Makalah Riba Dalam Islam

 BAB I

PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah

Islam adalah agama rahmatan lil-„ālamīn, universal dan komprehensif, aturan-aturannya menyentuh semua sendi-sendi kehidupan manusia. Islam tidak hanya berbicara tentang hubungan sang pencipta dan makhluk-Nya (Ibadah), tetapi juga berbicara tentang ekonomi, politik, sejarah, dan lain sebagainya. Islam memiliki dua sumber hukum yang kebenarannya absolut yaitu al-Qur’an dan hadis yang dipercaya mampu menjawab semua problematika zaman yang selalu berkembang. Semua hal yang berkaitan dengan aktivitas manusia telah diatur di dalamnya, yang secara garis besar terbagi menjadi tiga yaitu akidah, ibadah dan muamalah.  Semua aturan yang tertuang dalam al-Qur‟an dan hadis tersebut diyakini mengandung maslahat bagi manusia. Banyak ayat dan hadis-hadis yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan ekonomi, seperti hukum, etika, bahkan upaya preventif dalam berbisnis pun tertuang dalam dua sumber tersebut. Hal tersebut karena ekonomi merupakan salah satu pilar keberlangsungan hidup manusia, sehingga pantas jika mendapat perhatian khusus demi kemaslahatan manusia yaitu tercapainya kehidupan yang sejahtera, makmur dan berkeadilan. Satu hal yang sangat penting pada bagian ini adalah aturan Allah Swt. berupa larangan riba, karena berdampak buruk terhadap manusia yaitu perampasan harta orang lain, merusak moralitas, melahirkan benih kebencian dan permusuhan, serta yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin, sehingga akan terjadi ketidak adilan dan kezaliman dalam kehidupan manusia.2  Semua itu merupakan kerusakan, maka Allah Swt. melarang riba. Keharaman riba merupakan mujma’alaih dan termasuk dosa besar berdasarkan ayat dan hadis-hadis yang melarangnya.

B. Rumusan Masalah 

Adapun rumusan masalah yang kami angkat yaitu:

1. Bagaimana Pengertian Riba dalam Islam?

2. Bagaimana Pembagian Riba?

3. Bagaimana Pendapat Para Fuqaha Tentang Keharaman Riba?

4. Apakah Hikmah diharamkannya Riba didalam Islam?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan ialah:

1. Untuk mengetahui Pengertian Riba dalam Islam.

2. Untuk mengetahui Pembagian Riba.

3. Untuk mengetahui Pendapat Para Fuqaha Tentang Keharaman Riba.

4. Untuk mengetahui Hikmah diharamkannya Riba didalam Islam.

5. Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah “Fiqih Muamalah”



BAB II

PEMBAHASAN


A. Pengertian Riba dalam Islam

Riba adalah pemberlakuan bunga atau penambahan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok yang dibebankan kepada peminjam.

Secara etimologis, istilah riba berasal dari bahasa Arab yang memiliki makna ziyadah atau tambahan. Dengan kata lain, arti riba adalah pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam meminjam.

Dalam agama Islam, Riba adalah praktik yang diharamkan. Bagi umat Islam, pemberlakuan bunga dengan persentase tertentu pada pinjaman Bank Konvensional atau lembaga keuangan lainnya dianggap sebagai praktik riba.

Dalam kamus Lisaanul ‘Arab, kata riba diambil dari kata رَبَا. Jika seseorang berkata رَبَا الشَّيْئُ يَرْبُوْ رَبْوًا وَرَبًا artinya sesuatu itu bertambah dan tumbuh. Jika orang menyatakan أَرْبَيـْتُهُ artinya aku telah menambahnya dan menumbuhkannya.

Dalam al-Qur-an disebutkan:

وَيُرْبِي الصَّدَقَا

“…Dan menyuburkan sedekah…” [Al-Baqarah/2: 276]

Dari kata itu diambillah istilah riba yang hukumnya haram, Allah Ta’ala berfirman: 

وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah…” [Ar-Ruum/30: 39]

Maka dikatakan, رَبَا الْمَالُ (Harta itu telah bertambah).

Adapun definisi riba menurut istilah fuqaha’ (ahli fiqih) ialah memberi tambahan pada hal-hal yang khusus.

Dalam kitab Mughnil Muhtaaj disebutkan bahwa riba adalah akad pertukaran barang tertentu dengan tidak diketahui (bahwa kedua barang yang ditukar) itu sama dalam pandangan syari’at, baik dilakukan saat akad ataupun dengan menangguhkan (mengakhirkan) dua barang yang ditukarkan atau salah satunya. 

Pengertian Riba Menurut Para Ahli Fiqih

1. Al-Mali

Menurut Al-Mali pengertian riba adalah akad yang terjadi atas pertukaran barang atau komoditas tertentu yang tidak diketahui perimbangan menurut syara’, ketika berakad atau mengakhiri penukaran kedua belah pihak atau salah satu dari keduanya.

2. Rahman Al-Jaziri

Menurut Rahman Al-Jaziri arti riba adalah akad yang terjadi dengan pertukaran tertentu, tidak diketahui sama atau tidak menurut syara’ atau terlambat salah satunya.

3. Syeikh Muhammad Abduh

Menurut Syeikh Muhammad Abduh pengertian riba adalah penambahan-penambahan yang disyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya (uangnya), karena pengunduran janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang telah ditentukan.

B. Pembagian Riba

Secara umum riba dapat dibedakan menjadi dua, yaitu riba hutang-piutang dan riba jual-beli. Berikut penjelasan mengenai kedua jenis riba tersebut:

1. Riba Hutang-Piutang

Pengertian riba hutang-piutang adalah tindakan mengambil manfaat tambahan dari suatu hutang. Riba hutang-piutang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

Riba Qardh, yaitu mengambil manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang diisyaratkan kepada penerima hutang (muqtaridh).

Riba Jahiliah, yaitu penambahan hutang lebih dari nilai pokok karena penerima hutang tidak mampu membayar hutangnya tepat waktu.

2. Riba Jual-Beli

Apa itu riba jual-beli? Riba jual-beli seringkali terjadi ketika konsumen membeli suatu barang dengan cara mencicil. Penjual menetapkan penambahan nilai barang karena konsumen membelinya dengan mencicil.

Riba jual-beli dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

Riba Fadhl, yaitu praktik pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan tersebut masih termasuk dalam jenis barang ribawi.

Riba Nasi’ah, yaitu penangguhan penyerahan/ penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba nasi’ah terjadi karena adanya perbedaan, perubahan, atau penambahan antara barang yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.


Menurut Ulama Syafi’iyah

Ulama Syafi’iyah membagi riba menjadi tiga jenis.

a. Riba Fadhl 

Riba Fadhl adalah jual-beli yang disertakan adanya tambahan salah satu pengganti (penukar) dari yang lainnya. Dengan kata lain, tambahan berasal dari penukar paling akhir. Riba ini terjadi pada barang yang sejenis, seperti menjual satu kilogram kentang dengan satu setengah kilogram kentang.

b. Riba Yad

Jual beli dengan mengakhirkan penyerahan (al-qabdu), yakni bercerai-berai antara dua orang yang akad sebelum timbang terima, seperti menganggap sempurna jual beli antara gandum dengan sya’ir tanpa harus saling mneyerahkan dan menerima di tempat akad.

c. Riba Nasi’ah 

Riba Nasi’ah, yakni jual-beli yang pembayarannya diakhirkan, namun ditambahkan harganya. Menurut ulama Syafi’iyah, riba yad dan riba nasi’ah sama-sama terjadi pada pertukaran barang yang sejenis. Bedanya, riba yad mengakhirkan pemegangan barang, sedangkan riba nasi’ah mengakhirkan hak dan ketika akad dinyatakan bahwa waktu pembayaran diakhirkan meskipun sebentar. Al-Mutawalli menambahkan, jenis riba dengan riba qurdi (mensyaratkan adanya manfaat). Akan tetapi, Zarkasyi menempatkannya pada riba fadhl. 


C. Pendapat Para Fuqaha tentang Keharaman Riba

Ulama sepakat menetapkan riba fadhl  pada tujuh barang, seperti terdapat pada nash, yaitu emas, perak, gandum, syair, kurma, garam, dan anggur kering. Pada benda-benda ini, adanya tambahan pada pertukaran sejenis diharamkan.

Adapun pada barang selain itu, para ulama berbeda pendapat:

Zhahiriyyah hanya mengharamkan ketujuh benda tersebut.

Menurut pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad dan Abu Hanifah, riba fadhl terjadi pada setiap jual-beli barang sejenis dan yang ditimbang.

Imam Syafi’iyah dan sebagian pendapat Imam Ahmad berpendapat bahwa riba fadhl dikhususkan pada emas dan perak dan makanan meskipun ditimbang.

Sa’id Ibn Musayyab dan sebagian riwayat Ahmad menkhususkannya pada makanan jika ditimbang.

Imam Malik mengkhususkannya pada makanan pokok.

Untuk lebih jelasnya, perbedaan pendapat tersebut akan dijelaskan dibahwa ini:

1. Madzhab Hanafi

Illat riba fadhl menurut ulama Hanafiyah adalah jual beli yang ditakar atau ditimbang serta barang yang sejenis, seperti emas, perak, gandum, syair, kurma, garam, dan anggur kering. Dengan kata lain jika barang-barang yang sejenis dari barang-barang yang telah disebutkan diatas, seperti gandum dengan gandum ditimbang untuk diperjual belikan dan terdapat tambahan dari salah satunya, terjadilah riba fadhl. 

Adapun jual-beli pada selain barang-barang yang ditimbang, seperti hewan, kayu dan lain-lain tidak dikatakan riba meskipun ada tambahan dari salah satunya, seperti menjual satu kambing dengan dua kambing sebab tidak termasuk barang yang bisa ditimbang. Ulama hanafiyah mendasarkan pendapat mereka pada hadist sahih dari Said Al-Khudri dan Ubadah Ibn Shanit r.a..

Di antara hikmah diharamkannya ribab adalah untuk menghilangkan tipu-menipu  di antar manuusia dan juga menghindari kemudharata. .

2. Madzhab Malikiyah

Illat diharamkannya riba menuturut ulama Malikiyah pada emas dan perak adalah harga, sedangkan mengenai illat riba dalam makanan, mereka berbeda pendapat dalam hubungannya dengan riba nasi’ah dan riba fadhl.

Illat diharamkannya riba nasi’ah dalam makanan adalah sekadar makanan saja (makanan selain untuk mengobati), baik karena  pada makanan tersebut terdapat unsur penguat (makanan pokok) dan kuat disimpan lama atau tidak ada kedua unsur tersebut.

Illat diharamkannya riba fadhl pada makanan adalah makanan tersebut dipandang sebagai makanan pokok dan kuat disimpan lama.

Alasan ulama Malikiyah menetapkan illat di atas antara lain, apabila riba dipahami agar tidak terjadi penipuan diantara manusia dan dapat saling menjaga, makanan tersebut haruslah dari makanan yang menjadi pokok kehidupan manusia, yakni makanan pokok, seperti gandum, padi, jagung, dan lain-lain.

3. Madzhab Syafi’iyah 

  Illat riba pada emas dan perak adalah harga, yakni kedua barang  tersebut dihargakan atau menjadi harga sesuatu. Begitu pula uang, walaupun bukan terbuat dari emas, uang pun dapat menjadi harga sesuatu.

Illat pada makanan adalah segala sesuatu yang bisa dimakan dan memenuhi tiga kriteria berikut.

a. Sesuatu yang biasa ditujukan sebagai makanan atau makanan pokok.

b. Makanan yang lezat atau yang dimaksudkan untuk melezatkan makanan, seperti ditetapkan dalam nash adalah kurma, diqiyaskan padanya, seperti tin dan anggur kering.

c. Makanan yang dimaksudkan untuk menyehatkan badan dan memperbaiki makanan, yakni obat. Ulama Syafi’iyah antara lain  beralasan bahwa makanan yang dimaksudkan adalah untuk menyehatkan badan termasuk pula obat untuk menyehatkan badan.

Dengan demikian, riba dapat terjadi pada jual beli makanan yang memenuhi kriterian di atas. Agar terhindar dari unsur riba, menurut ulama Syafi’iyah, jual-beli harus memenuhi keirteria :

a. Dilakukan waktu akad, tidak mengatikan pembayarannya pada mas ayang kan datang

b. Sama ukurannya.

c. Tumpang terima.

Menurut ulama Syafi’iyah, jika makanan tersebut berbeda jenisnya, sperti menjual gandum dengan jagung, dibolehkan adanya tambahan. Golongan ini mendasarkan pendapatnya pada hadist.

“(Jual-beli) emas dengan emas, perak dnegan perak, gandum dengan gandum, yair dengan syair, kurma dengan kurma, garam dengan garam, keduanya sama, tumpang terima. Jika tidak sejenis, juallah sekehendakmu asalkan tumpang terima.”

Selain itu, dipandang tidak riba walaupun ada tambahan jika asalnya tidak sama meskipun bentuknya sama, seperti menjual tepung gandum dengan tepung jagung.

4. Madzhab Hambali

Pada madzhab ini terdapat tiga riwayat tentang illat riba, yang paling masyhur adalah seperti pendapat ulama Hanafiyah. Hanya saja, ulama, Hanabilah mengharamkan pada setiap jual beli sejenis yang ditimbang dengan satu kurma.

Riwayat kedua adalah sama dengan illat yang dikemukakan ulama Syafi’iyah.

Riwayat ketiga, selain pada emas dan perak adalah pada setiap makanan yang ditimbang, sedangkan pada makanan yang tidak ditimbang tidak dikategorikan riba walaupun ada tambahan. Demikian juga pada sesuatu yang tidak dimakan manusia. Hal itu sesuai dengan pendapat Said Ibn Musayyab  yang mendasarkan pendapatnya pada hadis Rasulullah SAW :

“Tidak da riba, kecuali pada yang ditimbang atau dari yang dimakan dan diminum.”(HR. Daruquthni)

5. Madzhab Zhahiri

Menurut golongan ini, riba tidak dapat di-illat-kan, sebab ditetapkan dengan nash saja.  Dengan demikian, riba hanya terjadi pada barang-barang yang telah ditetapkan pada hadis diatas, yaitu enam macam sebab golongan ini mengingkari adanya qiyas.

Kesimpulan dari pendapat para ulama di atas antara lain : 

Illat riba menurut Hanafiyah dan Hambaliah adalah timbangan atau ukuran (alkali wa alwajn), sedangkan menurut ulama Malikiyah adalah makanan pokok dan makana yang tahan lama, dan menurut ulama Syafi’iyah adalah makanan.


D. Hikmah diharamkannya Riba dalam Islam

Mengenai keharaman riba, Allah SWT telah berfirman dalam Al-Qur`an surat Ali Imran ayat 130:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda, dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (Q.S. Ali Imran: 130)

Begitupun dalam hadis Nabi Muhammad SAW telah disebutkan mengenai keharaman riba,

الذهب بالذهب والفضة بالفضة والبر بالبر والشعير بالشعير والتمر بالتمر والملح بالملح مثلا بمثل، سواء بسواء، يدا بيد، فمن زاد أو استزاد فقد أربى. رواه مسلم

Emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (sejenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan korma, dan garam dijual dengan garam, takarannya sama rata dan dibayar dengan kontan. Siapapun yang menambah atau meminta tambahan maka ia telah melakukan riba. (HR. Muslim)

Imam ar-Razi memaparkan sebab-sebab mengapa Islam melarang transaksi riba. Di antaranya ada 4 alasan yang menjadikan transaksi riba dilarang dalam Islam.

Pertama, merampas kekayaan orang lain. Dengan melakukan riba, tentunya kita telah melakukan penambahan dalam proses pembayarannya. Misal satu rupiah ditukar dengan dua rupiah, satu kilo ditukar dengan dua kilo, atau dalam takaran Arab satu wasaq ditukar dengan dua wasaq. Jenis transaksi seperti ini sangatlah dilarang oleh Islam, sebab akan merugikan salah satu pihak.

Begitupun dalam peminjaman utang yang disertai riba. Si peminjam dikenai batas waktu untuk membayar, namun ada penambahan di setiap pembayaran tanpa melalui kesepakatan. Hal tersebut akan mencekik si peminjam di kemudian hari.

Imam ar-Razi menentang praktik seperti ini sebab keuntungan yang diperoleh kreditor tidak masuk akal, sebab seharusnya kreditor menginvestasikan uangnya untuk dikembangkan dalam usaha-usaha yang dapat mendatangkan keuntungan, namun kenyataannya ia tidak menginvestasian modalnya tersebut, namun meminjamkannya dengan menuntut pembayaran lebih.

Kedua, merusak moralitas. Kita telah banyak menyaksikan kehancuran dan kebobrokan yang disebabkan oleh uang. Dari mulai perebutan kekuasaan sampai kasus suap-menyuap. Hati nurani sebagai cerminan jiwa yang paling murni dari keutuhan seseorang dapat runtuh dengan uang yang sudah merasukinya.

Orang yang sudah gila harta, dan melakukan riba akan sangat tega merampas apa saja yang dimiliki oleh si peminjam, kaya maupun miskin. Padahal ada satu pertimbangan khusus yang mesti dipehatikan bagi si peminjam, yaitu jika dia kesulitan maka boleh utangnya ditangguhkan, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur`an surat al-Baqarah ayat 280:

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ ۚ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah: 280)

Ketiga, melahirkan kebencian dan permusuhan. Bila egoisme akan harta telah merasuk di jiwa seseoang, maka tidak mustahil akan terjadi permusuhan dan kebencian, terutama antara si kaya dan si miskin.

