Panduan I'tikaf
Muqoddimah
.السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Segala Puji hanya milik Allah Taala. Sholawat beriring salam semoga senantiasa kita curahkan kepada nabi Muhammad Salallahualaihi Wassallam. Ramadhan, bulan yang penuh dengan rahmat dan ampunan bulan yang sangat mulia.untuk itu marilah kita manfaatkan dengan sebaik mungkin dengan memaksimalkan ibadah kita. Karena kita tidak tau ditahun yang akan dating apakah kita bias berjumpa kembali dengan bulan yang agung ini.
Salah satu amalan yang utama dibulan Ramadhan adalah I’tikaf di sepuluh hari terakhir dibulan Ramadhan. Lalu bagai manakah cara melakukan I’tikaf.mari kita dapatkan di dalam aplikasi ini. Semoga dapat membantu kita mengetahui tata cara I’tikaf . aamiin…
Source Image : google.com |
Pengertian i'tikaf
I’tikaf menurut bahasa artinya berdiam diri dan menetap dalam sesuatu. Sedang pengertian i’tikaf menurut istilah dikalangan para ulama terdapat perbedaan. Al-Hanafiyah (ulama Hanafi) berpendapat i’tikaf adalah berdiam diri di masjid yang biasa dipakai untuk melakukan shalat berjama’ah, dan menurut asy-Syafi’iyyah (ulama Syafi’i) i’tikaf artinya berdiam diri di masjid dengan melaksanakan amalan-amalan tertentu dengan niat karena Allah. Majelis Tarjih dan Tajdid dalam buku Tuntunan Ramadhan menjelaskan I’tikaf adalah aktifitas berdiam diri di masjid dalam satu tempo tertentu dengan melakukan amalan-amalan (ibadah-ibadah) tertentu untuk mengharapkan ridha Allah.
I’tikaf disyariatkan berdasarkan al-Quran dan al-Hadits.
Al-Qur’an surat al-Baqarah (2): 187.
…
;فَاْلآَنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ آَيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ.[البقرة (2): 187]
Artinya: …maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hinggga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka jangan kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertaqwa.” [QS. al-Baqarah (2):187]
Hadits riwayat Aisyah ra:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ اْلعَشَرَ اْلأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ. [رواه مسلم]
Artinya: “Bahwa Nabi saw melakukan i’tikaf pada hari kesepuluh terakhir dari bulan Ramadhan, (beliau melakukannya) sejak datang di Madinah sampai beliau wafat, kemudian istri-istri beliau melakukan i’tikaf setelah beliau wafat.” [HR. Muslim]
Adab iktikaf
Hendaknya ketika beri’tikaf, seseorang menyibukkan diri dengan melakukan ketaatan seperti berdo’a, dzikir, bershalawat pada Nabi, mengkaji Al Qur’an dan mengkaji hadits. Dan dimakruhkan menyibukkan diri dengan perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat.
Tempat pelaksanaan iktikaf
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187). Demikian juga dikarenakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu juga istri-istri beliau melakukannya di masjid, dan tidak pernah di rumah sama sekali. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Para ulama sepakat bahwa disyaratkan melakukan i’tikaf di masjid.” Termasuk wanita, ia boleh melakukan i’tikaf sebagaimana laki-laki, tidak sah jika dilakukan selain di masjid.
I’tikaf Boleh Dilakukan di Masjid Mana Saja?
Menurut mayoritas ulama, i’tikaf disyari’atkan di semua masjid karena keumuman firman Allah di atas (yang artinya) “Sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”.
Imam Bukhari membawakan Bab dalam kitab Shahihnya, “I’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramdhan dan i’tikaf di seluruh masjid.” Ibnu Hajar menyatakan, “Ayat tersebut (surat Al Baqarah ayat 187) menyebutkan disyaratkannya masjid, tanpa dikhususkan masjid tertentu”
Para ulama selanjutnya berselisih pendapat masjid apakah yang dimaksud. Apakah masjid biasa di mana dijalankan shalat jama’ah lima waktu ataukah masjid jaami’ yang diadakan juga shalat jum’at di sana?
Imam Malik mengatakan bahwa i’tikaf boleh dilakukan di masjid mana saja (asal ditegakkan shalat lima waktu di sana, pen) karena keumuman firman Allah Ta’ala,
وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
Artinya : “sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187).
Ini juga menjadi pendapat Imam Asy Syafi’i. Namun Imam Asy Syafi’i rahimahullah menambahkan syarat, yaitu masjid tersebut diadakan juga shalat Jum’at. Tujuannya di sini adalah agar ketika pelaksanaan shalat Jum’at, orang yang beri’tikaf tidak perlu keluar dari masjid.
Kenapa disyaratkan di masjid yang ditegakkan shalat jama’ah? Ibnu Qudamah katakan, “Shalat jama’ah itu wajib (bagi laki-laki). Jika seorang laki-laki yang hendak melaksanakan i’tikaf tidak berdiam di masjid yang tidak ditegakkan shalat jama’ah, maka bisa terjadi dua dampak negatif: (1) meninggalkan shalat jama’ah yang hukumnya wajib, dan (2) terus menerus keluar dari tempat i’tikaf padahal seperti ini bisa saja dihindari. Jika semacam ini yang terjadi, maka ini sama saja tidak i’tikaf. Padahal maksud i’tikaf adalah untuk menetap dalam rangka melaksanakan ibadah pada Allah.”
Mulai melakukan i'tikaf
Jika ingin beri’tikaf selama 10 hari terakhir bulan Ramadhan, maka seorang yang beri’tikaf mulai memasuki masjid setelah shalat Shubuh pada hari ke-21 dan keluar setelah shalat shubuh pada hari ‘Idul Fithri menuju lapangan. Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadits ‘Aisyah, ia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ – قَالَ – فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat shubuh, beliau masuk ke tempat khusus i’tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa’id) berkata: Kemudian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meminta izin untuk bisa beri’tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.”
Namun para ulama madzhab menganjurkan untuk memasuki masjid menjelang matahari tenggelam pada hari ke-20 Ramadhan. Mereka mengatakan bahwa yang namanya 10 hari yang dimaksudkan adalah jumlah bilangan malam sehingga seharusnya dimulai dari awal malam.
Dalil Disyari’atkannya I’tikaf
Ibnul Mundzir mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa i’tikaf itu sunnah, bukan wajib kecuali jika seseorang mewajibkan bagi dirinya bernadzar untuk melaksanakan i’tikaf.”
Dari Abu Hurairah, ia berkata,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ عَشْرَةَ أَيَّامٍ ، فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِى قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Namun pada tahun wafatnya, Beliau beri’tikaf selama dua puluh hari”.
Waktu i’tikaf yang lebih afdhol adalah di akhir-akhir ramadhan (10 hari terakhir bulan Ramadhan) sebagaimana hadits ‘Aisyah, ia berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri-isteri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dengan tujuan untuk mendapatkan malam lailatul qadar, untuk menghilangkan dari segala kesibukan dunia, sehingga mudah bermunajat dengan Rabbnya, banyak berdo’a dan banyak berdzikir ketika itu.
Amalan saat ber i'tikaf
1. Shalat. Memperbanyak shalat saat i’tikaf amat dianjurkan. Sebab, shalat merupakan seutama-utamanya ibadah dan paling besar pahalanya. ‘’Shalat merupakan hubungan langsung antardua pihak, yakni seorang hamba dengan Khaliknya. Terlebih, shalat adalah tiang agama dan rukun Islam yang paling utama,’’ ujar Al-Kubaisi.
2. Memperbanyak membaca Alquran. Dengan membaca Alquran hati akan menjadi tenang dan jiwa menjadi tentram. Terlebih, pahala membaca Alquran juga amat besar. Orang banyak membaca Alquran mandapat jaminan untuk mendapatkan syafaat di hari akhir kelak. Rasulullah SAW bersabda, ‘’Bacalah oleh kalian Alquran. Karena sesungguhnya Alquran itu akan datang menghampiri kalian di hari kiamat sebagai syafaat.’’ (HR Muslim).
3. Memperbanyak Zikir. Orang yang i’tikaf dianjurkan untuk memperbanyak zikir. Tentu saja, yang diutamakan adalah amalan-amalan yang disyariatkan dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW, seperti: bertasbih, takmid, tahlil, istighfar, dan sebagainya. Menurut para ulama, zikir merupakan salah satu ibadah khusus untuk bertaqarub kepada Allah SWT. Sesungguhnya, menyibukkan diri saat i’tikaf dengan berzikir akan mendapat pahala yang besar.
Allah SWT berfirman, ‘’Karena itu ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku akan ingat kepadamu; bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari nikmat-Ku.’’ (QS Al-Baqarah [2]: 152).
4. Bershalawat. Amalan lainnya yang dianjurkan bagi orang yang beri’tikaf adalah memperbanyak shalawat kepada Rasulullah SAW. Allah SWT telah memerintahkan kepada kita untuk bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Bershalawat menjadi salah satu sebab turunnya rahmat Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda, ‘’Siapa saja yang bershalawat kepadaku sekali, maka Allah memberinya rahmat sepuluh.’’ (HR Muslim).
5. Mengurangi hubungan dengan orang banyak. Pada saat i’tikaf dianjurkan untuk mengurangi hubungan dengan orang banyak. Bahka, kata para ulama, lebih disukai, jika i’tikaf telah selesai, kita berdiam diri pada malam menjelang Idul Fitri. Kemudian, keesokan harinya keluar dari masjid tempat i’tikaf menuju tempat shalat Idul Fitri. Dengan demikian, kita telah menyambung dari satu ibadah ke ibadah yang lainnya.
Rasulullah SAW bersabda, ‘’Barangsiapa bangun (untuk beribadah) pada dua malam Ied dengan mengharapkan pahala dari Allah, maka Allah tidak akan mematikan hatinya pada saat dimatikannya semua hati.''
Yang Dibolehkan Ketika I’tikaf
Keluar masjid disebabkan ada hajat yang mesti ditunaikan seperti keluar untuk makan, minum, dan hajat lain yang tidak bisa dilakukan di dalam masjid.
Melakukan hal-hal mubah seperti mengantarkan orang yang mengunjunginya sampai pintu masjid atau bercakap-cakap dengan orang lain.
Istri mengunjungi suami yang beri’tikaf dan berdua-duaan dengannya.
Mandi dan berwudhu di masjid.
Membawa kasur untuk tidur di masjid.
Yang membatalkan saat i'tikaf
1. Keluar masjid tanpa alasan syar’i dan tanpa ada kebutuhan yang mubah yang mendesak.
2. Jima’ (bersetubuh) dengan istri berdasarkan Surat Al Baqarah ayat 187. Ibnul Mundzir telah menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa yang dimaksud mubasyaroh dalam surat Al Baqarah ayat 187 adalah jima’ (hubungan intim)
Apakah wanita boleh i'tikaf?
Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan istri beliau untuk beri’tikaf. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ – قَالَ – فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat shubuh, beliau masuk ke tempat khusus i’tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa’id) berkata: Kemudian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meminta izin untuk bisa beri’tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.” Dari ‘Aisyah, ia berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri-isteri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau.”
Namun wanita boleh beri’tikaf di masjid asalkan memenuhi 2 syarat: (1) Meminta izin suami dan (2) Tidak menimbulkan fitnah (godaan bagi laki-laki) sehingga wanita yang i’tikaf harus benar-benar menutup aurat dengan sempurna dan juga tidak memakai wewangian.
Lamanya waktu i'tikaf
Para ulama sepakat bahwa i’tikaf tidak ada batasan waktu maksimalnya. Namun mereka berselisih pendapat berapa waktu minimal untuk dikatakan sudah beri’tikaf.
Bagi ulama yang mensyaratkan i’tikaf harus disertai dengan puasa, maka waktu minimalnya adalah sehari. Ulama lainnya mengatakan dibolehkan kurang dari sehari, namun tetap disyaratkan puasa. Imam Malik mensyaratkan minimal sepuluh hari. Imam Malik juga memiliki pendapat lainnya, minimal satu atau dua hari. Sedangkan bagi ulama yang tidak mensyaratkan puasa, maka waktu minimal dikatakan telah beri’tikaf adalah selama ia sudah berdiam di masjid dan di sini tanpa dipersyaratkan harus duduk.
Yang tepat dalam masalah ini, i’tikaf tidak dipersyaratkan untuk puasa, hanya disunnahkan . Menurut mayoritas ulama, i’tikaf tidak ada batasan waktu minimalnya, artinya boleh cuma sesaat di malam atau di siang hari. Al Mardawi rahimahullah mengatakan, “Waktu minimal dikatakan i’tikaf pada i’tikaf yang sunnah atau i’tikaf yang mutlak adalah selama disebut berdiam di masjid (walaupun hanya sesaat).”
Amalan jika berhalangan i'tikaf
Setiap kali memasuki sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, Rasulullah SAW senantiasa beri’tikaf di dalam masjid. Beliau meninggalkan semua pekerjaan duniawi dan menyibukkan diri dalam ibadah mahdhah. Seluruh waktu, pikiran, dan tenaganya dicurahkan untuk taqarrub, mendekatkan diri kepada Allah SWT. Beliau juga melibatkan anak dan istri-istri beliau dalam kekhusyu’an ibadah.
I’tikaf selama sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan adalah amal kebajikan yang senantiasa dijaga oleh Rasulullah SAW. Pada tahun beliau wafat, beliau bahkan beri’tikaf selama dua puluh hari. Tidak heran apabila para ulama menjelaskan bahwa hokum I’tikaf adalah sunnah muakkadah. I’tikaf sudah semestinya menjadi amalan andalan orang-orang shalih, sebagai satu sarana utama untuk meraih lailatul qadar.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا : أنَّ النبيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ العَشْرَ الأوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ ، حَتَّى تَوَفَّاهُ اللهُ تَعَالَى ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ .
Dari Aisyah RA berkata: “Nabi SAW senantiasa beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan, sampai Allah SWT mewafatkan beliau. Sepeninggal beliau, istri-istri beliau juga melakukan I’tikaf.” (HR. Bukhari no. 2026 dan Muslim no. 1172)
عَنْ أَبي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : كَانَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ في كُلِّ رَمَضَانَ عَشْرَةَ أيَّامٍ ، فَلَمَّا كَانَ العَامُ الَّذِي قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْماً .
Dari Abu Hurairah RA berkata: “Dalam setiap bulan Ramadhan, Nabi SAW melakukan I’tikaf selama sepuluh hari. Namun pada tahun kewafatannya, beliau SAW melakukan I’tikaf selama dua puluh hari.” (HR. Bukhari no. 2044)
Banyak kaum muslimin yang telah mengetahui kesunahan dan keutamaan I’tikaf. Mereka juga memiliki niat yang tulus untuk melakukannya. Hanya saja, berbagai kendala menghalangi mereka dari I’tikaf. Ada yang harus bekerja keras untuk menafkahi keluarganya. Ada yang harus pergi kesana kemari untuk mengajar dan berdakwah. Ada yang harus masuk sekolah. Ada yang sakit keras atau bepergian jauh. Ada yang memanggul senjata di medan ribath dan jihad. Dan kendala-kendala lainnya.
Islam adalah agama yang mudah dan memberi kemudahan kepada umatnya. I’tikaf di masjid memang sunah muakkadah yang sangat efektif untuk taqarrub dan meraih lailatul qadar. Sungguh beruntung dan berbahagialah orang yang mampu melakukannya. Namun bagi orang-orang yang tidak mampu beri’tikaf karena ada udzur syar’i, Islam juga telah memberi banyak alternatif amalan yang tak kalah keutamaannya dari I’tikaf. Gerangan apa sajakah amalan alternatif tersebut? Berikut ini sebagian di antaranya.
- Pertama, menyediakan makanan berbuka atau makanan sahur untuk orang yang beri’tikaf.
Jika kita menyediakan makanan berbuka atau makanan sahur untuk orang yang melakukan shaum dan I’tikaf, niscaya kita akan mendapatkan pahala yang sama dengan pahala shaum dan I’tikafnya. Berdasar hadits shahih,
عن زيد بن خالد الجُهَنِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عن النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : (( مَنْ فَطَّرَ صَائِماً ، كَانَ لَهُ مِثْلُ أجْرِهِ ، غَيْرَ أنَّهُ لاَ يُنْقَصُ مِنْ أجْرِ الصَّائِمِ شَيْءٌ ))
Dari Zaid bin Khalid Al-Juhani RA dari Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa memberi makanan berbuka kepada orang yang melakukan shaum, maka baginya seperti pahala orang yang shaum, tanpa mengurangi sedikit pun pahala orang yang shaum.” (HR. Tirmidzi no. 807, Ibnu Majah no. 1746, Ahmad, dan Ibnu Hibban. At-Tirmidzi berkata: Hadits ini hasan shahih)
- Kedua, memenuhi kebutuhan sesama muslim yang mengalami kesulitan hidup.
Banyak saudara kita, umat Islam, yang lemah dan miskin. Mereka kekurangan makanan, kehilangan tempat tinggal atau pekerjaan, sakit keras namun tidak mampu berobat, dan mengalami kesusahan lainnya. Menolong mereka dengan memenuhi kebutuhan mereka adalah amal kebajikan yang pahalanya begitu besar. Pahalanya bahkan lebih utama dari I’tikaf selama sebulan penuh. Sebagaimana diriwayatkan dalam hadits,
عَنِ ابْنِ عُمَرَ ، أَنَّ رَجُلًا جَاءَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ ؟ وَأَيُّ الْأَعْمَالِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ أَنْفَعَهُمْ لِلنَّاسِ ، وَأَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ سُرُورٍ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ ، أَوْ تَكْشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً ، أَوْ تَقْضِي عَنْهُ دِينًا ، أَوْ تُطْرَدُ عَنْهُ جُوعًا ، وَلِأَنْ أَمْشِيَ مَعَ أَخٍ لِي فِي حَاجَةٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ ، يَعْنِي مَسْجِدَ الْمَدِينَةِ ، شَهْرًا
Dari Ibnu Umar RA bahwasanya ada seorang sahabat mendatangi Rasulullah SAW dan bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling dicintai Allah SWT? Dan apakah amalan yang paling dicintai Allah SWT?” Beliau SAW menjawab, “Orang yang paling dicintai Allah adalah orang yang paling memberi manfaat kepada sesama manusia. Adapun amalan yang paling dicintai Allah SWT adalah engkau menggembirakan hati seorang muslim, atau engkau menghilangkan sebuah kesulitan hidupnya, atau engkau melunaskan hutangnya, atau engkau hilangkan kelaparannya. Sungguh aku berjalan untuk memenuhi kebutuhan seorang saudara muslim lebih aku senangi daripada aku beri’tikaf di masjid Madinah ini (masjid Nabawi) selama satu bulan penuh.” (HR. Ibnu Abi Ad-Dunya dalam Qadha-u Hawaij no. 36, Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Awsath no. 6204, Al-Mu’jam Ash-Shaghir no. 862, dan Al-Mu’jam Al-Kabir no. 13472. Dinyatakan hasan li-ghairih dalam tahqiq Al-Mu’jam Al-Kabir dan Shahih At-Targhib wa At-Tarhib no. 2623. Dinyatakan shahih li-ghairih oleh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 906)
- Ketiga, memanggul senjata dalam ibadah ribath, yaitu berjaga-jaga di daerah perbatasan kaum muslimin dengan daerah musuh, untuk menjaga keamanan kaum muslimin dari serangan musuh-musuh Islam.
Berbahagialah kaum muslimin yang berjihad di Afghanistan, Pakistan, Kashmir, Chechnya, Dagestan, Irak, Palestina, Yaman, Somalia, Tajikistan, dan tempat-tempat lainnya. Kaum muslimin yang lain merasakan ketenangan suasana tarawih, witir, tadarus Al-Qur’an, dan i’tikaf. Pada saat yang sama, mujahidin harus senantiasa memeluk erat senjatanya dan berjaga setiap saat. Mereka melalui waktu mereka dalam ribath dan jihad demi menegakkan syariat Allah dan membela kaum muslimin dari tentara Yahudi, Nashrani, musyrikin, dan murtadin.
Demikian beratnya tugas mereka, sehingga nyawa mereka setiap saat menjadi taruhannya. Allah Yang Maha Pemurah menilai setiap malam yang mereka lalui dalam ribath dan jihad tersebut sebagai malam yang lebih baik dari lailatul qadar. Allahu Akbar wa lillahi al-hamdu! Sebagaimana dijelaskan dalam hadits,
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِلَيْلَةٍ أَفْضَلَ مِنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ ؟ حَارِسٌ حَرَسَ فِي أَرْضِ خَوْفٍ ، لَعَلَّهُ أَنْ لَا يَرْجِعَ إِلَى أَهْلِهِ .
Dari Ibnu Umar RA bahwasanya Nabi SAW bersabda, “Maukah aku beritahukan kepada kalian satu malam yang lebih utama dari lailatul qadar? Itulah (malam yang dilalui oleh) seorang (mujahid) yang berjaga di daerah (perbatasan dengan daerah musuh) yang ditakuti. Boleh jadi, dengan berjaga itu ia tidak bisa kembali kepada keluarganya lagi.” (HR. Ibnu Abi Syaibah no. 18962, An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubra no. 7637, Al-Hakim no. 2382, dan Al-Baihaqi no.16918. Dinyatakan shahih oleh Al-Hakim dan Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 2811).
Inilah sebagian amalan hebat yang selayaknya menjadi andalan bagi setiap muslim yang belum mampu melaksanakan sunah Nabi SAW; i’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Semoga Allah SWT memberi taufiq kita semua kepada semua ucapan dan amalan yang Allah cintai dan ridhai. Aamiin.
Wallahu a’lam bish-shawab.
0 Response to "Panduan I'tikaf"
Post a Comment