Kisah Nabi Khidir Part 4 (Jati Diri Nabi Khidir Menurut Syekh Siti Jenar dan Buya Hamka)

Jati diri Nabi Khidir, menurut Syekh Siti Jenar

Bermula ketika, Sri Mangana, yang merupakan ayah angkat Syekh Siti Jenar, berkisah tentang pertemuaannya dengan Nabi Khadir.

Sri Mangana, menuturkan ketika ia dalam kondisi antara tidur dan terjaga, dia merasa seolah-olah berjalan dengan seorang anak muda di sebuah tanah menjorok lurus.

Pada sisi kanan dan kiri tanah tersebut merupakan bentangan lautan luas tanpa tepi. Di tempat aneh itu dia merasa berjumpa dengan Khidir.

Syekh Siti Jenar mencoba menafsirkan kejadian yang dialami ayah angkatnya itu. Menurutnya “tanah menjorok dengan lautan di sebelah kanan dan kiri”, merupakan perlambang dari alam barzakh.

Dan makna kedua lautan adalah Lautan Makna (bahr al-ma’na), perlambang alam tidak kasatmata (‘alam al-ghaib), dan Lautan Jisim (bahr al-ajsam), perlambang alam kasatmata (‘alam asy-syahadat)” (Sumber : Suluk Abdul Jalil).

Pict : Unsplash


Kisah Nabi Khadir

Menurut Syekh Siti Jenar, peristiwa yang dialami Nabi Musa bertemu dengan Nabi Khidir, sebagaimana termaktub di dalam Al-Qur’an, bukanlah peristiwa sejarah seorang manusia bertemu manusia lain. Ia adalah peristiwa perjalanan ruhani yang berlangsung di dalam diri Nabi Musa sendiri.

Tempat di mana Nabi Musa berdiri di hadapan Khidir merupakan wilayah perbatasan antara alam kasatmata dan alam tidak kasatmata.

Sementara pemuda yang mendampingi Nabi Musa saat mencari Khidir, yang membawa bekal makanan, merupakan perlambang terbukanya pintu alam tidak kasatmata.

Hijab gaib yang menyelubungi manusia dari Kebenaran Sejati tidak akan bisa dibuka tanpa kehendak Dia, Sang Pembuka (al-Fattah).

Itu sebabnya, saat Nabi Musa bertemu dengan Khidir, pemuda yang mendampinginya itu, tidak disebut-sebut lagi karena ia sejatinya merupakan perlambang keterbukaan hijab gaib.

Dan makna bekal makanan yang dibawa sang pemuda adalah perlambang pahala perbuatan baik (al-yamal ash-shalift) yang hanya berguna untuk bekal menuju ke Taman Surgawi (al-jannati).

Bagi pencari Kebenaran sejati, pahala perbuatan baik itu justru mempertebal gumpalan kabut penutup hati (ghairi).

Andaikata saat itu Nabi Musa memerintahkan si pemuda untuk mencari bekal yang lain, apalagi sampai memburu bekal ikan yang telah masuk ke dalam laut, niscaya Nabi Musa tidak akan bertemu Khidir. Nabi Musa dan si pemuda tentu akan masuk ke Lautan Jisim (alam kasatmata) kembali.

Dalam pandangan Syekh Siti Jenar, sosok Nabi Khidir adalah mursyid sejati di dalam diri manusia itu sendiri. Masing-masing manusia akan mengalami pengalaman ruhani yang berbeda sesuai pemahamannya dalam menangkap kebenaran demi kebenaran (Sumber : Perjalanan Ruhani Syekh Siti Jenar).

Nabi Musa bertemu dengan Khidir di alam tidak kasatmata, yaitu alam yang tidak jelas batas-batasnya. Alam yang tidak bisa dinalar karena segala kekuatan akal.

Manusia tidak bisa ber-ijtihad untuk menetapkan hukum yang berlaku di alam gaib. Itu sebabnya, Khidir melarang Nabi Musa bertanya sesuatu dengan akalnya dalam perjalanan tersebut.

Dan, apa yang disaksikan Nabi Musa terhadap perbuatan yang dilakukan Khidir benar-benar bertentangan dengan hukum dan akal sehat yang berlaku di dunia, seperti melubangi perahu tanpa alasan, membunuh seorang anak kecil tak bersalah, dan menegakkan tembok runtuh tanpa upah.

_______________________________________________________________________________

Buya Hamka : Nabi Khidhir

Buya HAMKA : Khidhir adalah manusia bijak, yang berganti-ganti sepanjang masa ?

Khidhir dalam khazanah keilmuan umat Islam, selalu menjadi perbincangan dari masa ke masa. Beragam pendapat diutarakan, untuk mengungkap keberadaan sosok manusia yang misterius ini.

Cerita mistis yang penuh keajaiban, meski terkadang tidak berdasarkan sumber yang shahih, juga ikut mewarnai, ketika seseorang mengulas tentang keberadaan figur manusia pilihan ini.

hamkamutiara
Pendapat Buya HAMKA, tentang Khidhir

Berkenaan Khidhir, Ulama terkemuka Indonesia Buya HAMKA menulis :

“Saya sendiri kerapkali bertemu orang biasa. tak dikenal terpencil di dusun yang jauh atau di ladang tebu; namun butir perkataannya penuh berisi hikmat yang benar.

Dia bukan Profesor, namun kejernihan fikirannya dapat dijadikan pedoman hidupbagi kita yang sibuk ini.

Kalau dipandang dari segi ini, bolehlah dikatakan bahwa Khidhir itu selalu ada tidak seorang, dan tidak mati, melainkan berganti-ganti” (Tafsir Al Azhar, Juzu’ XV hal.249).

Pendapat Buya HAMKA ini, seakan menjadi penengah dari perbedaan dua pendapat yang saling saling bertentangan satu dengan lainnya.

Di satu sisi ada yang berpendapat Khidhir yang pernah bertemu dengan Nabi Musa telah wafat, sebagaimana pendapat Ibnul Manawi, Ibrahim al-Harabi, Abu Ya’laa Al-Hanbali, Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim al-jauzi.

Sementara di sisi yang lain, ada pendapat yang menyatakan Khidhir merupakan sosok manusia yang dikarunai umur yang panjang, sebagaimana pendapat Imam al-Nawawi, Ibn al-Shalah dan al-Tsa’labi.

_____________________________________________________________________________

Jati diri Khidhir yang beragam

Pendapat Buya Hamka, tentang Khidhir yang bukan hanya seorang, melainkan berganti-ganti di sepanjang masa, sepertinya juga menjawab berbagai argumen yang berbeda-beda tentang jati diri Khidhir.

Di dalam buku Membaca Misteri Nabi Khidhir, tulisan Mohammad Sanusi dan Muhammad Ali Fakih, diterangkan berbagai perndapat tentang sosok Khidhir.

1. Khidhir adalah putra Qabil bin Adam, menurut Abu Haitam as-Sajistani.
2. Khidhir merupakan nama lain dari Balya bin Malkan Qali’, adalah pendapat Ibn Qutaibah dan Imam Nawawi.
3. Khidhir bernama asli Mu’ammar bin Malik, merupakan pendapat Ismail bin Abi Uways.
4. Khidhir keturunan Nabi Harun, sebagaimana pendapat al-Kalabi
5. Khidhir adalah anak dari puteri Fir’aun, adalah pendapat dari Muhammad bin Ayyub
6. Khaidhir merupakan nama lain dari Nabi Ilyasa’, pendapat dari Ibn Hajar ‘Asqalani.
7. Khidhir adalah anak dari pengikut setia Nabi Ibrahim, sebagaimana terdapat di dalam Kitabat-Tarikh, tulisan Ibn Jarir Thabari.

0 Response to "Kisah Nabi Khidir Part 4 (Jati Diri Nabi Khidir Menurut Syekh Siti Jenar dan Buya Hamka)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel