuk
menyampaikan ide-ide dan kegiatannya, Al-Afghani bersama Muhammad Abduh menerbitkan
majalah berkala, yang diberi nama al-‘Urwah al-Wusqa sama dengan nama
organisasi persaudaraan Islam (Ikatan Yang Kuat). Majalah ini hanya berumur
delapan bulan karena dunia barat melarang pengedarannya di negerinegeri Islam.
majalah ini dinilai akan menimbulkan semangat dan persatuan orangorang Islam.
Di antara tulisan Al-Afghani dalam majalah al-‘Urwah al’Wusqa adalah membahas
tentang beberapa ayat Al-Qur’an yang berhubungan tema-tema pembaruan
yang diperjuangkannya, antara lain:
1)
Berpegang
dengan agama Allah dan tidak bercerai berai (Ali Imran:103 dan 105).
2)
Jangan
mengambil orang di luar islam untuk menjadi teman kepercayaan sendiri. (Ali
Imran: 118)
3)
Jangan takut
mati karena kematian pasti ditemui (Al-Nisa:7)
4)
Taatlah
kepada Allah dan jangan bercerai berai. (Al-Anfal:46)
5)
Allah tidak
mengubah nasib suatu kaum kecuali mereka berusaha
merubahnya.
(Ar-Ra’d:11)
6)
Orang yang
beriman akan mendapat ujian keimanan. (Al-Ankabut:2)
7)
Sunnatullah
berlaku pada umat terdahulu dan sunnatullah tidak berubah. (Al-Ahzab:62)
8)
Umat Islam
harus saling memperingati karena peringatan bermanfaat bagi orang-orang
beriman. (Al-Zariyat:55)
9)
Bertawakal
dan bertobat hanya kepada Allah. (Al-Mumtahanah:4)
10)
Allah tidak
akan menzhalimi manusia, kecuali mereka menzhalimi diri sendiri (Al-Baqarah:57)
Usaha
pembaruan yang dilakukan al-Afghani selain yang dikemukakan di atas adalah membuat
karya tulis baik berupa buku atau artikel. Salah satu karya Al-Afghani yang
berbentuk buku yang diterbitkan adalah Al-Radd’ala al-Dahriyin yang aslinya
ditulis dalam bahasa Presia. Karya-karya lainnya yaitu Bab ma Ya’uiu Ilaihi Amr
al-Muslimin (Pembahasan tentang sesuatu yang melemahkan Orang-orang
Islam), Makidah al-Syarqiyah (Tipu Muslihat Orientalis), Risalah fi al Raddu
‘Ala al-Masihiyin (Risalah Untuk Menjawab Golongan Kristen :1895), Diya’
al-Khafiqain (Hilangnya Timur dan Barat:1892), Haqiqah al-Insan wa Haqiqah
al-Watham (Hakikat Manusia dan Hakikat Tanah Air:1878).
Ide Pembaruan
Dan Pemikiran Kalam Tentang Takdir Jamaluddin Al Afghani ide pembaruan
dan pengembangan pemikiran kalam yang diperjuangkan oleh
Al-Afghani didasari atas keyakinan bahwa agama Islam sesuai untuk semua bangsa, zaman
dan keadaan. Tidak ada pertentangan antara ajaran islam dan kondisi yang
disebabkan perubahan zaman. Kalau kelihatan ada pertentangan antara
keduanya, dilakukan penyesuaian dengan mengadakan interprestasi baru terhadap
ajaran-ajaran islam yang tercantum dalam Al-Qur’an dan Hadis. Untuk mencapai hal
itu dilakukan ijtihad dan pintu ijtihad menurutnya masih tetap terbuka. Ide yang
lebih dahulu di perjuangkannya adalah mempersatukan dunia islam, umat
Islam di seluruh penjuru dunia harus bersatu dalam menghadapi serangan
pihak Barat. Nikki R.Keddie memberikan komentar bahwa Sayyid Jamaluddin
Al-Afghani adalah printis modernisme Islam khususnya aktivisme antiimperialis.
Dia menganjurkan, memperjuangkan dan mempertahankan persatuan
Pan-Islam, karena hal itu merupakan sarana untuk memperkuat dunia muslim menghadapi
Barat. Al-Afghani bersemangat untuk mewujudkan umat Islam yang kuat, dinamis dan maju. Ide
yang diajukan untuk bisa mewujudkan hal itu ialah dengan melenyapkan
pengertian yang salah yang dianut oleh umat Islam dan kembali kepada ajaran
Islam yang sebenarnya. Menurut dia Islam mencakup segala aspek kehidupan,
baik ibadah, hukum, maupun sosial. Corak pemerintahan autokrasi harus diubah
dengan corak pemerintahan demokrasi dan persatuan umat Islam harus
diwujudkan kembali. Kekuatan dan kelanjutan hidup umat Islam tergantung kepada
keberhasilan membina persatuan dan kerjasama. Pemikiran
lain yang dimunculkan oleh Al-Afghani ialah idenya tentang adanya persamaan
antara pria dan wanita dalam beberapa hal. Wanita dan pria sama dalam
pandangannya, keduannya mempunyai akal untuk berfikir. Ia melihat tidak ada
halangan bagi wanita untuk bekerja di luar jika situasi menuntut untuk itu. Para
wanita hendaknya berusaha untuk meraih kemajuan dan mampu bekerja sama dengan
pria untuk mewujudkan umat Islam yang maju dan dinamis. Pada aspek lain secara
umum Al-Afghani memunculkan pemikiran untuk mengangkat
peran Al-Qur’an dan Hadis Rasulullah SAW. Dia melihat bahwa umat Islam pada
saat itu tidak banyak memahami Al-Qur’an dan Hadis, sehingga pemikiran dan
tindak tanduk mereka keluar dari garis-garis Al-Qur’an. Karena tidak
memahami Al-Qur’an dengan benar maka umat Islam mudah terjerumus kedalam
berbagai paham yang menyesatkan, serta paham jabariyah yang tidak percaya diri
dan cnderung meninggalkan usaha, paham sofistik yang tidak mengakui
dunia nyata, berbagai ajaran tasawuf yang mengerjakan khalwat, uzlah dan fana yang
membawa kelemahan bagi umat Islam. Sebagai seorang pemikir di bidang kalam atau
teologi, Al-Afghani melalui karyanya Al-Radd ‘ala al-Dahriyyin (Penolakan Terhadap Kaum
Materialis atau Naturalis)telah mengadakan penolakan terhadap filsafat
materialis dan naturalis yang tak bertuhan. Kemudian ia mengajukan sumbangan pemikiran
yang tak ternilai hargannya dalam usaha mencapai peradaban dan
kemajuan. Al-Afghani menjelaskan bahwa agama mengajarkan kepada manusia tiga
kebenaran fundamental yaitu sifat malaikat atau spiritrual manusia yang
merupakan tuan segala makhluk, kepercayaan
setiap umat beragama kepada keunggulannya sendiri atau segala
kelompok yang lainnya dan kesadaran bahwa kehidupan manusia di dunia ini
hanyalah semata-mata suatu persiapan bagi kehidupan lain yang lebih tinggi yang
sama sekali bebas dari segala penderitaan dan yang pada akhirnya manusia
ditakdirkan menghuninya. Ketiga kebenaran fundamental dimaksud dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1)
Kebenaran
pertama, akan menimbulkan dorongan yang kuat dalam diri manusia untuk
mengalahkan bermacam ragam kecendrungan hewani, dan mewujudkan
hidup damai dan rukun sesama manusia.
2)
Kebenaran
kedua, akan membangkitkan semangat daya saing dalam rangka mewujudkan kehidupan
individu dan masyarakat sesuai dngan kebenaran itu. Mereka akan
senantiasa berusaha memperbaiki nasib mereka dalam berbagai aspek kehidupan
hingga mencapai peradaban yang tinggi.
3)
Kebenaran
ketiga, akan membangkitkan suatu dorongan untuk menyempurnakan
pandangan hidup kedunia yang lebih tinggi, kemana akhirnya mereka akan kembali,
untuk membersihkan diri sendiri dari segala kejahatan dan kebencian dan
untuk hidup sejalan dengan aturan permainan, keadilan dan cinta.
Selain dari
ketiga macam kebenaran yang dikumukakan di atas, Al-Afghani menjelaskan
juga bahwa agama telah menanamkan dalam diri pemeluknya tiga karakter,
yaitu: (1)Kerendahan hati, hal ini akan dapat memelihara diri dari semua tindakan
jahat dan mendorong ke arah tobat, (2)jujur, hal ini merupakan benteng bagi suatu
negara hukum yang sehat, dan (3)dapat dipercaya, tanpa sifat ini maka perhimpunan
manusia pada hakikatnya tidak mungkin terjadi. Kepercayaan agama yang sejati,
katanya harus dibangun diatas demonstrasi yang kokoh dan pembuktian yang sah,
ketimbang angan-angan atau opini para pendahulu kita. Keunggulan Islam
terletak pada kenyataan bahwa ia memerintahkan para pemeluknya untuk tidak menerima segala
sesuatu tanpa pembuktian dan memperingatkan mereka agar tidak tersesat oleh
angan-angan atau pikiran-pikiran spontan. Salah satu statemen Al-Afghani dalam
Al-Radd ‘ala al-Dahriyyin yang dikutif oleh Majid Fakhry sebagai berikut: Agama ini
memerintahkan para pemeluknya untuk mencari suatu dasar yang demonstratif bagi
dasar-dasar kepercayaan. Oleh karena itu ia selalu menyebut-nyebut akal
dan mendasarkan aturan-aturannya padanya. Naskah-naskahnya dengan jelas
menyatakan bahwa kebahagiaan manusia merupakan hasil (produk) akal dan
pengetahuan dan bahwa penderitaan atau keterkutukan akibat kebodohan, tidak
memperdulikan akal dan padanya cahaya pengetahuan. Kemunduran umat Islam bukanlah
karena Islam, sebagaimana dianggap, tidak sesuai dengan perubahan zaman dan kondisi baru.
Ketertinggalan atau keterbelakangan umat Islam karena telah meninggalkan ajaran
Islam yang sebenarnya dan mengikuti ajaran-ajaran yang datang dari luar
lagi asing bagi Islam. Ajaran-ajaran islam yang sebenarnya hanya tinggal dalam
ucapan dan di atas kertas. Sebagian dari ajaran-ajaran asing itu dibawa
orang-orang yang berpurapura besikap suci, sebagian lain adalah orang-orang
yang mempunyai keyakinankeyakinan yang menyesatkan dan sebagian lagi dari
hadis-hadis buatan. Paham takdir dalam beberapa pandangan aliran mengatakan
seperti aliran jabariah qadariyah mu’tazillah. Takdir secara umum yang di
pakai oleh bangsa Arab yaitu paham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah di
tentukan dan terlebih dahulu. Dalam perbuatan perbuatannya manusia hanya
bertindak menurut nasib yang telah di tentukan semenjak ajal terhadap dirinya
masyarakat Arab sangat di pengaruhi oleh faham fatalis, kehidupan bangsa Arab saat
itu sangat sederhana jauh dari pengetahuan mareka selalu terpaksa untuk mengalah
pada keganasan alam, panas yang menyengat serta tanah dan gunung yang
gundul, mereka merasa dirinya lemah tidak mampu menghadapi kesukaran hidup yang di
timbulkan oleh lingkungan sekitarnya.
Paham takdir
dalam pandangan qadariyah bukan dalam pengertian takdir yang umum
yang di pakai oleh bangsa Arab. Menurut aliran ini paham takdir adalah
ketentuan Allah yang diciptakanNya berlaku untuk alam semestabeserta seluruh
isinya semenjak ajalyaitu hukum yang dalam istilah Al-quran adalah sunnatullah
pada dasar aliran ini menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan
atas kehendaknya sendiri, manusia dalam hal ini mempunyai kewenangan
untuk melakukan segala perbuatannya atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik
maupun berbuat jahat, oleh karena itu ia berhak mendapatkan pahala atas
kebaikan-kebaikan yang di lakukan dan berhak pula memperoleh hukuman-hukuman
atas kejahatan-kejahatan yang di lakukan. Dalam kaitan ini apabila seseorang
diberi ganjaran baik dengan ganjaran sorga maupun diberi ganjaransiksa dengan
balasan nerakakelak di akherat berdasarkan pilihan pribadinya, bukan oleh takdir
Tuhan.sungguh tidak pantas manusia menerima siksaan atau tindakan salah yang dilakukan
bukan atas keinginan dan kemampuan nya. Secara
alamiyah, memang manusia memiliki takdir yang tidak dapat diubah,
manusia dalam dimensi fisiknya tidak dapat berbuat lain kecuali mengikuti
hukum alam, contohnya manusia ditakdirkan mempunyai kaki untuk berjalan dan
tidak menpunyai sayap seperti sayap yang dimiliki burung untuk terbang,
demikian pula manusia di takdirkan tuhan tidak mempunyai kekuatan seperti
kekuatan gajah yang mampu mengankat barang yang berat, namun manusia ditakdirkan
mempunyai daya pikir yang aktif dan kreatif. Dengan daya pikir yang kreatif dari
anggota tubuh lainnya dapat dilatih terampil sehingga manusia dapat tampil
membuat sesuatu, mampu meniru yang dimiliki oleh kemampuan makhluk yang lain
seperti terbang di udara seperti burung, berenang di air seperti ikan, dan dengan daya
pikirnya kemampuan yang ada padanya manusia bahkan mampu membawa barang
seberat barang yang di bawa gajah bahkan lebih dari itu. Maka terlihatlah
disini semakin besar wilayah kebebasan yang dimiliki manusia. Paham Al-Afghani tentang takdir maka dia memberikan contoh
tentang paham Qadha terlebih dahulu, Qadha yaitu ketentuan Allah yang
tercantum di lauh mahfuz/belum terjadi dan qadar adalah ketentuan Allah yang
telah terjadi dipahami menurut konsep jabariyah (fatalisme). Paham itu menjadikan umat
Islam tidak mau berusaha dengan sungguh-sungguh dan bekerja lebih giat.
Menurut
pemikiran AlAfghani, qadha dan qadar mengandung pengertian bahwa segala sesuatu
terjadi menurut sebab musabbab (kausalitas). Menurut dia bahwa
kemauan manusia sendiri merupakan salah satu mata rantai sebab-musabbab itu.
Pada masa klasi keyakinan umat Islam pada qadha dan qadar menjadi faktor
pendorong keberanian dan kesabaran dalam jiwa umat Islam untuk menghadapi segala
bentuk bahaya dan kesukaran. Karena kepercayaan itu maka umat Islam di masa
yang silam bersifat dinamis dan dapat menimbulkan peradaban yang tinggi. Pemikiran tentang sebab-musabbab lebih diperjelas lagi dengan
ungkapan kata taqdir dan ikhtiar. Percaya kepada taqdir Ilahi, baik
dan buruk semuanya datang dari Allah SWT. telah menyebabkan timbulnya rasa
pasif dan menyerah saja secara total. Hal ini menyebabkan umat Islam menjadi pemalas
dan menerima nasib malang dengan tidak berusaha untuk membebaskan diri
dari kemalangan dan berusaha untuk meraih yang lebih baik, hingga timbul
kemelaratann, kemiskinan, kezhaliman dan lain-lain, yang semuanya disandarkan kepada
taqdir. Al-Afghani sebagai seorang muslim mengakui bahwa kepercayaan
kepada taqdir adalah kepercayaan asasi. Kalau tidak ada kepercayaan
kepada taqdir maka telah kehilangan salah satu tonggak dari iman. Kepercayaan
itulah yang menyebabkan umat islam pada zaman dahulu, Nabi dan para
sahabat serta salafu Al-Shalih dapat maju dan mencapai zaman kekemasan. Mereka
dapat mengalahkan berbagai rintangan musuh, menguasai beberapa wilayah di
belahan dunia dengan semangat tidak takut mati. Bagi mereka hidup dan mati
sama-sama sangat berharga dalam rangka menegakkan agama Allah. Percaya kepada takdir
adalah pengakuan adanya hukum sebab akibat, adanya persambungan
dengan apa yang ada sekarang dengan yang akan datang. Manusia
mempunyai kemauan sendiri atau iradat yang bebas dengan tidak melupakan
hubungan kebebasan pribadi itu dalam lingkungan kebebasan Allah SWT. dengan
ungkapan lain bahwa takdir kecil yang ada pada manusia tetap berada dalam
lingkup takdir besar pada Allah, pengatur maha besar dan maha bijaksana.
Sebuah contoh tentang pemahaman takdir yang dikemukakan diatas adalah apabila
seseorang akan dirampas harta bendanya secara paksa, maka ia tidak dengan
serta merta begitu saja menyerahkannya, karena sudah “takdir”, tetapi berusaha
untuk menyelamatkannya. Apabila seseoranga diancam akan dibunuh maka ia tidak
diam menyerah, karena sudah “takdir”, tetapi berusaha menghindar atau lari
sebagai ikhtiar melepaskan diri dari kematian. Bagi Al Afghani , Dia menentang
keras paham taklid, karena umat Islam mundur karena tidak menikuti perkembangan
zaman, Gaung peradaban Islam klasik masih melenakan mereka, sehingga
tidak menyadari bahwa pradaban baru timbul dengan berdasarkan ilmu pengetahuan
dan tehnologi, inilah penyebab utama bagi kemajuan Barat. Pemikiran kalam yang berhubungan dengan sufisme yang menjadi
sorotan Al-Afghani ialah paham fana dan baqa. Sebagian dari kaum sufi
memahami hal itu dengan melenyapkan diri, meniadakan diri sendiri, menyatu
dengan Tuhan, yang ada sebenarnya hanya Tuhan. pemahaman seperti itu membuat
orang meninggalkan kehidupan duniawi, mengasingkan diri dari keramaian
masyarakat, mengkhususkan diri semata beribadah kepada Allah. Hal itu dilakukan dalam
rangka mencapai fana dan baqa. Al-Afghani berkesimpulan bahwa pemahaman seperti itu bukan
dari ajaran Islam dan menimbulkan kemunduran umat Islam. menurut
Al-Afghani pengertian fana yang sebenarnya ialah berjuang di tengah masyarakat
untuk kepentingan masyarakat itu sendiri dengan tidak menampakkan diri sendiri
dan tidak merasa lebih adanya diri. Fana adalah adanya hubungan dengan Allah
dan hubungan dengan masyarakat. Diri yang diperkuat oleh hubungan dengan Tuhan,
maka ia akan mendapatkan nur ilahi dan jiwa inilah yang dibawa
ketengah masyarakat dan ditiadakan (fana) di tengah masyarakat
1.3
Pembahasan
Ilmu
pengetahuan akan mengalami krisis ketika teori –teori yang di bangun tidak dapat lagi menjelaskan fakta-fakta yang ada, dalam situasi
krisis seperti inilah para ilmuan akan melakukan revololusi dan
inovasi pemikiran sehingga melahirkan paradigma baru, dewasa ini terlihat jelas
krisis yang dialami oleh sains modern yang didominasi oleh paradigma berpikir yang
kritis, rasional, sehingga dialetika ilmu pengetahuan hanya bergerak untuk menguji
teori atau memverifikasi nya bukan menghasilkan satu perspektif baru dari
ilmu pengetahuan. Perspektif baru tersebut tercapai bila cara pandang sobyek
maupun obyek dapat dilampaui atau diketahui. Paradigma pemikiran
Islam yang menurut laporan sejarah mengalami perkembangan
dari zaman ke zaman, karena itu tulisan ini untuk merumuskan kontruksi pemikiran pembaharuan Jamaluddin Al-afghani yang
berhubungan
tentang Qada’dan Qadar (takdir) dengan analisis historis induktif
dengan merumuskan suatu teori atau pemikiran. Sehingga di kemukakan
pemikiran-pemikiran Al-Afghani tentang pemikiran kalam mengenai Takdir.
Dari
uraian di atas dapat dipahami bahwa latar belakang lahirnya ide pembaharuan yang termasuk di dalamnya pemikiran kalam modern dari Jamaluddin Al-Afghani bisa disorot dari faktor kultural dan
struktural. Pada faktor kultural tampak pada saat itu terjadinya
disintegrasi di kalangan umat islam. Kondisi umat Islam yang sangat
mengutamakan taklid dan mematikan semangat ijtihad serta fanatisme terhadap mazhab
dalam fiqh dan aliran dalam teologi sangat kuat. Dalam persoalan kalam, pengaruh
paham jabariyah yang dipahami sebagai ajaran yang fatalistis total lebih
mendominansi pemikiran umat islam. Disisi lain, konsep fana
dan baqa dalam sutisme dipahami dengan pendekatan yang anti pati dengan kenyataan kehidupan duniawi dan hanya mengutamakan mengkonsentrasikan diri pada uzlah (mengasingkan diri/ menyendiri)
dan Ibadah
untuk dapat mencapai fana dan baqa pada Tuhan. Adapun faktor
struktural dapat dilihat pada dua hal. Pertama bahwa banyak
wilayah kekuasaan pemerintahan Islam yang berada di bawah imperialisme
dan kolinialisme dunia barat terutama Inggris dan Prancis. Kedua bahwa para
sultan yang berkuasa menjalankan system pemerintahan otokrasi, berkuasa mutlak dan
bertindak sewenang-wenang masyarakat atau rakyat tidak sama sekali
ikut dalam memilih pemimpin. Dan juga terjadi persaingan dan perebutan kekuasaan
antar sultan. Pendekatan yang dilakukan dalam
memperjuangkan ide pemikiran adalah Pan-Islamisme dan nasionalisme. Dengan
cara ini diyakini akan dapat menimbulkan semangat anti terhadap campur
tangan pihak Barat terhadap dunia Islam dan berusaha mengangkat derajat umat
Islam dari berbagai ketertinggalan. Al-Afghani tidak menonjolkan paham yang
dianutnya, oleh karena itu ada kelompok yang mengatakan bahwa ia adalah seorang
sunni dan ada pula kelompok yang mengatakan bahwa ia adalah seorang
syi’ah. Pemikiran kalam modern yang diketengahkan oleh al-Afghani tidak mencakup semua term kalam yang di perbincangkan oleh mutakallimin
pada masa sebelumnya. Ia hanya menyorot dan ,merekonstruksikan pemahaman qadha
dan qadar (takdir) yang fatalistis dan statis menjadi bentuk pemahaman
yang dinamis
dan bersemangat modernis. Ia juga melakukan hal yang sama terhadap
pemahaman fana dan baqa dalam sufisme yang diaktualisasikan dengan arti
pasti bahkan
menjauhi kenyataan kehidupan dunia (uzlah) menjadi pemahaman yang
berisi semangat memperjuangkan kesejahteraan masyarakat, bergaul dan
berjuang bersama masyarakat. Ia berpendapat bahwa iman terhadap takdir
adalah salah satu elemen dasar dalam teologi yang tidak
perlu ditinggalkan, namun harus dipahami dengan pemahaman yang benar yang
memberikan dorongan positif untuk mencapai kebahagiaan kehidupan manusia baik di
dunia dan akhirat. Al-Afghani tidak menyatakan dirinya
sebagai menganut dan pendukung salah satu aliran dari beberapa aliran
kalam, namun dalam pemikiran kalam menurut pandangan penulis dia ada
kecendrungan pada metode salaf, yakni lebih mengutamakan
dan mendahulukan dasar naqli dari pada dasar akli (rasio). AlAfghani
berpendapat bahwa dalil naqli (Al-Qur’an dan hadis) tidak bertentangan dengan akal apabila terjadi pertentangan maka dilakukan
reinterprestasi terhadap interprestasi lama, dengan tidak
menghilangkan subtansi yang terkandung dalam dalil naqli.
Sehubungan dengan itu menyatakan bahwa pintu ijtihad tetap terbuka ia berpendapat bahwa untuk mencapai kemajuan dalam segala bidang umat
Islam harus kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis. Sehubungan dengan itu umat Islam harus mempercayai (beriman)
kepada qadha dan qadar (takdir) Allah sebagai suatu hal yang fundamental
dalam beragama. Untuk mencapai kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan
umat Islam tidak harus meninggalkan kepercayaan terhadap takdir Allah.
Dalam
hal ini Al-Afghani tampaknya ada kecendrungan pada paham Qadariyah yang
mengakui adanya kekuatan dan kemampuan manusia dalam berbuat. Al-Afghani
mengakui adanya kemampuan berbuat pada diri manusia namun tidak berarti
bebas dari
hubungan dengan kekuasaan Allah. Menurut ungkapannya bahwa kudrat
kecil yang
dimiliki oleh manusia tidak bisa lepas hubungannya dengan kudrat
besar yang ada pada Allah. Takdir haruslah dipahami
sebagai hukum sebab akibat apa yang dilakukan sekarang akan berakibat pada
akan datang. Tidak tepat apabila takdir dipahami dengan sifat fatalis secara total. Pemikiran AL-Afghani tentang sufisme khusus pada term fana dan
baqa tampak adanya pemikiran yang relatif modern. Hal ini jika dilihat
dari aspek
kandungan pemahaman yang membawa pada kemajuan kehidupan duniawi
maka tampak perbedaan yang signifikan dengan pemahaman (sebelumnya)
yang memahaminya dengan langkah meninggalkan kehidupan duniawi untuk
mencapai fana dan baqa.
Sejalan
dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi modern yang bercirikan rasionalisme, apalagi jika di hubungkan dengan
kekalahan dan kemunduran umat Islam dalam arena politik
dan ekonomi, Bangsa Eropa yang menganut rasionalisme setelah masa
pencerahan terus menerus m engalami kemajuan dalam berbagai bidang, sedangkan
umat Islam makin terpuruk akibat konflek intern yang berkepanjangan maka
pencerahan pemikiran kalam modern yang dikemukakan oleh Al-Afghani ini masih
relevan untuk diaktualisasikan oleh umat Islam masa kini bahkan mungkin masa
akan datang. Konsep yang dimunculkan disemangati oleh persatuan
umat Islam dengan tidak mengemukakan atau mengunggulkan dan memihak pada salah
satu paham atau aliran yang pernah muncul pada masa sebelumnya.
BAB II
TEORI-TEORI TENTANG BUDAYA
2.1
Konsep Budaya
Kebudayaan
berasal dari bahasa sansekerta buddhayah kata buddhaya adalah bentuk jamak dari buddhi yang
berarti “ budi” atau “ akal”. Secara etimologis, kata “kebudayaan” berarti hal-hal yang yang
berkaitan dengan “akal”. Namun ada pula anggapan bahwa kata “budaya” berasal dari kata
majemuk budidaya yang berarti “daya dari budi” atau “daya dari akal” yang berupa cipta, karsa,
dan rasa. Kata “kebudayaan” itu sepadan dengan kata culture dalam bahasa inggris. Kata culture
itu sendiri berasal dari bahasa latin colere yang berarti
merawat, memelihara, menjaga, mengolah, terutama mengelolah tanah
atau bertani.. Budaya
menurut Kroeber dan Kluckhohn ada enam pemahaman mengenai budaya, yaitu:
a)
Definisi
deskriptif, cenderung melihat budaya sebagai totalitas komprehensif yang menyusun keseluruhan hidup
sosial sekaligus menunjukkan sejumlah ranah (bidang kajian) yang membentuk budaya.
b)
Definisi
historis, cenderung melihat budaya sebagai warisan yang di ahlikan turunkan
dari generasi satu
ke kenerasi berikutnya.
c)
Definisi
normatif, bisa mengambil dua bentuk. Pertama, budaya adalah aturan atau jalan hidup yang membentuk pola-pola
perilaku dan tindakan yang kongkret. Kedua, menekankan peran gugus nilai tanpa
mengacu pada perilaku.
d)
Definisi
psikologis, cenderung memberikan tekanan pada peran budaya sebagai piranti pemecahan masalah yang membuat
orang bisa berkomunikasi, belajar atau memenuhi
kebutuhan material maupun emosionalnya.
e)
Definisi
stuktural, mau menunjukan pada hubungan atau keterkaitan antara aspek-aspek yang terpisah dari budaya
sekaligus menyoroti fakta bahwa budaya adalah abstraksi yang berbeda dari perilaku konkret.
f)
Definisi
genetis : definisi budaya yang melihat asal usul bagaimana budaya itu bisa
eksis atau tetap
bartahan. Definisi ini cenderung melihat-melihat budaya lahir dari interaksi antara manusia dan tetap bisa
bertahan karena di transmisikan dari satu generasi ke generasi lain.
Budaya
menurut Barnouw, (1985) bahwa “budaya adalah sebagai sekumpulan sikap, nilai, keyakinan, dan perilaku yang
di miliki bersama oleh sekelompuk orang, yang di komunikasikan dari generasi ke generasi
berikutnya lewat bahasa atau beberapa sarana komunikasi lain. Definisi budaya ini” kabur”.
Artinya, tidak ada aturan yang baku dan cepat untuk menentukan sebuah budaya atau siapa-siapa
yang termasuk dalam budaya tersebut. Dalam pengertian ini,
budaya adalah sebuah konstruk sosiopsikologis, suatu kesamaan
dalam sekelompok orang dalam fenomena psikologis seperti nilai, sikap, keyakinan dan perilaku. Kebudayaan menurut Falsom
(1928), kebudayaan adalah keseluruhan benada yang di ciptakan manusia. Ia merupakan seperangkat
alat-alat, kebiasaan-kebiasaan hidup yang diciptakan manusia yang kemudian di
turunkan dari generasi ke generasi berikutnya.
Kebudayaan menurut Sir Edward B.Tylor (1871) seorang anropologi
Inggris, mengunakan kata kebudaya untuk menunjukan “keseluruhan kompleks dari ide dan
segala sesuatu yang dihasilkan manusia dalam pengalaman historisnya”. Termasuk di sini
ialah “pengetahuan, kepercayaan, seni, moral hukum, kebiasaan, dan kemampuan serta
perilaku lainya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat”.
Dari
beberapa definisi diatas dapat di simpulkan bahwa kebudayaan adalah hasil daya pemikiran manusia baik bentuk
abstrak maupun konkret. Daya pikir manusialah yang di andalkan dalam kebudayaan,
dengan kata lain manusialah yang menciptakan kebudayaan tersebut sehingga dua unsur
manusialah dan budaya tidak dapat di pisahkan. Kebudayaan mempunyai tiga wujud, yakni
pertama wujud kebudayaan sebagai suatu khasanah dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai,
norma-norma peraturan dan sebagainya, kedua wujud kebudayaan sebagai
suatu khasanah aktivitas perilaku terpola dari manusia dalam
mayarakat, dan ketiga, wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
2.2
Konsep Masyarakat
Istilah
yang paling lazim di pakai untuk menyebutkan kesatuan-kesatuan hidup manusia, baik dalam tulisan
ilmiah maupun dalam bahasa sehari-hari,adalah masyarakat. Dalam bahasa Inggris di pakai
istilah society yang berasal dari kata latin socius, yang berarti
“ kawan”.istilah
masyarakat sendiri berasal dari akar kata Arab syaraka yang berarti
“ikut serta, berpartisipasi”. Pengertian masyarakat menurut
Koentjaraningrat (2002:146) masyarakat adalah semua kesatuan hidup manusia yang
berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang
bersifat kontinu,dan yang terikat oleh suatu rasa identitas
bersama. Masyarakarat menurut M.J. Herskotvite menulis, bahwa masyarakat adalah sekelompok individu yang
di organisasikan
yang mengikuti mengikuti satu cara hidup terentu. Masyarakat menurut J.L Gillin dan J.P Gillin
mengatakan, bahwa masyarakat itu adalah kelompok manusia jang terbesar yang mempunyai
kebiasaan, tradisi, sikap dan perasaan persatuan yang sama. Masyarakat itu meliputi
pengelompokan-pengelompokan yang lebih kecil. Masyarakat
menurut Sofia Rangkuti-Hasibuan, (2002:152-153) bahwa masyarakat dapat diartikan sebagai
kelompok manusia yang anggotanya satu sama lain berhubungan erat dan memiliki hubungan timbal-
balik. Dalam interaksi tersebut tedapat nilai-nilai sosial tertentu, yang menjadi pedoman untuk
bertingkah laku bagi anggota masyarakat. Dengan demikian, anggota masyarakat biasanya
memiliki kebiasaan, tradisi, sikap dan perasaan tertentu yang sama, dan seluruhnya
menciptakan ciri tersendiri bagi masyarakat tersebut. Masyarakat menurut Linton
seorang ahli antropologi mengemukakan bahwa masyarakat adalah setiap kelompok manusia
yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama sehingga mereka dapat mengorganisasikan
diri dirinya dan berfikir tentang dirinya sebagai sutu kesatuan sosial dengan batas-batas
tertentu.
Masyarakat itu timbul dari setiap kumpulan individu-individu yang
telah cukup hidup dan bekerja sama.
Dalam
waktu yang cukup lama itu, kelompok manusia seperti yang di maksud diatas, yang belum
terorganisasikan mengalami proses yang fundamental yaitu adaptasi dan organisasi dari tingkah laku
para anggota serta timbulnya secara lambat laun, perasaan kelompok atau L‟espirit de corps”. Jadi menurut Linton factor penting dalam
pembentukan suatu masyarakat dari kelompok individu itu yaitu faktor waktu.
Seperti
apa yang telah terurai di atas dapat di simpulkan bahwa tiap masyarakat merupakan suatu kesatuan dari
individu-individu yang satu dengan yang lain berada dalam hubungan berinteraksi yang
berpola mantap. Interaksi itu terjadi bila seseorang individu dalam masyarakat berbuat sedemikian
rupa sehingga menimbulkan suatu respon atau reaksi dari individu-individu lain. Manusia
tidak dapat hidup menyendiri, tanpa ada bantuan dari orang lain dan interaksi sosial
itu adalah alat yang membantunya untuk melangsungkan hidupnya.
2.3
Konsep Adat
Sebelum
kedatangan orang-orang barat ke Indonesia, bangsa Indonesia telah mengatur kehidupan dan
ketatanegaraannya dengan aturan yang di sebut adat. Meskipun pada waktu itu Indonesia belum menjadi
suatu Negara kesatuan seperti sekarang ini. Menurut Rafael Raga Maran (dalam Alpian
lamusu 2010:9) dikemukakan bahwa “ istilah adat-istiadat ini sebagian besar telah di pakai
oleh masyarakat Indonesia walaupun dalam dialek bahasa yang berbeda, maka terdengar
berlainan ucapannya.
Pengetian
di atas dapat di uraiakn melalui kenyataan yang ada. Misalnya orang gayo (Aceh)
menyebutnya odot, orang lampung menyebutnya hadat, orang jawa
menyebutnya ngadat
orang bugis menyebutnya ade, dan Gorontalo menyebutanya adati.
Usaha
memenuhi hidup manusia tidak pernah berhenti beraktifitas. Adapun aktivitas ini adalah realisasi hasil pikiran
manusia yang kemudian di aplikasikanya ke dalam berbagai kehidupan yang nyata. Dan
karena hasil aktivitas bersifat abstrak maka dapatlah hal ini digolongkan dalam
wujud ideal kebudayaan, menurut daulima (Renol Hasan 2008:6) bahwa adat istiadat adalah suatu kompleks
norma-norma yang oleh individu-individu penganutnya menjunjung tinggi dalam
kehidupanya. Selanjutnya menurut asal mulanya bawha adat istiadat
berasal dari bahasa arab ”adab" yang normative yang telah
terwujud tingkah laku yang hidup dalam masyarakat dan sampai sekarang terus di pertahankan
keberadaanya.
Suatu
hal yang perlu di perhatikan bahwa seprtinya terdapat perbedaaan antara adat
istiadat dan kebiasaan
di tinjau dari fungsinya, kebudayaan mempunyai fungsi yang sama, yaitu untuk mengkaji tentang tingkah laku
manusia dalam kehidupanya. Sedangkan di tinjauh dari segi kebudayaan adat-istiadat
merupakan kewujudan dan beberapa tingkah laku atau kebiasaan yang
berlaku dalam masyarakat. Sedangkan kebiasaan hanya merupakan adat
istiadat yang hanya menyangkut beberapa kehidupan manusia.
Bangsa
Indonesia adat yang masing-masing daerah suku bangsa yang berbeda-beda ragamnya. Adat istiadat suku
bangsa Indonesia menujukan sifat kebinekaan yang memiliki makna warna walaupun terdapat
perbedaan yang sangat beragam, namun satu dalam bingkai Negara kesatuan Republik Indonesia.
Oleh karena itu merupakan penjelmaan jiwa dari bangsa yang bersangkutan sepanjang
perjalanan massa. Menurut Hajairin (dalam Paskalina Kinugum
2008:11) adat merupakan resepan (endapan) kesusilaan dalam
masyarakat yaitu bahwa kaidah-kaidah merupakan kesusilahan yang sebenarnya mendapat pengakuan
umum dalam masyarakat
itu.
Hukum
adat adalah hokum non ststutair yang sebaagan basar adalah hokum kebiasaan dan sebagian kecil hukum
islam. Hukum adat itupun melengkapi hukum yang berdasarkan keputusan-keputusan hakim yang
berisi asa-asas hukum dalam lingkungan di mana ia memutuskan perkara. Hukum data adalah beraturan berakar pada
kebudayaan trdisional. Hukum adat adalah suatu hokum yang hidup, karena ia menjalankan perasaan
hukum yang nyata dari rakyat. Sesuai dengan fitrahnya sendiri, hukum adat terus-menerus
dalam keadaan tumbuh dan
berkembang seperti hidup itu sendiri.
Hukum
adat yakni hukum adat perdata, berlaku bagi bangsa Indonesia dalam hal-hal
dimana hukum perdata
tidak diganti dengan peraturan undang-undang. Orang-orang Eropa dan orang-orang
Tionghoa, yang menjadi tangan Belanda kepada Republik Indonesia ini adalah
warisan dari
pemerintah Kolonial Belanda dan sampai sekarang masih berlaku. Hukum adat
pidana dan hukum adat
acara berlaku dalam hal-hal, di mana hukum adat itu belum diganti dengan
peraturan-peraturan undang-undang di daerah-daerah Indonesia, di
mana masih bertugas apa yang dinamakan “pengendalian adat” (inheemse rechtspaak).
Hukum
adat konstitusional dan hukum adat usaha-usaha berlaku jika belum diganti dengan peraturan-peraturan
undang-undang dalam masyarakat-masyarakat desa dan daerah adat otonom yang lebih tinggi
tingkatnya. (Prof. DR. R. Soepomo, S.H. Hukum adat 1987:03).
Dari uraian
di atas maka dapat di simpulkan bahwa adat merupakan kebiasaan yang bersifat magis religius dari
kehidupan penduduk asli yang meliputi nilai-nilai budaya, normanorma hukum dan
aturan-aturan yang saling berkaitan dan kemudian menjadi suatu sistim atau aturan-aturan yang saling
berkaitan dan kemudian menjadi suatu sistim atau aturan-aturan tradisional.
2.4
Ekologi budaya
Ekologi
budaya adalah yang terikat di antara pendekatan-pendekatan yang pada hakikatnya bersifat
metodologis Davit Kaplan (dalam nasvianty bagian 2013:13 di sebut “orientasi teoretik”) pendekatan
alias ancangan, ataupun metodologi, atau orientasi ekologi budaya, merupakan perhatian
pokok para antropologi yang di kenal sebagai kelompok evolusionis. Suatu ciri dalam
ekologi budaya ialah perhatian mengenai adaptasi pada dua tataran. Pertama sehubungan dengan cara
sistem budaya beradaptasi terhadap lingkungan totalnya, dan
kedua sebagai konsekuensi adaptasi sistematik itu. Ekologi budaya
menyatakan bahwa pentingnya proses-proses adaptasi akan memungkinkan kita melihat
cara kemunculan, pemeliharaan dan transformasi berbagai konfigurasi budaya.
Julian
sterward dalam bukunya Roger M keeng (1999:146) mengendalikan bahwa ada bagian inti dari sistem sosial
budaya, khususnya tanggap terhadap adaptasi ekologi, pembagian kerja, ukuran dan stabilitas
dari kelompok-kelompok local dan penyebaranya dalam suatu wilayah dan dan
ketentuan-ketentuan pemukiman. Berbagai penyesuaian terhadap tekanan ekologis secara langsung
mempengaruhi unsur-unsur inti dari struktur sosial ini, jadi iklim yang
bermusim tersedianya air, atau kesuburan tanah akan menentukan
beberapa banyak orang dapat tinggal di suatu pemukiman, beberapa lama mereka bisa menetap,
bagaimana penyebaran mereka dan bagaimana penduduk mengatur upaya produktif mereka, dan
bagaimana penduduk mengatur upaya produktif mereka. Pengaruh pada sruktur social ini
kemudian bercabang-cabang melalui suatu budaya agar perkembangan perubahan dalam berbagai
bidang hanya secara
sekunder dikaitkan dengan ekologi dalam gagasan kosmologi, pola
sukses politik, seni dan sebagaiya.
Umumnya
ekologi budaya cultural cenderung menekanakan teknologi dan ilmu ekonomi dalam analisis mereka terhadap
adaptasi budaya. Apakah kesadaran dalam segi-segi budaya itulah kelihatan jelas peradaban
di antara budaya-budaya di samping peredaban dari waktu ke waktu di dalam suatau budaya.
Apakah kesadaran moral manusia atau mutu kehidupan sosialnya telah berubah atau maju
sepanjang beberapa ribu tahun yang lalu, adalah soal yang mudah memancing perselisihan
pendapat. Akan tetapi jelas sekali bahwa penguasaan manusia atas
linngkungannya telah meningkat hebat sejak zaman palaeolithic. Dapat
di katakan bahwa peningkatan ini sebagai besar terjadi karena perbaikan sarana
teknologi yang dapat digunakan manusia dan arena pertumbuhan pengetahuan ilmiah. Budayah-budaya
moderen sekarang ini sanggup menganut filsafat moral yang usianya telah 2000 tahun.
Demikianlah
maka berbeda dengan ekologi umum, ekologi budaya tidak sekedar membicarakan interaksi
bebtuk-bentuk kehidupan dalam suatu ekosistem tertentu, melainkan membahas cara manusia (berkat
budaya sebagai sarananya) memanipulasi dan membentuk ekosistem itu sendiri. Para
ekolog budaya menekankan bahwa berbagai corak manipulasi lingkungan (adaptasi nonpasif)
telah menghasilkan berbagai ragam konfigurasi dan sistem budaya.
Dari
pembahasan di atas menjadi jelas bahwa dua konsep sentral dalam ekologi budaya ialah lingkingan (environment)
dan adaptasi (adaptation). Kata lingkungan umunya di sama artikan dengan
cirri-ciri atau hal-hal menonjol yang menandai habitat alami yaitu cuaca, flora
dan fauna, tanah,
pola hujan,dan bahkan ada tidaknya mineral di bawah tanah. Salah satu kaidah
dasar ekologi budaya adalah pembedaan antara lingkungan-sebagaimana adanya
dengan lingkungan
efektif, yakni lingkungan sebagaimana dikonseptualisasikan, dimanfaatkan
dan dimodifikasi oleh manusia.
Adaptasi
merupakan proses yang menghubungakan sistem budaya dengan lingkunganya. Budaya dan lingkungan
berinteraksi dalam sesuatu sistem tunggal tidaklah berarti bahwa pengaruh kausal dari budaya ke
lingkungan niscaya sama besar dengan pengaruh lingkungan terhadap budaya. Dengan
kemajuan teknologi, maka faktor dinamik dalam kepaduan budaya dan lingkungan makin lama makin
didominasi oleh budaya dan bukinya oleh lingkungan itu sendiri.
Konsep
adaptasi menurut para antropolog adalah suatu budaya yang sedang bekerja, dan mengganggap bahwa warga budaya
itu telah melakukan semacam adaptasi terhadap lingkungannya secara baik. Seandainya tidak demikian, budaya itu
niscaya sudah lenyap,
dan kalaupun ada peninggalannya itu hanya akan berupa kenangan arkeologis
tentang kegagalan budaya itu beradaptasi. Artinya kegagalanya yang sama,
salah satunya mampu melebarkan sayapnya dengan dengan menguraikan budaya lainya. Hal
ini berarti kelestarian budaya yang pertama mampu beradaptasi dengan baik terhadap
lingkunganya dibandingkan
dengan adaptasi budaya yang digusurnya.
Ekologi
budaya adalah sebuah cara pandang memahami persoalan lingkungan hidupnya dalam perfektif budaya. Atau
sebaliknya, bagaimana memahami kebudayaan dalam perspektif lingkungan hidup. Ulang-alik
antara lingkungan hidup (ekologi) dan budaya itulah yang menjadi bidang garap Ekologi Budaya.
Menurut
Julian Stewaed (dalam ihromi 2006:70) Ekologi budaya yaitu analisa mengenai hubungan antara suatu
keudayaan alam dengan sekitarnya atau lingkungannya. Sterward merasa bahwa penjelasan untuk
beberapa aspek-aspek variasi kebudayaan dapat di cari dalam adaptasi masyarakat terhadap lingkunganya.
Teory
ekologi berbeda dengan teori yang lain. Teori ekologi memempatkan tekanan yang kuat pada landasan
perkembangan biologis. Teori ini mengajukan suatu pandangan bahwa lingkungan sangat kuat
mempengaruhi perkembangan. Teori ekologi (ecolological theory) Ialah pandangan sosio cultural tentang
perkembangan yang terdiri dari lima system lingkungan mulai dari masukan hingga masukkan
kebudayaan yang berbasis luas. Kelima system dalam teori
ekilogi bronfenbrenner ialah mikrosistem, mesosistem, makrosistem,
dan kronosistem.
Mikrosistem
(micrisystem) dalam teori ekologi Bronfebrenner ialah setting dalam mana individu hidup.
Mikrosistem adalah yang paling dekat dengan pribadi anak yaitu keluarga, guru,
individu, teman-teman sebaya, sekolah, lingkungan dan sebagainya yang sehari-hari
di temui anak. Dalam mikrosistem inilah interaksi yang paling langsung dengan
agen-agen sosial berlangsung, misalnya dengan orang
tua teman sebaya dan guru. Individu tidak di pandang sebagai penerima pengalaman yang pasif dalam setting ini,
tetapi sebagai seorang yang
menolong membangun setting. Bronfrenbrenner menunjukkan bahwa
kebanyakan penelitian tentang dampak-dampak sosio kultural berfokus pada mikrosistem.
Mikrosistem
adalah interaksi antara faktor-faktor dalam sistem mikro meliputi hubungan antara beberapa mikrosistem
atau beberapa konteks misalnya hubungan-hubungan orangtua-guru, orangtua-teman,
antara teman,guru teman, dapat juga hubungan antara pengalaman sekolah dengan pengalaman
keagamaan dan pengalaman keluarga, dengan pengalaman teman sebaya. Misalnya anak-anak
yang orang tuanya menolak mereka dapat menggalami kesulitan mengembangakan hubungan
positif dengan guru. Para devolopmentalis semakin yakin pentinganya mengamati perilaku
dalam setting majemuk untuk memperoleh gambaran yang lebih lengkap tentang perkembangan
individu.
Ekosistem
dalam teori Bronfenbrenner dilibatkan ketika pengalaman-pengalaman dalam setting sosial lain dimana
individu tidak memliki peran yang aktif mempengaruhi apa yang individu alami dalm konteks
yang dekat. Atau sederhananya menurut ekosistem melibatakan pengalaman individu yang tak
memiliki peran aktif di dalamnya. Pengalaman kerja dapat mempengaruhi hubungan seorang
perempuan dengan suami dan anaknya. Seorang ibu dapat
menerima promosi yang menuntutnya melakukan lebih banyak
perjalanan yang dapat meningkatkan konflik perkawinan dan perubahan pola interaksi orang
tua-anak. Maka diketahui bahwa ekosistem tidak langsung menyentuh pribadi anak akan tetapi
akan tetapi masih besar pengarunya seperti koran, televisi, dokter, keluarga besar, dll.
Mikrosistem
meliputi kebudayaan dimana individu hidup. Kita ketahui bahwa kebudayaan mengacu pada pola perilaku,
keyakinan dan semua produk lain dari sekelompok
manusia yang di teruskan dari generasi ke generasi. Kita ketahui
pula bahwa kebudayaan lainmemberi informasi tentang generalitas perkembangan. Mikrosistem
terdiri dari ideologi Negara, pemerintah, tradisi, agama, hukum, adat istiadat, budaya, dll.
Okosistem meliputi pemolaan peristiwa-peristiwa sepanjang rangkaian kehidupan dan keadaan
sosioshistori. Misal, dalam
mempelajari dampak penceraian terhadap anak-anak, para peneliti
menemukan bahwa dampak negatif sering memuncak pada tahun tahun pertama setelah
pencarian. Atau dengan mempertimbangakan keadaan sosihistoris, dewasa ini, kaum perempuan
tampaknya sangat di dorong unutuk meneliti karier disbanding pada 20 atau 30 tahun
lalu.
2.5
Struktural Fungsional
Dalam
salah satu bentuknya, fungsionalisme adalah penekanan dominan dalam studi antropologi khusunya penelitian
etnongrafis, selama beberapa dasawarsa siman (sudah barang tentu menonjolkan fungsionalisme
dan kerja lapangan dalam antropologi secara bersamaan ini bukan hal kebetulan). Dalam
fungsionalisme ada kaidah yang bersifat mendasar bagi suatu antropologi yang mengesplorasi
ciri sistematik budaya. Artinya kita harus mengetahui bagaimana perkaitan antar
stitusi-stitusi atau sruktur-struktur suatu masyarakat sehingga membentuk suatu sistem yang
bulat. Kemungkinan lainnya ialah memandang budaya sebagai sehimpun cirri yang berdiri
sendiri,khas dan tanpa kaitan,yang muncul di sana sini karena kemunculan historis.
Kiranya
perwujudan metodologi fungsionalisme inilah yang di uraikan oleh Kingsley Davis dan Davit kaplan (dalam
nasvianti baigan 2013:19) yang menyatakan bahwa fungsionalisme sinonim dengan
analisis sosiologis dan antropologis. Akan tetapi karena semua ilmu berkepentingan dengan pengisolasian sistem secara konsepsual
dan pengeksplorasian variabel dalam sistem tersebut, pandangan fungsionalisme bukan
hanya sinonim bagi ilmu sosial
saja. Dalam arti yang lebih luas, sinonim dengan semua ilmu.
Dalam
teori fungsinalisme struktural di kenal dengan sebagai integration
approach,order approach, dan equilibrium
approach, menekankan keteraturan sebagai sumber integrasi dan keseimbangan.
Menurut teori ini masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian
atau elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang
terjadi pada suatu bagian akan membawa perubahan pula terhadap bagian yang lain.
Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang
lainya, secara ekstrim dapat di gambarkan bahwa semua peristiwa dan semua struktur adalah
fungsional bagi masyarakat.
Adapun
dalam ilmu antropolog biasanya bekerja dengan menggunakan asumsi yang tersirat, yakni mengenal batasan
unit yang sedang diamati (desa, suku, dan komunitas). Robet marton dan Davit kaplan (
dalam nasvianti baigan 2013;19) menyebutkan asumsi tersirat itu sebagai:
a)
Postulat
keutuhan fungsional masyarakat, yakni bahwa segala sesuatu berhubungan fungsional dengan segala
sesuatu yang lain.
b)
Postulat
fungsionalisme universal, yaitu bahwa segala unsur budaya melaksanakan sesuatu fungsi dan tidak ada sutu pun
unsur lain yang melaksanakan fungsi yang sama itu.
Upaya
menjernihkan konsep fungsi Marton dan Davit Kaplan (dalam nasvianty baigan 2013:20) telah memperkenalkan
perbedaan antara fungsi manifest dan fungsi laten (fungsi tampak dan funsi terselubung
), dalam suatu tindak atau unsur budaya.Fungsi manifest ialah konsekuensi objektif
yang memberikan sumbangan pada penyesuaian atau adaptasi system yang
di kehendaki dan di sadari oleh partisipan system tersebut.
Sebaiknya fungsi laten adalah konsekuensi objektif dari suatu budaya yang tidak di kehendaki
maupun didasari oleh warga masyarakat.
Teory
fungsionalisme sturuktural memilki proritas pada kerurunan sosial dan sedikit memperhatikan masalah
perubahan sosial. Titik prioritasnya itu antara lain:
a)
Sistem
memiliki properti keteraturan dan bagian-bagian yang saling tergantung.
b)
Sistem
cenderung bergerak kearah mempertahankan keteraturan-diri atau keseimbangan.
c)
Sistem
mungkin statis atau bergerak dalam proses perubahan yang teratur.
d)
Sifat
dasar bagian suatu sistem berpengaruh terhadap bentuk bagian-bagian yang lain.
e)
Sistem
memelihara batas-batas dengan lingkungannya.
f)
Alokasi
dan integrasi merupakan dua proses fundamental yang diperlukan untuk memelihara keseimbangan sistem.
g)
Sistem
cenderung kearah pemeliharaan keseimbangan diri yang meliputi pemeliharaan batas dan pemeliharaan
hubungan antara bagian-bagian dengan keseluruhan sistem, mengendalikan lingkungan yang
berbeda-beda dan mengendalikan kecenderungan untuk merubah sistem dari dalam.
Dalam hal ini
Raymond Fitth (dalam davit Kaplan 1999:83)mengemuka-kan bahwa satu di antara masalah-masalah pokok
analisis fungsional adalah kesulitan pihak pengamat untuk memperkirakanya fungsi-fungsi
dalam situasi empirik. Banyak hal bergantung pada pandangan pengamatan tentang karakter
keseluruhan hubungan-hubungan sosial, dan bergantung pula pada teori yang menurut pengamat
dapat diterapkan. Contohnya orang-orang dapat membahas “fungsi protes” dan fungsi “penekanan” yang di miliki serikat-serikat
dengan sebagai fungsi introvert yang melayani kepentingan sendiri dan keterpeliharaannya
solidaritas internalnya. Akan tetapi orang dapat memandanganya sebagai sesuatu yang di fungsionalkan
dari titik pandang bahwa
masyarakat adalah suatu keseluruhan yang bulat dan ada
praktek-praktek tertentu yang bersifat menghambat atau menggangu keutuhan itu. Sebaliknya orang dapat
memandangnya sebagai bagian dari proses keseluruhan dimana kelompok-kelompok
serta-merta mengungkapkan diri dan serta bekerja di tengah masyarakat, memberikan keyakinan diri
dan energi kepada anggota-anggotanya, dan mempersembahakan hasil karyanya
kepada masyarakat.yang mengandalkan
upaya kelompok-kolompok tersebut.
Dalam
fungsionalisme struktural di kenal juga teori tentang sruktur sosial dan anomie yakni analisis mengenai
hubungan antara kultur, struktur dan anomie. Kultur sebagai seperangkat nilai normatif yang
terorganisir, yang menentukan perilaku bersama anggota masyarakat atau anggota kelompok. Sruktur
sosial adalah seperangkat hubungan sosial yang terorganisir, yang dengan berbagai cara
melibatkan anggota masyarakat atau kelompok didalamya. Anomie terjadi bila ada keputusan hubungan
antara norma kultural dan tujuan dengan kapasitas yang tersruktur secara sosial anngota kelompok
untuk bertindak sesuai dengan nilai kultur secara sosial dari anggota kelompok untuk
bertindak sesuai dengan nilai kultur. Artinya bahwa karena posisi mereka didalam sruktur sosial
masyarakat beberapa orang tidak mampu bertindak sesuai dengan nilai normatif. Kultur
menghendaki tipe perilaku tertentu yang justru dicegah oleh sruktur sosial.
Teori
fungsionalisme struktural adalah sebuah sudut pandang luas dalam sosiologi dan antropologi yang berupaya
menafsirkan masyarakat sebagai sebuah struktur dengan bagianbagian yang saling
berhubungan. Fungsionalisme menafsirkan masyarakat secara keseluruhan dalam hal fungsi dari
elemen-elemen konstituennya terutama norma, adat, tradisi, dan institusi.sebuah analogi umum yang di populerkan Harbert spencer.
Menampilkan
bagian-bagian masyarakat ini sebagai “organ” yang bekerja demi berfungsinya seluruh “badan”
secara wajar. Dalam arti paling mendasar, istilah-istilah ini menekankan upaya untuk
menghubungkan sebisa mungkin dengan setiap fitur, adat, atau praktik, dampaknya terhadap
berfungsinya suatu sistem yang stabil dan kohesif.
Selain
itu, ada dua macam mekanisme yang dapat mengintergrasikan sistem-sistem persoalan ke dalam sistem
sosial, yaitu mekanisme sosialisasi dan mekanisme kontrol sosial. Melalui operasi kedua
mekanisme ini, sistem personal akan menjadi sruktur dan secara harmonis terlihat di dalam struktur
sistem sosial. Pengertiannya yang secara abstrak mekanisme sosial dipandang
sebagai cara dimana pola-pola kultural seperti nilai-nilai, kepercayaan-kepecayaan bahasa serta simbol-simbol
lain di internalisasikan ke dalam sistem personal. Mekanisme control sosial melibatkan cara-cara di
mana tindakan-tindakan sosial di organisasikan di dalam sistem sosial untuk mengurangi
ketengangan dan penyimpangan. Ada beberapa mekanisme spesifik dari kontrol sosial, antara lain:
a)
Instutisionalisasi,
yang membuat pengharapan-penharapn di dalam masyarakat menjadi jelas dan terkontrol
b)
Adanya
sanksi, di mana anggota masyarakat terikat di
dalamya
c)
Aktivitas-aktivitas
keagamaan, dimana ketengangan dan penyimpangan dapat diredamkan dan di kurangi
d)
Struktur-stuktrur
reintegrasi
e)
Sistem
yang memiliki kemampuan
dalam menggunakan kekuasaan dan tekanan.
Menurut
pandangan Melikonowski (dalam ihromi 2006:62) tentang kebudayaan, semua unsur kebudayaan akhirnya
dapat di pandang sebagai hal yang memenuhi kebutuhan dasar para warga masyarakat. Pendekatan yang fungsional mempunyai suatu
nilai praktis yang penting. Nilai yang praktis dari teori tersebut di atas (teory
fungsionalisme) adalah bahwa teori ini mengajar tentang kepentingan relativ dari berbagai kebiasaan yang
beragam itu.
Penjelasan
tersebut di atas adalah gambaran tentang teori fungsional struktural, seperti yang telah kita ketahui
bersama adalah teori fungsional struktural, melahirkan sebuah reaksi sehingga
lahirlah teori konflik
yang berkembang sebagai reaksi terhadap fungsionalisme struktural dan akibat
berbagai
kritik dari teori fungsional sturuktural. Masalah mendasar dalam
teori konflik adalah teori tersebut tak pernah berhasil memisahkan dirinya dari
akar struktural fungsionalnya. Teori ini merupakan sejenis fungsionalisme struktural
yang angkuh ketimbang teori yang benar-benar berpandanagn kritis terhadap masyaraakat.
Teori
struktural fungsional berkaitan erat dengan sebuah struktur yang tercipta dalam masyarakat. Struktural -
fungsional, yang berarti struktur dan fungsi. Artinya, manusia memiliki peran dan fungsi masing-masing
dalam tatanan struktur masyarakat. Hal ini tentu telah menjadi perhatian oleh banyak ilmuwan
sosial, dari zaman klasik hingga modern. Teori-teori klasik fungsionalisme diperkenalkan
oleh Comte, Spencer, dan E. Durkheim, serta fungsionalisme
modern yang diteruskan oleh Robert K. Merton dan Anthony Giddens.
Di
awal-awal kelahiran teori fungsionalisme. August Comte berpikir agar ilmu-ilmu sosial tetap menjadi ilmiah,
dan memandang biologi sebagai dasar melihat perkembangan manusia, hingga lahirlah ilmu
sosiologi. Kajian, teori fungsionalisme mempelajari struktur dalam masyarakat seperti halnya perkembangan
manusia dalam struturasi organisme. Spencer menyebutkan, “jika salah satu organ mengalami ketidakberesan‟ atau
sakit‟, maka fungsi dari bagian tubuh yang lain juga
akan terganggu.” Hal yang sama terjadi pada sebuah tatanan
kesatuan dalam masyarakat. Jika salah satu atau dua individu tidak
dapat menjalankan fungsi dan perannya dengan baik, maka akan sangat mengganggu sistem
kehidupan.
Masyarakat,
sebuah kesatuan yang terdiri dari beragam individu dengan latar belakang politik, budaya, sosial, dan
ekonomi yang berbeda. Dalam pandangan Robert K. Merton yang diteruskan dari Comte,
Spencer, dan E. Durkheim, masyarakat cenderung mengalami perubahan seiring dengan perkembangan
zaman. Jika perubahan tersebut kearah positif, maka dapat disebut
sebagai masyarakat berfungsi, namun jika terjadi hal sebaliknya,
maka dapat disebut sebagai masyarakat tidak berfungsi (disfungsional). Menurut Comte dan
Spencer, perkembangan masyarakat bermula dari kesederhanaan hingga akhirnya menuju pada
masyarakat positif, dengan pembagian struktur yang juga semakin kompleks, dari
masyarakat primitif ke masyarakat industri. Dalam arti lain, seperti teori Karl Marx dalam pembagian
kelas. Yang menyebutkan bahwa masyarakat berubah dari masyarakat primitif dengan struktur
proletarian (pemilik tanah dan buruh), masyarakat Industri (pemilik modal dan buruh
industri), lalu masyarakat modern (kapitalis). Penekanan yang terjadi pada teori fungsionalis
struktural bersumber pada bagaimana dalam perkembangan tersebut mencakup keragamannya, tercipta sebuah
keseimbangan (equilibrium)
atau dinamic equlibrium (keseimbangan berjalan). Notebene, berasal dari
fungsi dan peran
masing-masing individu yang ada dalam masyarakat. Parsons (1957) menyebutkan, keseimbangan dapat tercipta
dengan konsep Adaptation (adaptasi), Goals (tujuan), Integration (integrasi), dan Latern
Pattern Maintenance (pemeliharaan pola-pola). Adaptation, yang
berarti dilaksanakan
oleh masing-masing individu, terhadap pengaruh baru yang masuk. Integrasi, mencakup bagaimana fungsi dan
peran dalam masyarakat saling terhubung (connected). Tujuan jelas merupakan
tujuan umum yang ingin dicapai oleh masyarakat tersebut dibantu oleh norma-norma
yang dimiliki, dan sanksi terhadap pelanggaran norma.
Meski
terjadi konflik pun, dapat diatasi dengan penyesuaian-penyesuaian dan institusionalisasi (Nasikun,
1984:11). Lattern Pattern Maintenance, sub konsep yang terakhir ini merupakan pemeliharaan
pola-pola, dimana suatu masyarakat memiliki peluang untuk menjaga tatanan sistem yang
sudah terbentuk. Sekali lagi, meski terdapat „penyakit sosial‟ atau pelanggaran norma yang mungkin
terjadi, tidak akan mampu merusak tatanan kehidupan masyarakat.
Konsep
AGIL oleh Parsons diatas digunakan untuk bertahan (defensed) dalam sebuah struktur fungsionalisme.
Tentu, sebuah tatanan masyarakat akan dipengaruhi oleh subsistem yang ada didalamnya (struktur
fungsionalisme) diantaranya subsistem ekonomi, perubahan ekologis (lingkungan tempat
tinggal), politik, kebudayaan, dan sosialisasi (David Easton dan Talcott Persons). Karena
menurut Mallinowski, terdapat empat unsur fungsionalisme mencakup:
a)
Sistem
norma yang memungkinkan kerjasama antar individu dalam masyarakat
b)
Organisasi
ekonomi (baik swadaya maupun bentukan pemerintah)
c)
Alat-alat
pendidikan
d)
Organisasi
kekuatan (politik), yakni regulasi (peraturan/kebijakan) yang dibuat oleh
pemerintah atau daerah
setempat.
Struktural
fungsionalisme berjalan melalui individu – individu (invidu Act) sebagai aktor dengan menjalankan fungsi dan
perannya masing – masing melalui bentuk adaptasi terhadap subsistem struktural
fungsionalisme, yang menghasilkan sebuah tindakan (unit aksi). Dari unit aksi inilah kemudian terjadi
sistem aksi (act system) dimana masyarakat telah menemukan tujuan dari aksi tersebut. Sehingga terbentuklah sebuah tatanan
masyarakat dengan keunikannya tersendiri. Nantinya, akan mengalami perubahan yang lebih
kompleks.
Teori
struktural fungsional juga mengalami perubahan seiring dengan perkembangan masyarakat yang semakin
kompleks. Jika diawal-awal lahirnya teori ini diprakarsai oleh Comte, Parsons, dan E.
Durkehim dengan menyesuaikan jiwa jaman (Geiisweitch) saat itu, yakni keadaan dimana masyarakat
masih begitu sederhana. Maka dalam perkembangan yang lebih lanjut, teori structural fungsional
klasik tersebut dinilai „kurang‟ sesuai dengan perkembangan masyarakat saat ini yang lebih
kompleks. Sehingga munculah teori-teori baru yang diteruskan oleh Robert K. Merton (1910 –
2003), dan Anthonny Giddens (1938-sekarang). Robert K.Merton yang lebih
menitikberatkan kajiannya terhadap perubahan sosial dan Anthonny Giddens dengan strukturisasi
masyarakatnya.
Dalam
masyarakat yang lebih kompleks, pembatasan terhadap teori fungsional dinilai perlu dilakukan, dimana
perubahan – perubahan kerap terjadi. Robert K. Merton mengakui bahwa teori fungsionalisme
klasik telah banyak membantu bagi perkembangan studi kemasyarakatan, namun tidak
dapat menjawab permasalahan sosial secara keseluruhan. Menurut Merton dan Giddens, tindakan
sosial (act social) tidak pernah terlepas dari struktur sosial. Raclidffe brown menyebutkan,
pembagian dalam masyarakat beserta ide mengenai strata yang membedakan agama, ras, dan
suku tersebut dipengaruhi oleh peraturan-peraturan dan hukum yang sedang berlaku di sekitar
lingkungan masyarakat.
Ada
keterkaitan antara struktur sosial dengan perilaku dan adaptasi individu.
Lower class (masyarakat bawah) misalnya, cederung memiliki kesempatan yang lebih
kecil jika dibandingkan
dengan masyarakat kelas atas. Tentu hal ini berakibat pada keresahan, frustasi,
dan kekecewaan terhadap individu – individu tertentu, sehingga dapat
menghasilkan perubahan sosial dengan adaptasi tertentu. Masih menurut Merton, adaptasi
dalam teori structural fungsional terbagi menjadi 5 jenis yakni conformity (keadaan
tetap pada keadaan sosial yang lama), Inovation (terdapat perubahan cara untuk menggapai
tujuan dalam masyarakat), Ritualism
(bentuk penolakan terhadap pengaruh – pengaruh baru), Retreatism
(bentuk penarikan diri individu dengan cara melakukan penyimpangan sosial), dan Rebellion
yang berarti pemberontak, dan berani mengubah tatanan struktur sosial secara keseluruhan.
Dalam
teori Giddens, perubahan sosial yang terjadi memerlukan struktur sosial
(recurrent social
practise) sebagai sarana dan sumber daya untuk melakukan tindakan sosial.
Perubahan sosial yang
juga dipengaruhi oleh subsistem (ekonomi, budaya, politik, dan sosialisasi) dan struktur teori fungsionalisme
(norma, organisasi ekonomi, alat pendidikan, dan politik kebijakan pemerintah), membutuhkan jarak
(space) saat praktiknya dimulai, notabene tidak semua ritual
lama ditinggalkan oleh masyarakat.
2.6
Panggoba Dalam Masyarakat Gorontalo
Masyarakat
Gorontalo mengenal budaya dengan istilah “panggoba”Yang mengandung arti Orang tua. Budaya ini
menjadi ciri khas kepribadian masyarakat gorontalo yang telah di bina secara turun- temurun.
Panggoba bangi masyarakat gorontalo merupakan suatu adat istiadat yang menjadi panutan
anggota masyarakat pemimpinya yang di dasarkan pada solidaritas sosial, letak
geografis, iman dan kepercayaan guna memenuhi kebutuhan dan kepentingan bersama. Sebagian
masyarakat Gorontalo belum mengetahui konsep “panggoba” sebagai sebuah nilai kultural
dasar masyarakat, numun dalam beberapa kesempatan kebanyakan masyarakat mencampur adukan pengertian panggoba menjadi beberapa
bagian. Ada yang mengatakan panggoba sebagai dukun, penjaga, milu tua, orang tua, bulan
dan masih banyak lagi orang yang salah menafsirkannya.
Panggoba
merupakan indentitas dan corak masyarakat yang di wariskan dari nenek moyang kita yang selama
puluhan tahun atau bahkan ratusan tahun. Ditetapkan oleh orang yang dituakan dan menjadi panutan
masyarakat dengan sebutan Panggoba Ilmu ini di wariska secara turun-temurun. Panggoba adalah
sebutan bagi orang yang menguasai ilmu perbintangan. Ilmu tersebut diwariskan
turun-temurun. Dengan melihat posisi bintang, panggoba akan menentukan
kapan waktu yang tepat untuk memulai menanam atau memanen. Bahkan,
dibagi secara rinci saat-saat yang tepat untuk menanam tanaman yang berbuah di bawah
(kacang tanah), berbuah ditengah (jagung), dan berbuah di atas (padi).
Melihat
posisi bintang, panggoba akan menentukan kapan waktu yang tepat untuk memulai menanam atau memanen.
Bahkan, dibagi secara rinci saat-saat yang tepat untuk menanam tanaman yang berbuah
di bawah (kacang tanah), berbuah di tengah (jagung), dan berbuah di atas (padi). Ada
tiga posisi bintang yang jadi acuan Ketiga posisi bintang itu adalah taa daata, otoluwa, dan toto’iya. Posisi bintang taa daata
artinya kumpulan bintang dalam jumlah yang banyak Otoluwa dan toto’iya memiliki
jumlah bintang sebanyak tujuh buah, pembagian nya adalah tiga bintang di atas dan empat bintang otolowa
dan toto’iya memiliki perbedaan-perbedaanya yaitu antara otoluwa dan toto’iya adalah
waktu peredarannya, bintang Otoluwa beredar mulai Juni hingga
Desember. Bintang toto’iya beredar mulai Januari hingga April. Adapun bintang jenis taa
daata beredar mulai Mei hingga Juni. Bintang toto’iya disebut
oleh panggoba sebagai rajanya bintang karena pada bulan-bulan
itulah waktu yang tepat untuk
menyebar bibit tanaman.
Selain
menguasai ilmu perbintangan dan penetapan waktu menanam, seorang panggoba juga menguasai ilmu penetapan
waktu menanam, selain itu seorang panggoba juga menguasai ilmu pembasmian hama. Dalam
membasmi hama, mereka menggunakan bahan-bahan alami, seperti kayu cendana, air
kelapa muda, atau batu kemenyang. Caranya, kayu cendana dan batu kemenyan dihancurkan sampai
halus dan dicampur dengan air kelapa muda. Setelah larut,
campuran itu disebarkan di seliling petak sawah atau di pematang
sesaat setelah penanaman dimulai, Maksud dari ritual ini tak lain adalah agar buah pada tanaman
tidak mendapat gangguan binatang atau di serang hama selain itu panggoba juga berperan
penting dunia pertanian. Kepada panggoba, petani bertanya kapan waktu yang tepat untuk menanam dan
memanen.
Pada
zaman dulu, seorang panggoba selalu menjadi rujukan petani sebelum mereka memulai penebaran benih,
menanam, atau memanen. Jika mereka tidak mengikuti anjuran panggoba, biasanya hasil panen
akan buruk. Seiring perubahan cuaca dan ilmu modern bidang pertanian, kini peran panggoba
mulai surut. Saat ini tak bisa diprediksi waktu musim hujan tiba atau berakhir. Yang terpenting
perawatan tanaman karena faktor.
Hal
ini kalau diwariskan dan diterapkan secara baik maka pasti akan meningkatkan produksi pangan lokal yang
variatif, karena masyarakat setempat sangat pandai dan bijak membaca tanda tanda alam sebelum
menanam, sesudah menanam maupun pada waktu panen. Namun panggoba tidak hanya berperan pada satu bidang saja panggoba
selain berperan dalam dunia pertanian panggoba juga berperan di bidang payanggo, jam
yang baik untuk melakukan pekerjaan, tanggal yang baik memulai pekerjaan, hari na‟as setiap
bulan(lowangga), cahaya setiap bulan,perhitungan bulan
di langit dan hari untuk di pakai pada sewa pekerjaan, jatuhnya 1 hari Muharram tahun baru
islam, dan masih banyak lagi perananya.
Tujuan
dan manfaat pelaksanaan panggoba memanag sudah menjadi kepribadian bangsa Indonesia yang harus
benar-benar di jaga dan di pelihara, akan tetapi arus kemajuan ilmu dan teknologi ternyata
membawa pengaruh yang cukup besar terhadap sikap dan kepribadian suatu bangsa, serta
selalu di ikuti oleh perubahan tatanan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat.
Adapun nilai-nilai yang telah menjadi bagian dari kebudayaan bangsa Indonesia, tentu tidak akan
lepas dari penggaruh tersebut. Namun syukurlah bahwa sistem budaya kita di landasi oleh
nilai-nilai keagamaan yang merupakan benteng kokoh dalam menghadapi arus perubahan jaman.
Tradisi
panggoba memiliki aturan main yang di sepakati bersama (norma), menghargai prinsip timbal balik di mana
masing-masing pihak memberikan kontribusi dan dalam waktu tertentu akan menerima
kompensasi/reward sebagai suatu bentuk sistim resiprositas (reciprocity), ada
saling percaya antara pelaku bahwa masing-masing akan mematuhi semua bentuk aturan main yang telah
di sepakati(trust), serta kegiatan kerjasama tersebut diikat kuat oleh hubungan-hubungan
spesifik antara lain mencakup kekerabatan (prinsip), pertentangan (neighborship) dan
pertemanan (friendship) sehingga semakin menguatkan jaringan antara pelaku (network).
Dengan
demikian dapat di katakan dalam masyarakat demi kepentingan bersama adalah sangat penting, Karena dengan
kegiatan menjadi lancar dalam mencapai tujuannya. Dengan prinsip masyarakat yang mengandung
nilai norma antara lain:
a)
Keikhlasan
berpartisipasi dan kebersamaan / persatuan
b)
Saling
membantu dan mengutamakan kepentingan bersama / umum.
c)
Usaha meningkatkan / pemenuhan kesejahteraan.
d)
Usaha
menyesuaikan dan integrasi / penyatuan kepentingan sendiri dengan kepentingaan bersama.
Faktor-faktor
yang mendorong jalanya proses perubahan pelaksanaan panggoba adalah proses perubahan sosial di
masyarakat termasuk dalam pelaksanaan budaya panggoba adalah kontak dengan
kebudayaan lain, sistem pendidikan formal yang maju, sikap menghargai karya seseorang dan keinginan-keniginan
untuk maju, toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang (deviation),
sistem terbuka lapisan masyarakat (open srtatification), penduduk yang herterogen,
ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu, orientasi ke masa depan,
nilai budaya manusia harus senantiasa berikhtiar untuk memperbaiki hidupnya.
Pendidikan
mengajarkan kepada individu aneka macam kemampuan. Pendidikan memberikan nilai-nilai
tertentu bagi manusia, terutama dalam membuka pikiranya serta menerima hal-hal baru dan juga
bagaimana cara berfikir secara objektif, serta memberikan kemampuan untuk menilai apakah
kebudayaan masyarakat akan memenuhi kebutuhankebutuhan zaman atau tidak.
Sikap
menghargai karya orang lain dan keinginan-keinginan untuk maju. Apabila sikap saling menghargai tersebut
melembaga dalam masyarakat , maka masyarakat akan merupakan pendorong bagi usaha-usaha
penemuan baru. Sistem terbuka lapiasan masyarakat memungkinkan adanya gerak sosial vertical luas atau berarti
memberikan kesempatan kepada para individu untuk maju atas dasar kemampuan sendiri dalam
keadaan demikian, seseorang mungkin akan mengadakan identifikasi dengan harga yang mempunyai
status lebih tinggi,
identifikasi merupakan tingkah laku yang sedemikian rupa sehingga seseorang
merasa kedudukanya
sama dengan orang atau golongan lain di annggap lebih tinggi dengan harapan agar di perlakukan sama dengan
orang lain tersebut. Pada golongan yang berkedudukan lebih rendah, keadaan tersebut dalam
sosiologi tersebut status anxiety, status anxiety menyebabkan seseorang berusaha untuk menaikkan
pendidikan sosialnya.
Penduduk
yang heterogen di mana masyarakat yang terdiri dari kelompok-kelompok sosial yang mempunyai latar
belakang kebudayaan yang berbeda, ras yang berbeda, ideologi yang berbeda dan seterusnya.
Mempermudah terjadinya pertentangan - pertentangan yang mengandung kegoncangan - kegoncangan. Keadaan
dimikian menjadi pendorong bagi terjadinya perubahan-perubahan dalam masyarakat.
Ketidakpuasan masyarakat terhadap budaya-budaya kehidupan
tertentu, yaitu dalam hal ketidakpuasan yang berlangsung terlalu
lama dalam sebuah masyarakat berkemakmuran besar akan mendatangkan masa depan dan harus
senantiasa berikhtiar
untuk memperbaiki hidupnya. Faktor-faktor yang menghalangi pelaksanaan panggoba adalah
perubahan sosial dalam masyarakat termasuk dalam pelaksanaan budaya panggoba di antara
lain adalah kurangnya
hubungan dengan masyarakat lain, perkembangan ilmu penggetahuan
yang terlambat, sikap masyarakat yang tradisional, adanya
kepentingan-kepentingan yang telah tertanam dengan kuat atau vested interest, rasa takut akan terjadinya
kegoyahan pada interaksi kebudayaan, prasangka terhadap
hal-hal baru atau asing yang tertutup, adat atau kebiasaan, nilai baru untuk
hidup pada hakikat buruk dan tidak mungkin mungkin di perbaiki.
Kurangnya
hubungan dengan masyarakat, menyebabkan sebuah masyarakat tidak mengetahui
perkembangan-perkembangan apa yang terjadi pada masyarakat lain yang mungkin akan memperkaya kebudayaan
sendiri. Hal itu juga menyebabkan bahwa para warga terkungkung pemikiranya oleh
tradisi. Sikap masyarakat yang tradisional yaitu suatu sikap yang mengagung-agungkan tradisi dan
masa lampau serta anggapan bahwa tradisi secara mutlak tak dapat diubah, menghambat jalannya
proses perubahan. Keadaan tersebut akan menjadi lebih parah apabila masyarakat yang
bersangkutan di kuasai oleh golongan konservatif.
Adanya
kepentingan-kepentingan yang telah tertanam dengan kuat atau vested interets. Disetiap organisasi sosial
yang mengenal sistem lapisan pasti akan ada sekelompok orang yang menikmati kedudukan
perubahan-perubahan. Misalnya dalam masyarakat feodal dan juga pada masyarakat yang sedang mengalami
trasisi. Dewasa ini, ada golongan-golongan dalam
masyarakat yang di anggap sebagai pelopor proses transisi. Karena
selalu mengidentifikasikan
diri dengan usaha-usaha dan jasa-jasanya, sukar sekali bagi mereka
untuk melepaskan kedudukannya di dalam suatu proses perubahan.
Rasa
takut akan terjadi kegoyaan pada interaksi kebudayaan, memang harus diakui atau
kalau tidak mungkin integrasi semua unsur suatu kebudayaan bersifat sempurna.
Beberapa pengelompokan
unsur-unsur tertentu mempunyai derajat integrasi tinggi. Maksudnya unsur-unsur
luar di khawatirkan akan menggoyahkan integrasi dan menyebabakan
perubahan-perubahan pada aspek-aspek tertentu masyarakat.
Prasangka
terhadap hal-hal baru atau asing atu sikap yang tertutup. Dalam hal ini sikap yang demikian banyak di jumpai
pada masyarakat yang tidak pernah biasa melupakan pengalaman-pengalaman pahit. Hambatan-hambatan bersifat ideologis
masyarakat yang sudah menjadi dasar integrasi masyarakat tersebut. Adat atau kebiasaan merupakan
pola-pola perilaku bagi anngota masyarakat di dalam memenuhi segala kebutuhan
pokoknya. Apabila kemudian ternyata pola-pola perilaku tersebut efektif lagi di dalam memenuhi
kebutuhan pokok, krisis akan muncul. Mungkin adat kebiasaan yang mencakup bidang
kepercayaan, sistem mata pencaharian, pembuatan rumah, cara berpakaian tertentu, begitu kokoh
sehingga sukar untuk diubah. Di samping itu faktor pengahambat yang tidak dapat di abaikan adalah
nilai bahwa hidup pada hakikatnya buruk dan tidak mungkin diperbaiki.
Penemuan-penemuan
baru dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat, pengaruh tersebut tidak hanya pada satu
bidang tertentu saja, melainkan meluas ke bidang-bidang lain. Penemuan baru akan memancarkan
pengarunya keberbagai arah dan menyebabkan perubahan-perubahan dalam
lembanga-lembaga kemasyarakatan dan pada istiadat.
Sejarah dan Tradis ketika air
surut, perlahan terbentuklah rawa di mana ikan tola (ikan gabus). Rawa yang kemudian
menjadi daratan ini lalu di sebut hulua lo tola (tempat berkembang biakan ikan gabus)yang
kemudian di eja Hulontalo. Asal usul nama gorontalo itu sendiri sebenarnya banyak versi, seperti
gunung tellu, ucapan orang Gowa yang melihat tonjolan tiga bulan buah gunung dari
kejauhan. Mengingat perpindahan penduduk dari bukit-bukit (hunto)ke
tempat yang di genangi air (langi-langi). Hulontalangi artinya
lebih mulia. Hulondatalangi nama salah satu
kerajaan yang kemudiandi simgkat Hulontalo. Lidah orang Belanda sulit mengucapakan dengan tepat
.Mereka menyebutnya Horontalo (di tulis Gorontalo).
Tercatatat
dalam Sejarah Gorontalo, daratan Gorontalo sekarang merupakan lautan. Bukitnya banyak di temukan
garam lautan, karang dan kerang di puncak-puncak bukit/gunung. Demikianlah maka kerajaan pada
waktu itu terdapat terdapat di sekitar puncak gunung. Kerajaan tertua suwawa terdiri dari dua
kelompok masyarakat. Pidodotiya adalah kelompok yang menetapkan dan witohiya sebagai
kelompok yang bebas merantau ke mana-mana.
Takkalah
air makin surut kelompok perntau di atas keluar kerajaan dan kawin mawin diperantauannya.
Salah satu di antaranya adalah putrid Bulaidaa, adik Raja Mooduto
Hulontalangi bernama
Humolanggi. Anak keturunannya pemikiran Wantogia berpendapat bahwa mitos
asalusul nenek moyang Gorontalo yang berasal langgit, dari busa laut, kayu
rotan dan lain-lain adalah tidak benar (Alim S. Niode “Gorontalo Perubahan Nilai-Nilai Budaya
dan Pranata Sosial
“2007:19).
2.7
Gorontalo dalam Sejarah Awal
Gorontalo
atau dalam lama hulontalo, merupakan kerajaan yang tidak dapat di
pisahkan dari
kedudukan kerajaan tua lainya yang pernah hadir di kawasan ini provinsi
gorontalo sekarang.
Kerajaan-kerajaan tua yang pernah berkuasa di wilayah gorontalo berdasarkan
awal berdirinya
adalah dua kerajaan wadda, letaknya berada di kaki Gunung Tilongkabila, dengan
raja pertama di
bawah kekuasaan Binuanguguto, selanjutnya, kerajaan suwawa, letaknya di daratan tinggi bagnio di kaki Gunung
Tilongkabila, dengan pemerintah awalnya kerajaan berada dibawah kekuasaan Raja
Ayudugia. Kerajaan tua selanjutnya adalah kerajaan limutu (limboto), pusat pemerintahannya terletak di lintalo sebelah barat danau
limboto. kerajaan ini pada awalnya berada di bawah kekuasaan Ratu Buibungale.
Kerajaan
Gorontalo berdiri melalui persekutuan 17 linula (komunitas kecil) yang memiliki teritori dan ikatan
geneologis.Denagan musyawarah di pilihlah seorang raja bernama Wadipalapa atau ilahudu.
Adapun kerajaan bolongo awalnya di bawah kekuasaan Gorontalo, tapi selanjutnya mengalami
kemajuan dan membentuk kerajaan sendiri. Selanjutnya adalah kerajaan Atinggola (Andagile)
dan kerajaan boalemo yang pusat pemerintahnnya berada di tilamuta (awalnya di bawah
pengaruh kekuasaan Gorontalo), tapi pada tahun1790 membentuk kekuasaan sendiri yang otonom.
Kerajaan-kerajaan tertua yang pernah berkuasa di kawasan Gorontalo tersebut telah menampilkan
berbagai hubungan yang saling mempengaruhi dan saling ketergantungan antara berbagai
aspek kehidupan kerajaan dan kemasyarakatan pada masa itu.
Tradisi
lisan Gorontalo dikatakan bahwa asal mula kerajaannya di bentuk melalui persekutuan 17 rumpun
komunitas kecil yang di sebut linula. Setiap kelompok linula di pimpin seorang olongia, kemudian
berinteraksi ke dalam suatu kerajaan (lipu lo Hulondalo) di bawah kekuasaan Raja Wadipalapa atau
ilahudu sekitar tahun 1385. Diantara 17 linula, Huondalangi adalah linula terbesar dengan
Olangia pertama yang tercatat dalam laporan arsip adalah halawadula (ilahudu), kemudian
mengawini tantahula (Tolanggohula) sebagai Olangia limutu (limboto).
Ketuju
belas olangia kecil yang telah mengintegrasikan wilayahnya ke dalam satu kerajaan adalah:
1)
Linula
Hungginaa sebagai olangia adalah lihawa
2)
Linula
Lupoyo sebagai olangia adalah pel
3)
Linula
Billinggata sebagai olangia adalah luo
4)
Linula
Wuwabu (Uwabu) sebagai olongia adalah Wahumolungo
5)
Linula
Biawao sebagai olongia adalah Walango Huladu
6)
Linula
Padengo sebagai olongia adalah palanggo
7)
Linula
Huangoboto sebagai olongia adalah Dawangi
8)
Linula
Tapa sebagai olongia adalah Deyilohijodaa
9)
Linula
lawuwono sebagai olongia adalah Bongohulawa
10)
Linula
Tuto sebagai olongia adalah Tilopalani
11)
Linula
Dumati sebagai olongia adalah buatan
12)
Linula
Ilotedia sebagai olongia adalah Tamau
13)
Linula
Patonggo sebagai olongia adalah ngobuto
14)
Linula
panggulo sebagai olangia adalah hungginyalo
15)
Linula
huangobotu sebagai olangia adalah lealini
16)
Linula
olangia sebagai olangia adalah dajilombuto
17)
Linula
hulontalanggi sebagai olangia adalah wadipalapa (Ilahudu).
Dari
persekutuan tujuh belas linula di atas terdapat linula besar yang mempunyai peranan sangat penting dalam
proses pembentukan kerajaan Gorontalo. Linula besar tersebut adalah Hungginaa, Lopoyo,
Bilinggata dan Wuwabu (Uwabu). Keempat linula ini secara langsung menempatkan olongia-nya
untuk memengang peranan penting pada struktur politikdan birokrasi kerajaan. Mereka
berperan sebagai tiang utama kerajaan.
Pada
masa kekuasaan Raja Walipalapa atau ilahudu, kerajaan Gorontalo mempunyai hubungan erat dengan kerajaan
Wadda, sehingga diberi gelar Lantarang papang La To wadda (Pelindung Kerajaan Wadda ). Raja
Wadipalapa juga melakukan ekspansi bersama sawerigadingputra Raja Luwu-untuk memperluas
supremasi kekuasaannya sampai Teluk Tomini. Dalam tradisi lisan dikisahkan pula tentang perjalanan Saweringading
bersama pengikutnya mencari
saudara kembarnya bernama Rawe-ke Gorontalo dengan memekai perahu.
Konon mereka tiba pertama kali di bayolamilate(padengo). Di bayolamilate inilah kemudian
Sawerigading berhasil bertemu dengan Putri Rawe, tapi rupanyan ia telah menikah dengan
Raja Wadipalapa. Pertemuan kedua pembesar kerajaan ini secara langsung mengikat
suatu hubungan diplomasi dan akhinrnya mereka sepakat untuk memperluas kekuasaan kedua
kerajaan mereka di sekitar negeri-negeri Teluk Tomini.
Dalam
ekspansinya, mereka akhinya berhasil menaklukan negeri-negeri di kawasan Teluk tomini. Setelah kembali ke
Gorontalo dari ekspansinya. Wadipalapa maupun Sriwegading kemudian membagi negeri-negeri
taklukannya itu. Raja Wadipalapa mendapatkan bagian daerah taklukan yang penduduknya
merupakan orang-orangnya memakai senjata sejenis keris. Dengan demikian pembagian hasil
ekspansi di dasarkan peda jenis senjata yang di gunakan peeduduk pada negeri taklukannya.
Setelah itu, Sawerigading melanjutkan pelayaranya ke negeri Cina. Tidak muda bagi Walipalapa dalam
menjaga kekuasaanya di Teluk Tomini, terutama karena dia selalu terganggu dan kawatir akan
kegiatan ekspansi yang di lakukan orang-orang Bugis dan Mandar di Pantai teluk Tomini.
Setelah
berakhirnya masa pemerintah Raja Wadipalapa selanjunyadi nobatkan Uloli sebagai penganti raja. Pada
masa pemerintahanya Gorontalo tidak mengalami banyak perkembangan, beliau hanya
meneruskan kebijakan-kebijakan yang di rintis oleh Raja Wadipala. Selanjutnya peralihan
kekuasaan kerajaan kepada Raja Wolanga. Dalam periode itu terjadi peristiwa penting
dalam kehidupan kerajaan Gorontalo dan kerajaan
tetangganya, Limboto.
Raja
Wolanga melakukan hubungan kerja sama dengan kerajaan Limboto, sehingga begitu kuatnya kerja sama
tersebut maka dalam struktur birokrasi kedua kerajaan mempunyai banyak kesamaan sampai pada
hubungan ikatan keluarga yang erat. Hubungan ini diperkut dengan perkawinan Raja Wolanga
Ratu Moliye- dari Kerajaan Limboto. Dari hasil
perkawinannya di karunia seorang putra benama Polamolo. Setelah
putranya memasuki masa dewa, baik Raja Wolanga maupun Ratu Moiye bersama-sama melakukan
ekspansi di wilayah Teluk Tomini. Degan demikian kekuasaan pemerintahan Kerajaan
Gorontalo Limboto di serahkan kepada putranya, Polamolo.
Dalam
ekspansinya, Raja Wolanga di samping para prajuritnya kerajaan bertolak dari muara Sungai Paguyaman menuju
Kepulapuan Togian dan kemudian melanjutkan perjalananya ke daerah Tanjung Api. Dari
tempat itu kembali melanjutkan pelayarannya ke daerah barat dan bertemu dengan suaminya Raja
Wolanga di Sausu (Kabupaten Moutong-parigi, Sulawesi Tengah sekararng). Pada pertemuan di
Sausu telah melahirkan kesepakatan bersama dikenal dengan perjanjian ”Sausu
Masabuku”antara lain kesepakatan tentang batas –batas wilayah kekuasaan Kerajaan Gorontalo-Limboto di
mulai dari daerah Sausu.
Peryataan
kedua Kerajaan Gorontalo-Limboto dalam ikatan perkawinan penguasa utamanya (Raja Wolanga dan
Ratu Moliye) secara langsung semakin memperkuat
kekuasaan, kewibawaan dan meliter Gorontalo dan limbot. Dalam mempertahankan
kelangsungan kebesaran
kerajaan, pada 1481 mereka menobatkan putranya, Polamolo sebagai raja yang yang memerintahnya, baik di Gorontalo
maupan di limboto. Pada masa pemirintahannya Polamolo merupakan Raja pertama yang
menguasai dua kerajaan sehingga disebut sebagai ”Olangia lo
balanga” Artinya raja yang melaksanakan pemerintahanya selama 7 hari
berpindah kerajaan dari Gorontalo ke limboto, begitu pula sebaliknya. Dalam kekuasaanya,
Polamolo menambahkan jabatan pemerintah kerajaan dengan mengangkat walaapula dan
diti olangiadengan tujuan dapat membantu tugas-tugasnya apabila dia sebagai raja tidak berada di
tempat. Sampai akhir masa kekuasaanya, ternyata Polamolo tidak mampu mempersatukan para
pembesar kerajaan Gorontalo dan Limboto dalam satu kesatuan.
Dalam
masa pemerintahanya Polamolo terjadi peristiwa penting di kawasan ini,
disebabkan oleh pemecahan politik pada kedua kerajaan tersebut, hal mana sangat
mempengaruhi perjalanan
sejarah Gorontalo dan Limboto pada masa yang cukup panjang. Untuk itu perlu
dibentangkan proeses terjadinya konflik tersebut. Pada bagian ini dimulai dari
kepemimpinan dan kewibawaan Polamolo yang lemah dan di anggap kurang mampu mengatur
kedua kerajaan, sehingga
menyebabkan hubungan Gorontalo dan Limboto semakin renggang, walaupun dalam pengambilan keputusan berada
di tanganya. Proses ini mengakibatkan munculnya perselisihan berkembang menjadi konflik
cukup lama antara Gorontalo-Limboto.
Dalam
perjalanan sejarah, terjadinya konfrontasi dan konflik cukup lama berlangsung sekitar dua abad. Beberapa
versi menyatakan tentang faktor terjadinya konflik kedua kerajaan tersebut, di antaranya kedua kerajaan ini. Hal ini di sebabkan
penduduk Gorontalo maupun Limboto sering kali melanggar perbatasan untuk menggambil emas,
produk hutan dan hasil laut. Pada bagian versi lain, persaingan para kepala prajurit kerajaan
Gorontalo bernama Hilibaladan Hemuto dari kerajaan Limboto. Peristiwa ini berawal
setelah kedua kerajaan kembali dari ekspansi nya di teluk tomini. Setelah kedua prajurit
Gorontalo dan Limboto mengadakan pertandingan adu kerbau yang tujuannya utamanya untuk lebih
meningkatkan hubungan persaudaraan. Dalam pertandingan tersebut kerbau Gorontalo menang
sebanyak dua kali, sedangkan kerbau Limboto hanya menang sekali. Dari peristiwa itu
muncul sajak-sajak ejekan yang di tujukan bagi orang orang Limboto sebagai pihak yang kalah,
namun sebaiknya pihak Limboto membalasnya dengan mengatakan bahwa “walu kerbaunya kalah,
namun orangnya-orangnya belum tentu di kalahkan.
Demikan
pula pada periode kekuasaan Polamolo, 4 kepala Linula Hungginaa, Lupoyo, Balinggata dan Wuwabu (Uwabu)
memang peranan penting sebagai tiang kerajaan, sehingga diberi hak istimewa
memalui otonomi sendiri. Ologia (raja) Gorontalo hanya menuntut
penyerahan upeti hasil
bumi, hasil laut-laut dan hasil hutan secara rutin dalam jumlah tertentu. Masa kekuasaan Ratu Ntihedu
tidak berlangsung lama, kemudian kekuasaan Ratu Ntihedu tidak berangsung lama, kemudian
kekuasaan Ntihedu di
lanjutkan putranya yaitu Raja Detu, Tapi masa pemerintahannya hanya dalam waktu singkat. Permasalahan ini di
sebabkan kurangnya perhatian Raja Detu dalam mengatur pemerintahan kerajaan. Dalam
kepemimpinannya beliau lebih mementingkan bakatnya sebagai pembuant perkakas rumah, utamanya
perabotan halus seperti meja, lemari pakaian dan kursi. Akibat kurangnya parhatian
raja Detu terhadap kerajaan, maka para wulea lo lipu, walaapulu dan
ditiolangia mengadakan musyawarah
untuk menentukan kelangsungan pemerintahan kerajaan. Kemudian di putuskan untuk
menambah seorang raja dengan mengangkat Podungge -adik Raja Detu- sebagai Olangia tohiliyaliyala
(Raja Atas), sedangkan Raja Detu di tetapkan sebagai Olangia to tilato (Raja Bawah). Islaminasi hinngga persekutuan limboto-Gorontalo.
Dalam
suasana konflik Gorontalo-Limboto, Pada sekitar 1520 Kerajaan Gorontalo di bawah kekuasaan Olangia To
Tilayo Amai, sedangkan Olangia To Huliyaliya di jabat Tuliyabu. Dalam periode ini,
terjadi perubahan penting dalam kehidupan masyarakat Gorontalo setelah masuknya agama islam
di dalam kerajaan. Raja amai merupakan pelatak dasar islaminasi di Gorontalo setelah melakukan
perkawinan dengan Owutang-putri Raja Palasa Ogomonjolo (kumojojo) di Siyendeng,
Tomini, yang mempunyai pertalian darah dengan Raja-Raja Ternate.
Proses
peng-islaman Raja Amai di mulai dari kunjunganya untuk memperkuat hubungan kerajaan sama dengan kerajaan-kerajaan
di telik tomini. Di kerajaan palasa, Raja Amai terpikat dan kemudian melamar Putri
Owatango. Setelah di sepakati dalam kerajaan palasa, akhinya lamaran Raja Amai di terima dengan
suatu syarat harus memeluk Islam dan begitupula secara langsung adat istiadat yang
belaku pada masyarakat Gorontalo harus bersumber pada Alquran.
Hal ini terbukti ketika Raja Amai melakukan pembauran dalam
kerajaan dengan
mengembangkan prinsip adat dan kebiasaan masyarakat di sesuaikan
dengan ajaran Islam.
Setelah
pelaksanaan perkawinan, Raja Amai kembali ke Gorontalo bersama istrinya Putri Owutango dan di dampingi
8 raja-raja kecil di bawah vasalpalasa yaitu Tamalate, Lemboo, Syiyendeng, Hulongato,
Siduan, Sipayo, soginti, dan Bunuyo. Mereka di harapkan bertugas membantu Raja Amai
dalam membimbing masyarakat serta merancang adat istiadat yang berpedoman pada Islam. Kedatangan Raja Amai dan para pembesar
kerajaan Gorontalo. Selanjutnya 8 raja-raja kecil Palasa di beri gelar Olangia
walu lonto otolopa.
Berdasarkan
aturan yang berlaku pada Kerajaan Gorontalo, mereka membagi tugas sesuai dengan bidang dan kemampuan
yang di milikinya, seperti Raja tamalate, Lemboo, Siyendeng dan Hulamggatodi tugaskan
merancang adat-istiadat yang akan di berlakukan pada masyarakat Gorontalo. Selain itu, Raja
tamalate dan Siyendeng juga mengajarkan tentang cara pembuatan peralatan rumah tangsga
seperti tolu, tutupan saji, dan pembuatan garam dapur. Dimikian pula bagi Raja siduan, sipayo,
Soginti dan Bunuyo bertugas megerjakan hal-hal yang berhubungan dengan mantera-mantera dan
dudukan dalam pengobatan. Di samping itu 8 raja tersebut juga bertugas sebagai mubaligh
dalam pengembangan ajaran Islam pada masyarakat.
Mereka
di berikan lokasi pemukiman tersendiri oleh Raja Amai di daerah Hunto (kelurahan biawu, kecamatan
kota selatan sekarang). Di daearh tersebut juga di dirikan sebuah tempat ibadah yang di debut tihi
lo hunto (Mesjid Sultan Amai sekarang). Bangunan inilah menjadi pusat kegiatan
pendidikan dan kebudayaan Islam bagi masyarakat. Kegiatan pendidikan yang di selengarakan berupa
dakwah dan tablig tentang keagamaan kemasyarakatan dalam hubungan dunia dan akhirat.
Demikian pula Dalam aktifitasnya kebiasaan yang berlaku pada
kerajaan dengan cara ajaran Islam, sehingga adat memengang peranan
penting dalam saluran islamisasi. Pada tahun 1530 agama islam secara resmi menjadi agama
kerajaan dan mengatur adat Istiadat dengan memasukkan pengaruh islam, sehingga adat
dengan memasukan pengaruh islam di dalamnya. Peran islam sebagai agama kerajaan terutama
dibentuk pada masa Matolodula, anak Raja Amai.
Dalam
kerajaan mulai di tetapkan tentang pentingya adat istiadat di sesuaikan dengan syariat Islam. Hasil rumusan
ini di kenal dengan prinsip “saraa topa-topango to adati’’ artinya “ syarah bertempuh pada adat‟. Pada rancangan adat yang di buat Raja
Amai bersama adat sebanyak 185 adat yang di berlakukan. Prinsip-prinsip adat itu
menjadi pegangan utama dalam menjalankan pemerintah kerajaan serta hubungan dengan masyarakat yang
berpola pada kehidupan
islam.
Pada
1590 Raja Amai di gantikan oleh outranya Motolodulakiki sebagai Olangia To tilayo. Dalam kehidupan penduduk memeluk penanut anemisme yang
kebiasaanya menyembah dewa Gunung Tilongkabila-Toguwata, Melenggabila, dan Longgabilla
secara perlahan lahan mulai berpindah ke agama islam Untuk lebih memahami ajaran islam,
Motoludulakiki mengutus pembesaran kerajaan guna mempelajari ajaran Islam di Ternate
sehingga dalam ajaran islam tersebut lebih di tekankan pada ajaran tauhid ma‟rifat. Sesama
pemerintahanya, Motoludulakiki berhasil mengembangkan proses islaminasi dan memperluas. Hal ini
terbukti setelah diberlakukan suatu pengembangan prinsip hukum adat yang
berbunyi “Adati hulahulaa tosaraa;saraa hulahulaa to adati” (adat bersendi
syara, syara bersendi adat). Pada tahap ini yang
berlaku adalah bahwa hukum adat adalah hukum Islam mempunyai
kedudukan yang sama.
Pengaruh
Islam makin melus terbentuk pada abad-abad setelah periode Raja Amai Motolodulakiki, seperti
terlihat dalam soal pengembangan ilmu-ilmu agama dan peran raja yang akhirnya mengunakan gelar
sutan. Kegiatan sosial yang merujuk pada islam makin membumi seperti yang di contohkan
Baginda Bayauddian (1790) yang memulai praktek “demdulo” berupa hantaran buat acara seperti, rempah-rempah,
minyak, ayam, dan sebagainya. Untuk membantu mereka yang miskin yang sedang di timpa
musibah. Kegiatan seperti ini di tanamkan Biyauddin sebagai kegiatan yang ebrhubungan dengan praktik pahal. Dalam sejarah juga
dicatat baginda Mohammad
Iskandar Pui Manoarfa, Ta lo tomilo (1860). Dia di kenal karena
keulamannya, pandai
berbahasa Arab dan mengkaji kitab. Beliau di kenal dengan sebagai pengarang
naskah syair Islam
di Gorontalo, seperti suruhjanji, zikir, syair tepuk rabana dan lagu-lagu Islami.
Istrinya bernama
Sjarifah, anak seorang ulama bernama Sayid Alwi Alhabsy.
DAFTAR PUSTAKA
0 Response to "MAKALAH PEMIKIRAN JAMALUDDIN AL-AFGHANI DAN TEORI-TEORI TENTANG BUDAYA"
Post a Comment