Keempat, yang kaya semakin kaya dan yang miskin akan semakin miskin. Keadaan seperti ini dapat kita pahami terutama saat kebijakan uang semakin ketat atau dapat disebut tight money policy. Dalam keadaan seperti ini, si kaya akan memeroleh suku bunga yang sangat tinggi, sementara dikarenakan mahal, maka si miskin pun bertambah miskin karena kesulitan untuk meminjam dan membuka usaha.

Di antara hikmah-hikmah diharamkannya riba yaitu menguji keimanan seorang hamba dengan ketaatan, baik berupa tuntutan untuk melakukan perbuatan atau tuntutan untuk meninggalkannya:

1. Untuk melindungi harga seorang muslim agar tidak diambil secara batil atau dimakan secara batil.

2. Mengarahkan kaum muslimin untuk mengembangkan hartanya cengan cara-cara terhormat yang bersih dari rekayasa atau tipuan, serta jauh dari hal-hal yang memberatkan kaum muslimin dan menimbulkan permusuhan diantara mereka, misalnya bertani, industry atau perdagangan yang benar dan bersih.

3. Menutup jalan yang dapat mengantarkan kepada permusuhan dan memberatkan kepada saudara sesame muslin serta hal-hal yang menimbulkan kebencian.

4. Menjauhkan seorang muslin dari hal yang dapat menyebabkan kebinasaan, karena pemakan riba adalah orang yang zalim, sedangkan akibat dari kezaliman adalah keburukan. Allah S.W.T berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّمَا بَغْيُكُمْ عَلَىٰ أَنْفُسِكُمْ

Hai manusia, sesungguhnya (bencana) kezalimanmu akan menimpa dirimu sendiri; (hasil kezalimanmu) itu  sendiri

Rosulullah bersabda :

وعن جابر - رضي الله عنه - أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: أتقوا الظلم فإن الظلم ؛ ظلمات يوم القيامة، واتقوا الشح فإن الشح أهلك من كان قبلكم؛ حملهم على أن سفكوا دماءهم واستحلوا محارمهم"


Hindarilah kezaliman karena kezaliman adalah kegelapan pada hari kiamat, jauhilah sifat kikir karena kikir itu telah menghancurkan orang-orang sebelum kalian yang menyebabkan mereka menumpahkan darah dan menghalalkan yang diharmkan (HR. Imam Ahmad)


5. Membuka pintu-pintu kebaikan pada diri seorang muslim untuk dijadikan bekal di akhirat, yaitu dengan menghutangi saudaranya tanpa bunga, memberikan pinjaman dan menunggu sampai mampi melunasi memberik kemudahan dan menaruh rasa kasihan dalam rangka mencari rida Allah. Karena hal ini terkandung yang dapat menebarkan kasih sayang di antara kaum muslimin, mewujudkan rasa persaudaraan dan saling tulus di antara mereka.


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Riba adalah pemberlakuan bunga atau penambahan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok yang dibebankan kepada peminjam.

Riba terbagi menjadi riba fadhl, riba nasi’ah, dan riba Yad. 

Riba Fadhl, yaitu praktik pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan tersebut masih termasuk dalam jenis barang ribawi.

Riba Nasi’ah, yaitu penangguhan penyerahan/ penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnyaRiba fadhl.

Riba Yad, yaitu jual beli dengan mengakhirkan penyerahan (al-qabdu), yakni bercerai-berai antara dua orang yang akad sebelum timbang terima, seperti menganggap sempurna jual beli antara gandum dengan sya’ir tanpa harus saling mneyerahkan dan menerima di tempat akad.


DAFTAR PUSTAKA


Ad-Duwaisy, Ibrahim. 2006. Jual Beli Yang Dibolehkan Dan Yang Dilarang.Bogor: Pustaka Ibnu Katsir. (online). (https://almanhaj.or.id/4044-riba-pengertian-dan-macam-macamnya.html. 12 Juli 2019)

Antonio, Syafii.Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Gema Insani, Jakarta, hal. 80-82. (online). (https://islami.co/mengapa-riba-diharamkan-ini-alasannya/)

Syafe’I, Rachmat. 2001. Fiqih Muamalah. Bandung: CV Pustaka Setia

https://www.maxmanroe.com/vid/finansial/pengertian-riba.html

https://www.syariahbank.com/pengertian-riba-dalam-islam-dan-macam-macam-riba/

http://www.ilmuekonomi.net/2016/07/hikmah-dan-manfaat-diharamkannya-riba.html


0 Response to "Makalah Riba Dalam Islam"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel