Makalah Jual Beli Dalam Islam

 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Agama Islam mengatur setiap segi kehidupan umatnya. Mengatur hubungan seorang hamba dengan Tuhannya yang biasa disebut dengan muamalah ma’allah dan mengatur pula hubungan dengan sesamanya yang biasa disebut dengan muamalah ma’annas. Aspek kajiannya adalah sesuatu yang berhubungan dengan muamalah atau hubungan antara umat satu dengan umat yang lainnya. Mulai dari jual beli, sewa menyewa, hutang piutang dan lain-lain.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap hari, setiap muslim pasti melaksanakan suatu transaksi yang biasa disebut dengan jual beli. Si penjual menjual barangnya, dan si pembeli membelinya dengan menukarkan barang itu dengan sejumlah uang yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.Jika zaman dahulu transaksi ini dilakukan secara langsung dengan bertemunya kedua belah pihak, maka pada zaman sekarang jual beli sudah tidak terbatas pada satu ruang saja. Dengan kemajuan teknologi, dan maraknya penggunaan internet, kedua belah pihak dapat bertransaksi dengan lancar.


B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan jual beli?

2. Bagaimana perbedaan jual beli dan Riba?

3. Apa saja macam jual beli?

4. Bagaimana rukun dan syarat jual beli?

5. Bagaimana kedudukan dan hukum jual beli dalam Islam?


C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui pengertian jual beli.

2. Untuk mengetahui perbedaan jual beli dan Riba.

3. Untuk mengetahui macam jual beli.

4. Untuk mengetahui rukun dan syarat jual beli.

5. Untuk mengetahui kedudukan dan hukum jual beli dalam Islam.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Jual Beli

Jual beli terdiri dari dua suku kata yaitu “jual” dan “beli”, yang mempunyai arti bertolak belakang. Kata jual beli menunjukkan adanya perbuatan menjual, sedangkan kata beli menunjukkan adanya perbuatan membeli. Perbuatan jual beli menunjukkan adanya perbuatan dalam satu peristiwa yaitu satu pihak menjual dan pihak lain membeli, maka dalam hal ini terjadilah hukum jual beli. Jual beli dalam istilah ahli fiqih disebut juga dengan al-bai’ yang berarti menjual, mengganti, dan menukar (sesuatu dengan sesuatu yang lain). Lafal al-bai’ dalam bahasa arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yaitu kata asy-syira’ (beli). Dengan demikian, kata al-bai’ berarti jual, tetapi sekaligus juga berarti beli.

Pengertian jual beli menurut bahasa adalah menukarkan sesuatu dengan sesuatu. Dan dari sumber yang lain menyebutkan bahwa pengertian penjual adalah memberikan sesuatu karena ada pemberian (imbalan yang tertentu).

Menurut Imam Taqiyuddin, jual beli adalah tukar menukar harta, saling menerima, dapat dikelola (tasharruf) dengan ijab kabul, dengan cara yang sesuai dengan syara’. 

Menurut Sayyid Sabiq, jual beli adalah penukaran benda dengan benda lain saling merelakan atau memindahkan hak milik dengan ada penggantinya dengan cara yang diperbolehkan.

Menurut Hasbi ash-Shiddieqy, jual beli adalah akad yang tegak atas dasar penukaran harta dengan harta, maka jadilah penukaran hak milik secara tetap.

Menurut Hendi Suhendi jual beli adalah suatu perjanjian tukar-menukar barang atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela diantara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain yang menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telahdibenarkan syara‟ dan disepakati.

Menurut Ayyub Ahmad jual beli adalah ialah menukar suatu barang dengan barangyang lain atau penukaran barang dengan uang dengan cara tertentu.

Dari beberapa definisi jual beli diatas dapat disimpulkan bahwa jual beli secara lughawi merupakan suatu bentuk pertukaran. Sedangkan secara istilah merupakan proses dimana seorang penjual menyerahkan barangnya kepada pembeli setelah mendapatkan kesepakatan mengenai barang yang akan diperjualbelikan tersebut dan adanya nilai tukar atas barang yang dibeli dengan kesesuaian memperhatikan ketentuan syara’.


B. Perbedaan Jual Beli dan Riba

Allah Ta’ala berfirman:

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا ۗ وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ

“Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal, Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”. (Q.S Al-Baqarah, 2:275)

Mengapa Allah melarang riba dan membolehkan jual beli? Ini disebabkan adanya perbedaan mendasar antara keduanya.

Jual-beli (البيع) secara bahasa diartikan :

*مبادلة المال بالمال تمليكا وتملكا*

“Pertukaran harta dengan harta dengan kepemilikan dan penguasaan”.

Didefinisikan secara rinci dengan :

“Penyerahan barang dari penjual kepada pembeli dengan jalan melepaskan hak kepemilikan, setelah adanya kesepakatan harga dan atas dasar saling merelakan”.

Sedangkan, riba (الربا) adalah tambahan (زيادة) tanpa imbalan (بِلاَ عِوَض ) yang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran (زيادة الأجل) yang diperjanjikan sebelumnya (اشترط مقدما).

Sederhananya, setiap kelebihan (tambahan) pada harta pokok tanpa melalui akad jual beli, maka itu adalah Riba.

Transaksi riba bukanlah transaksi bisnis, karena “mendapatkan hasil tanpa risiko (اَ لْغُنْمُ بِا لْغُرْمِ) dan memperoleh hasil tanpa mengeluarkan biaya ( اَ لْخَرَ جُ بِا ا لضَّمَا نِ)”.

Perbedaan antara jual beli dan riba dari aspek etika dan bisnis, yaitu :

1. Pada jual beli, ada tukar menukar manfaat antara penjual dan pembeli. Pembeli merasa senang terhadap barang yang dibeli dan penjual memperoleh upah atas kemampuannya mengelola modal, tenaga dan waktu dalam menyediakan barang untuk pembeli. Sebaliknya, dalam sudut pandang yang sama, pada transaksi riba tidak adanya tukar menukar manfaat antara debitur dan kreditur. Pihak kreditur beruntung secara pasti dan merugi secara tidak pasti yang diperoleh dari penangguhan waktu.

2. Jual Beli, berapapun besarnya keuntungan yang diambil oleh penjual dari pembeli. Penjual hanya mendapatkannya satu kali, tapi keuntungan yang diambil debitur dari kreditur dalam transaksi riba mempunyai rentetan panjang dan selalu bertambah seiring berlalunya waktu.

3. Transaksi antara pembeli dan penjual selesai bersamaan dengan kesempurnaan tukar menukar barang dengan harga yang disepakati. Adapun didalam transaksi riba, ketika debitur menghabiskan harta kreditur. Maka harta yang dihabiskan tadi harus dikembalikan kepada kreditur disertai tambahan.

4. Dalam jual beli, pedagang mengerahkan skill dan waktunya untuk mendapatkan keuntungan atau upah. Namun dalam transaksi riba, keuntungan diperoleh hanya dengan menyerahkan sejumlah harta yang melebihi kebutuhannya tanpa perlu mengerahkan sedikitpun tenaga dan waktu.


C. Macam-Macam Jual Beli

Jual beli dapat ditinjau dari beberapa segi, yaitu dari segi obyek jual beli dan segi pelaku jual beli. Ditinjau dari segi benda yang dijadikan obyek jual beli ada tiga:

1. Jual beli benda yang kelihatan, yaitu pada waktu melakukan akad jual beli benda atau barang yang diperjualbelikan ada di depan penjual dan pembeli. Hal ini lazim dilakukan masyarakat banyak.

2. Jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam perjanjian, yaitu jual salam (pesanan). Salam adalah untuk jual beli yang tidak tunai (kontan), pada awalnya meminjamkan barang atau sesuatu yang seimbang dengan harga tertentu, maksudnya adalah perjanjian sesuatu yang penyerahan barang-barangnya ditangguhkan hingga masa-masa tertentu, sebagai imbalan harga yang telah ditetapkan ketika akad. 

3. Jual beli benda yang tidak ada serta tidak dapat dilihat, yaitu jual beli yang dilarang dalam agama Islam, karena barangnya tidak tentu atau masih gelap, sehingga dikhawatirkan barang tersebut diperoleh dari curian atau barang titipan yang akibatnya dapat menimbulkan kerugian salah satu pihak.

Ditinjau dari segi pelaku akad (subyek) jual beli terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:

1. Akad jual beli yang dilakukan dengan lisan, yaitu akad yang dilakukan oleh kebanyak orang, bagi orang bisu diganti dengan isyarat yang merupakan pembawaan alami dalam menampakkan kehendak, dan yang dipandang dalam akad adalah maksud atau kehendak dan pengertian, bukan pembicaraan dan pernyataan.

2. Penyampaian akad jual beli melalui utusan, perantara, tulisan atau surat menyurat, jual beli seperti ini sama dengan ijab qabul dengan ucapan, misalnya via pos dan giro. Jual beli ini dilakukan antara penjual dan pembeli tidak berhadapan dalam satu majlis akad, tapi melalui pos dan giro. Jual beli seperti ini dibolehkan menurut syara’. Dalam pemahaman sebagian ulama, bentuk ini hampir sama dengan bentuk jual beli salam, hanya saja jual beli salam antara penjual dan pembeli saling berhadapan dalam satu majlis akad. Sedangkan dalam jual beli via pos dan giro antara penjual dan pembeli tidak berada dalam satu majlis akad.

3. Jual beli dengan perbuatan (saling memberikan) atau dikenal dengan istilah mu’athah, yaitu mengambil dan memberikan barang tanpa ijab dan qabul, seperti seseorang mengambil rokok yang sudah bertuliskan label harganya, dibandol oleh penjual dan kemudian memberikan uang pembayaran kepada penjual. Jual beli dengan cara demikian dilakukan tanpa ijab qabul antara penjual dan pembeli, menurut sebagian ulama Syafi’iyah tentu hal ini dilarang, tetapi menurut sebagian lainnya, seperti Imam Nawawi membolehkan jual beli barang kebutuhan sehari-hari dengan cara demikian, yaitu tanpa ijab qabul terlebih dahulu.

Dalam hal jual beli ada tiga macam yaitu jual beli yang sah dan tidak terlarang, jual beli yang terlarang dan tidak sah, jual beli yang sah tetapi terlarang, monopoli dan najsi.

1. Jual beli yang sah dan tidak terlarang yaitu jual beli yang diizinkan oleh agama artinya, jual beli yang memenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya.

2. Sedangkan jual beli yang terlarang dan tidak sah yaitu jual beli yang tidak diizinkan oleh agama, artinya jual beli yang tidak memenuhi syarat dan rukunnya jual beli.

Jual beli yang terlarang dan tidak sah diantaranya adalah: jual beli barang najis, Jual beli anak hewan yang masih berada dalam perut induknya, jual beli yang ada unsur kecurangan dan jual beli sperma hewan.

3. Dan jual beli yang sah tapi terlarang yaitu jual belinya sah, tidak membatalkan akad dalam jual beli tapi dilarang dalam agama Islam karena menyakiti si penjual, si pembeli atau orang lain; menyempitkan gerakan pasaran dn merusak ketentraman umum.

Jual beli yang sah tetapi terlarang diantaranya :membeli barang dengan harga mahal yang tujuannya supaya orang lain tidak dapat membeli barang tersebut, Membeli barang yang sudah dibeli orang lain yang masih dalam hiyar, Mencegat para pedagang dan membeli barangnya sebelum mereka sampai dipasar dan sewaktu mereka belum mengetahui harga pasar. Membeli barang untuk ditimbul dan setelah harganya mahal baru dijual, menjual barang yang menjadi alat maksiat bagi pembelinya, dan mengecoh urusan jual belibaik dari pembeli maupun penjual dalam keadaan barang atau ukurannya.

4. Monopoli yaitu menimbun barang dengan tujuan supaya orang lain tidak dapat membelinya dan najsyi adalah menawar barang dengan tujuan untuk mempengaruhi orang lain agar membeli barang yang ditawarkannya.


Jual Beli yang Diperbolehkan Dalam Islam

1. Bai’ al-Sil’ah bi al-Naqd (بيع السلعة بالنقد)

Bai’ al-Sil’ah bi al-Naqd yaitu menjual suatu barang dengan alat tukar resmi atau uang. Jenis jual beli ini termasuk salah satu jenis jual beli yang paling banyak dilakukan dalam masyarakat dewasa ini. Contoh Bai’ al-Sil’ah bi al-Naqd adalah membeli pakaian atau makanan dengan uang rupiah sesuai dengan harga barang yang telah ditentukan.

2. Bai’ al-Muqayadhah (بيع المقايضة)

Bai’ al-Muqayadhah yaitu jual beli suatu barang dengan barang tertentu atau yang sering disebut dengan istilah barter. Jenis jual beli ini tidak hanya terjadi pada zaman dulu saja, namun juga masih menjadi salah satu pilihan masyarakat dewasa ini. Hal sangat prinsip yang harus diperhatikan dalam menjalankan jenis jual beli ini adalah memperhatikan aspek-aspek yang terkait dengan etika berbisnis dalam Islam. Selain itu, prinsip lain yang juga harus diperhatikan adalah hal-hal yang dapat menimbulkan kerugian di antara kedua belah pihak serta tidak memunculkan aspek ribawi, terutama terkait dengan penukaran (barter) antara dua barang sejenis dengan perbedaan ukuran dan harga. Contoh Bai’ al-Muqayadhah adalah menukar beras dengan jagung, pakaian dengan tas, atau binatang ternak dengan barang tertentu lainnya.

3. Bai’ al-Salam (بيع السلم)

Bai’ al-Salam yaitu jual beli barang dengan cara ditangguhkan penyerahan barang yang telah dibayar secara tunai. Praktik jual beli jenis ini dapat digambarkan dengan seorang penjual yang hanya membawa contoh atau gambar suatu barang yang disertai penjelasan jenis, kualitas dan harganya, sedangkan barang yang dimaksudkan tidak dibawa pada saat transaksi terjadi. Jenis jual beli ini termasuk jual beli yang dibolehkan dalam Islam, selama dilakukan dengan suka rela dan tetap memperhatikan hak dan tanggung jawab masing-masing pihak. Dengan ketentuan ini, maka tidak ada pihak yang dirugikan setelah salah satu pihak (pembeli) menyerahkan sejumlah uang kepada pihak yang lain (penjual/sales). Contoh Bai’ al-Salam adalah membeli perabotan rumah tangga, seperti kursi, meja atau almari dari seorang sales yang menawarkan barang dengan membawa contoh gambar/foto barang. Selanjutnya, barang itu dikirimkan kepada pembeli setelah dibayar terlebih dahulu. Contoh lainnya adalah jual beli barang yang dipajang melalui media atau jaringan internet (iklan). Calon pembeli mentransfer sejumlah uang kepada penjual sesuai harga barang, kemudian barang baru dikirim kepada pembeli.

4. Bai’ al-Murabahah (بيع المرابحة)

Bai’ al-Murabahah yaitu menjual suatu barang dengan melebihi harga pokok, atau menjual barang dengan menaikkan harga barang dari harga aslinya, sehingga penjual mendapatkan keuntungan sesuai dengan tujuan bisnis (jual beli). Tatkala seseorang menjual barang, ia harus mempertimbangkan kemampuan daya beli masyarakat, lebih-lebih hal itu untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Dengan demikian, mematok keuntungan yang terlalu tinggi dapat menyulitkan kebutuhan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokok. Dalam menentukan besaran keuntungan, maka seorang penjual harus memiliki pertimbangan antara aspek komersial dan sosial untuk saling ta’awun (saling menolong). Pada titik ini, bisnis yang dijalankannya memiliki dua keuntungan sekaligus, yaitu finansial dan sosial. Dalam agama Islam sering disebut “fiddun–ya hasanah wa fil akhirati khasanah (kebahagiaan dunia dan akhirat)”. Contoh Bai’ al-Murabahah adalah menjual baju yang harga aslinya Rp. 35.000,- menjadi Rp.40.000,-. Dengan demikian, penjual mendapatkan keuntungan sebesar Rp. 5000,-.

5. Bai’ al-Wadhiah (بيع الوضيعة)

Bai’ al-Wadhiah yaitu kebalikan dari jual beli Murabahah, yaitu menjual barang dengan harga yang lebih murah dari harga pokoknya. Sebagai contoh misalnya, seorang menjual hand phone (HP) yang baru dibelinya dengan harga Rp.500.000,- Namun karena adanya kebutuhan tertentu, maka ia menjual HP tersebut dengan harga Rp. 450.000,. Praktik jual beli seperti ini diperbolehkan dalam Islam, selama hal itu dibangun atas prinsip saling rela (‘an–taradin), dan bukan karena paksaan.

6. Bai’ al-Tauliah (بيع التولية)

Bai’ al-Tauliah yaitu jual beli suatu barang sesuai dengan harga pokok, tanpa ada kelebihan atau keuntungan sedikitpun. Praktik jual beli seperti ini digambarkan dengan seseorang yang membeli sebuah motor baru dengan harga Rp. 13.500.000. Mengingat ia memiliki kebutuhan lainnya yang lebih penting atau pertimbangan tertentu, maka motor tersebut dijual dengan harga yang sama. Sepintas, jenis jual beli ini terkesan bertentangan atau menyalahi prinsip dan tujuan jual beli pada umumnya, yaitu untuk mencari keuntungan finansial dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup (ma’isyah) seseorang. Namun perlu difahami bahwa biasanya praktik jual beli al-tauliyah dapat terjadi secara kasuistis karena adanya suatu kondisi tertentu, sehingga ia rela menjual barang yang dimilikinya sesuai harga pokok dan tanpa bermaksud untuk mencari keuntungan sedikitpun. Jual beli semacam ini termasuk hal yang diperbolehkan dalam Islam, selama dibangun di atas prinsip saling merelakan (‘an–Taradhin), dan tidak terdapat unsur paksaan serta kezaliman.

7. Bai’ al-Inah (بيع العينة)

Bai’ al-Inah yaitu jual beli yang terjadi antara dua belah pihak (penjual dan pembeli), di mana seseorang menjual barangnya kepada pihak pembeli dengan harga tangguh lebih tinggi, dan menjual dengan harga lebih murah jika dibayar secara tunai (cash). Dalam fikih Islam, jenis jual beli seperti ini sering juga disebut dengan “al-bai’ bitsamanin ‘ajil” atau jual beli dengan sistem kredit, atau jual beli dengan pembayaran yang ditangguhkan. Jenis jual beli ini hukumnya Mubah (boleh), dengan syarat, penjual harus memperhatikan hak-hak pembeli, penentuan harga yang wajar, dan tidak ada kezaliman. Dengan demikian, terdapat unsur saling tolong-menolong di antara penjual dan pembeli untuk menyediakan dan melonggarkan kesulitan masing-masing pihak. Seorang penjual membantu menyediakan barang bagi calon pembeli sesuai kemampuan daya beli dengan memberikan waktu sesuai kesepakatan. Di sisi lain, penjual juga tidak diperkenankan untuk mencari kesempatan dalam kesempitan dengan memanfaatkan ketidakmampuan ekonomi calon pembeli demi mencari keuntungan semaksimal mungkin. Jika hal ini terjadi, maka pembeli akan merasa terpaksa mengikuti sistem yang ditetapkan penjual, karena kebutuhannya yang mendesak terhadap barang tertentu. Dalam praktik sehari-hari, tidak sedikit orang yang mengkreditkan barang dengan melakukan penyitaan (mengambil kembali) barang yang telah dikreditkan karena pembeli belum sanggup melunasi sesuai batas waktu yang telah ditentukan tanpa memberikan toleransi atau penambahan waktu. Sistem seperti ini tentu merupakan bentuk kezaliman terhadap orang lain yang sangat dibenci dan dilarang oleh ajaran Islam.

8. Bai’ al-Istishna’ (بيع الاستصناع)

Bai’ al-Istishna’ yaitu jenis jual beli dalam bentuk pemesanan (pembuatan) barang dengan spesifikasi dan kriteria tertentu sesuai keinginan pemesan. Pemesan barang pada umumnya memberikan uang muka sebagai bentuk komitmen dan keseriusan. Setelah terjadinya akad atau kesepakatan tersebut, kemudian penjual memproduksi barang yang dipesan sesuai kriteria dan keinginan pemesan. Bentuk jual beli ini sepintas memiliki kemiripan dengan jual beli Salam (bai’ al-Salam), namun tetap terdapat perbedaan. Di dalam jual beli Salam, barang yang ditransaksikan sesungguhnya sudah ada, namun tidak dibawa pada saat terjadinya jual beli. Penjual (salesman) hanya membawa foto atau contoh barang (sample) saja, kemudian diserahkan kepada pembeli setelah terjadinya kesepakatan di antara mereka. Sedangkan dalam jual beli istishna’, barang yang diperjual-belikan belum ada dan belum diproduksi. Barang itu baru dibuat setelah terjadinya kesepakatan di antara penjual dan pembeli sesuai kriteria dan jenis barang yang dipesan. Contoh Bai’ al-Istishna’ adalah pemesanan pembuatan kursi, almari dan lain sebagainya kepada pihak produsen barang. Jenis jual beli seperti ini diperbolehkan dalam Islam, sekalipun barang yang diperjual belikan belum ada, asalkan dibangun di atas prinsip saling merelakan (‘an–taradhin), transparan (tidak manipulatif), memegang amanah, serta sanggup menyelesaikan pesanan sesuai kesepakatan yang telah diputuskan bersama.

9. Bai’ al-Sharf (بيع الصرف)

Bai’ al-Sharf  yaitu jual beli mata uang dengan mata uang yang sama atau berbeda jenis (currency exchange), seperti menjual rupiah dengan dolar Amerika, rupiah dengan rial dan sebagainya. Jual beli mata uang dalam fikih kontemporer disebut “tijarah an-naqd” atau “al-ittijaar bi al-‘umlat”. Abdurrahman al-Maliki mendefinisikan bai’ al-sharf sebagai pertukaran harta dengan harta yang berupa emas atau perak, baik dengan sesama jenis dan jumlah yang sama, maupun dengan jenis yang berbeda dan jumlah yang sama ataupun tidak. Menurut para ulama, hukum jual beli mata uang adalah Mubah (boleh), selama memenuhi syarat-syarat tertentu sebagaimana dijelaskan dalam hadits Nabi Muhammad SAW berikut:

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ. – رواه مسلم

“Emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum)  dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, (takaran/timbangannya) harus sama dan kontan. Barangsiapa yang menambah atau meminta tambahan maka ia telah berbuat riba, pemberi dan penerima dalam hal ini sama” [HR. Muslim].

Dalam hadits lain, dijelaskan:

لاَ تَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلاَّ مِثْلاً بِمِثْلٍ ، وَلاَ تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ ، وَلاَ تَبِيعُوا الْوَرِقَ بِالْوَرِقِ إِلاَّ مِثْلاً بِمِثْلٍ ، وَلاَ تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ ، وَلاَ تَبِيعُوا مِنْهَا غَائِبًا بِنَاجِزٍ. – رواه البخاري ومسلم

“Janganlah engkau menjual emas ditukar dengan emas melainkan sama dengan sama, dan janganlah engkau melebihkan salah satunya dibanding lainnya. Janganlah engkau menjual perak ditukar dengan perak melainkan sama dengan sama, dan janganlah engkau melebihkan salah satunya dibanding lainnya. Dan janganlah engkau menjual salah satunya diserahkan secara kontan ditukar dengan lainnya yang tidak diserahkan secara kontan” [HR. al-Bukhari dan Muslim].

Sekalipun kedua hadits tersebut berbicara tentang jual beli atau pertukaran emas dan perak, namun hukumnya berlaku pula untuk mata uang saat ini. Hal ini tidak lain karena sifat yang ada pada emas dan perak saat itu sama dengan uang saat ini, yaitu sebagai alat tukar atau uang (al-nuqud). Menurut para ulama fikih, termasuk Majelis Ulama Indonesia, transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Tidak untuk spekulasi (untung-untungan);

2. Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan);

3. Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis, maka nilainya harus sama dan secara tunai (at-taqabudh);

4. Apabila berlainan jenis, maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dilakukan dan secara tunai

Jual Beli yang Terlarang

Ibnu Rusyd mengklasifikasi bahwa ada dua faktor penyebab rusaknya akad jual beli. Pertama adalah karena faktor dzatiyah (internal) jual beli. Faktor ini disebut juga sebagai sumber pokok rusaknya akad. Setidaknya ada empat hal yang masuk unsur ini, yaitu: 

• karena status haramnya barang yang dijual, 

• adanya unsur gharar (penipuan), 

• adanya unsur riba, 

• dan/atau barang yang dijual dihasilkan melalui turunannya riba.

Faktor kedua adalah karena unsur luar (amrun kharijy; faktor eksternal) yang ikut terlibat di dalam akad antara lain: 

• karena adanya unsur kecurangan (ghabn), seperti tidak bisanya melihat barang yang dijual (al-ghasy) karena ada penghalang antara barang dengan pembeli,

• adanya unsur membahayakan (dlarar), 

• karena keharaman melakukan jual beli itu sendiri, 

• karena tempat dan waktu melaksanakan jual beli lebih penting dibanding jual beli itu sendiri. 

Dari kedelepan sebab di atas, ke depan kita akan kupas tiga penyebab utama rusaknya jual beli dalam forum ini, antara lain sebab adanya gharar, adanya dlarar dan karena waktu dan tempat melaksanakan jual beli. 

Gharar

Gharar secara bahasa bermakna bermakna penipuan secara batil. Adapun pengertian secara syara’, adalah:

وجود جهالة ما في البيع أو شك في حصول أحد عوضيه

Artinya: “Terdapatnya unsur tidak mengetahuinya barang dalam jual beli atau keraguan yang muncul dalam mendapatkan salah satu dari dua barang sebagai gantinya harga yang dibayarkan.” (Ahmad Yusuf, Uqûdu al-Mu’awadlat al-Mâliyyah fi Dlaui Ahkâmi al-Syarī’ah al-Islâmiyyah, Islamabad: Daru al-Nashr bi Jâmi’at al-Qâhirah, tt.: 49)

Ada dua unsur utama penyebab gharar, yaitu: 1) karena tidak mengetahui barang, dan 2) karena terbitnya keraguan atas barang yang menjadi penukar harganya disebabkan adanya dua pilihan yang sulit di-ta’yin(ditentukan). Sebagai contoh, ada dua baju ditaruh dalam gantungan di tempat gelap. Pembeli diminta memilih salah satunya. Barang yang terambil adalah barang yang dibeli. Jual beli seperti ini merupakan contoh dari jual beli yang menimbulkan keraguan disebabkan tidak bisa menta’yin atau mengenal secara pasti terhadap barang yang dibeli.

Ada beberapa model gharar akibat tidak mengetahui barang yang dibeli. Ibnu Rusyd mengklasifikasi model-model gharar akibat tidak mengetahui ini sebagai berikut:

والغرر يوجد في المبيعات من جهة الجهل على أوجه: إما من جهة الجهل بتعيين المعقود عليه، أو تعيين العقد، أو من جهة الجهل بوصف الثمن والمثمون المبيع، أو بقدره أو بأجله إن كان هنالك أجل، وإما من جهة الجهل بوجوده أو تعذر القدرة عليه، وهذا راجع إلى تعذر التسليم، وإما من جهة الجهل بسلامته: أعني بقاءه، وههنا بيوع تجمع أكثر هذه أو بعضها، ومن البيوع التي توجد فيها هذه الضروب من الغرر بيوع منطوق بها وبيوع مسكوت عنها، والمنطوق به أكثره متفق عليه

Artinya: “Gharar yang terdapat dalam transaksi jual beli dengan penyebab tidak mengetahuinya pembeli (juhâlatu al-ba-i’) ada beberapa bentuk: 

• adakalanya karena karena faktor tidak mengetahui barang yang dijual, 

• tidak mengetahui ketentuan akad, 

• tidak mengetahui klasifikasi harga dan barang, atau 

• tidak mengetahui kadarnya, 

• tidak mengetahui temponya jika di dalam akad tersebut terdapat unsur tempo yang disyaratkan. 

• Adakalanya juga karena tidak mengetahui wujud barang, 

• sulit menguasai barang, sehingga sulit untuk diserahterimakan. 

• Gharar kadang juga disebabkan karena tidak mengetahui sifat selamatnya barang, yakni utuhnya barang. 

Berangkat dari sinilah berbagai macam jual beli dikelompokkan menurut banyaknya gharar yang timbul atau karena sebagiannya ada gharar. Secara umum, gharar jual beli ditemukan dalam jual beli manthuq biha. Sebagian yang lain, gharar juga ditemukan dalam jual beli yang maskût ‘anha. Para ulama sepakat, bahwa mayoritas gharar itu ditemukan pada jual beli yang manthuq biha. (Lihat: Abu Al Walīd Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd al-Qurthuby, Bidâyatu al-Mujtahid wa Nihâyatu al-Muqtashid, Surabaya: Al-Hidayah, tt.: 2/111!).

1. Jual Beli Manthuq Biha

adalah jual beli yang ditetapkan haramnya secara nash dan ijma’. Menurut Ibnu Rusyd, ada 13 macam jual beli yang dilarang secara syara’, yaitu: 

1. Jual beli kandungannya kandungan, misalnya menjual janinnya janin ternak yang masih ada dalam kandungan, semacam Multi Level Marketing (MLM)

2. Jual beli sesuatu yang belum tercetak (inden)

3. Jual beli buah yang belum masak/siap dituai

4. Jual beli mulaamasah, yaitu jual beli dengan jalan bahwa barang yang disentuh adalah barang yang dibeli

5. Jual beli munabadzah, yaitu jual beli dengan jalan melempar ke barang yang hendak dibeli. Barang yang terkena lemparan, harus dibeli.

6. Jual beli dengan kerikil

7. Jual beli mu’awamah, yaitu menjual pohon selama beberapa tahun

8. Dua akad jual beli di dalam satu akad

9. Jual beli dengan syarat

10. Jual beli dan pesan 

11. Jual beli buah yang masih ada ditandan dan belum siap dituai, seperti jual beli anggur yang belum berubah warna kulitnya menjadi hitam.

12. Jual beli kandungan hewan

13. Jual beli mani hewan


2. Jual Beli Maskût ‘Anha

adalah jual beli yang masih diperselisihkan kebolehannya atau larangannya oleh ulama dari masa ke masa. Ada banyak macam versi jual beli yang masuk kategori ini. Sebagai contoh misalnya, adalah: jual beli barang yang ghaib (tidak bisa dilihat). Sebagian ulama menyatakan akan ketidakbolehannya jual beli barang ghaib disebabkan kondisi barang yang belum bisa dilihat. Namun, pendapat masyhur dari Imam Syafii menyatakan boleh untuk barang yang bisa disifati dan tidak boleh untuk barang yang belum bisa disifati. Pendapat yang masyhur ini merupakan pendapat yang manshush dari kalangan mazhab Syafi’i. 

Adapun menurut Imam Malik, jual beli barang yang ghaib ini dinyatakan boleh selagi dirasa aman dari perubahan. Pendapat ini didasarkan pada tradisi penduduk Madinah yang sering melakukan praktik jual beli serupa. Menurut Imam Abu Hanifah, jual beli barang yang ghaib adalah boleh meskipun tanpa bisa ditunjukkan karakteristik barang, dengan catatan ada kebebasan khiyar, yaitu apabila barang sudah berada di hadapan pembeli, pembeli boleh memilih antara setuju dengan membeli barang tersebut sehingga transaksi menjadi terus berjalan, atau memilih tidak setuju dengan barang yang dijual sehingga transaksi dibatalkan.


D. Rukun dan Syarat Jual Beli

Perjanjian jual beli merupakan perbuatan hukum yang mempunyai konsekuensi peralihan hak atas sesuatu barang, dan pihak penjual kepada pihak pembeli, maka dengan sendirinya dalam perbuatan hukum haruslah dipenuhi rukun dan syarat-syarat sahnya jual beli. Dengan demikian apapun jenis dan obyek jual beli harus memenuhi rukun syarat menurut syara’. Adapun rukun dan syarat-syarat menurut para ulama ada empat, adanya akad, penjual dan pembeli, barang yang diperjual belikan dan ada nilai tukar pengganti barang (harga barang) yaitu:

1. Akad (Ijab Kabul)

Adalah ikatan kata antara penjual dan pembeli, jual beli dikatakan sah sebelum ijab dan kabul dilakukan. Ijab dan kabul mempunyai pengertian sebagai petunjuk adanya saling kerelaan di antara kedua pihak. Meskipun kerelaan tidak dapat dilihat dengan mata, akan tetapi tanda-tanda kerelaan dapat dilihat dengan adanya ijab dan kabul atau akad.

Adapun syarat sahnya ijab dan kabul adalah sebagai berikut:

a. Dilakukan dalam satu majlis

b. Kesepakatan dalam melakukan ijab dan kabul atas dasar kerelaan diantara keduanya. 

c. Sebuah akad dinyatakan sah apabila disertai dengan lafal jual dan beli. Bentuk kata kerja yang dipakai adalah kata kerja masa lalu (shighat madhiyah). Misalnya penjual berkata “telah kujual padamu” dan pembeli berkata, “telah kubeli darimu”.

2. Penjual dan Pembeli (Aqidain) 

Yang dimaksud dengan aqidain adalah orang yang mengadakan aqad (transaksi). Di sini dapat berperan sebagai penjualdan pembeli. Adapun persyaratan yang harus dipenuhi oleh orang yang mengadakan aqad (transaksi) antara lain:

a. Berakal, agar dia tidak terkicuh, orang yang gila atau bodoh tidak sah jual belinya.

b. Dengan kehendakny[a sendiri (bukan dipaksa) dan didasari asas suka sama. 

c. Keadaannya tidak mubazir (pemboros) karena harta orang yang mubazir itu di tangan walinya. 

d. Baligh, anak kecil tidak sah jual belinya. Adapun anak-anak yangsudah mengerti tetapi belum sampai umur dewasa, menurutpendapat sebagian ulama, bahwa mereka dibolehkan berjual beli barang yang kecil-kecil karena kalau tidak diperbolehkan sudah tentu menjadi kesulitan dan kesukaran sedang agama Islam sekalikalitidak akan mengadakan aturan yang mendatangkan kesulitan kepada pemeluknya.

3. Benda yang Diperjual Belikan (Ma’qud ‘Alaih)

Yang dimaksud ma’qud ‘alaih adalah obyek atau benda yang menjadi sebab terjadinya transaksi jual beli. Adapun benda yang diperjual belikan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Dapat dimanfaatkan

Pengertian barang yang dapat dimanfaatkan tentunya sangat relatif, sebab pada hakekatnya semua barang yang dijadikan obyek jual beli merupakan barang yang dapat dimanfaatkan. Seperti untuk dikonsumsi (beras, buah-buahan, ikan, sayur-mayur danlain-lain), dinikmati keindahannya (hiasan rumah, bunga-bunga, dan lain-lain), dinikmati suaranya (radio, televisi dan lain-lain) serta dipergunakan untuk keperluan yang bermanfaat seperti membeli anjing untuk berburu. 

b. Milik orang yang melakukan akad

Menjualbelikan sesuatu barang yang bukan menjadi miliknya sendiri atau tidak mendapatkan ijin dari pemiliknya adalah tidak sah. Karena jual beli baru bisa dilaksanakan apabila yang berakad tersebut mempunyai kekuasaan untuk melakukan jual beli. 

c. Dapat diserahterimakan

Barang yang diakadkan harus dapat diserahterimakan secara cepat atau lambat, tidak sah menjual binatangbinatang yang sudah lari dan tidak dapat ditangkap lagi, atau barang yang sulit dihasilkannya. 

d. Suci atau benda yang mungkin disucikan

Artinya bahwa barang yang diperjual belikan bukanlah benda yang dikualifikasikan sebagai benda najis atau sebagai benda yang digolongkan sebagai benda haram seperti anjing, babi dan celeng tidak sah untuk diperjual belikan. 

e. Tidak terbatas waktu

Maka dalam jual beli tidak berlaku tenggang waktu tertentu. Sebab jual beli adalah salah satu pemilikan secara penuh yang tidak dibatasi apapun kecuali ketentuan syara'. 

f. Jelas kadar dan wujudnya

Barang yang sedang dijualbelikan harus diketahui banyak,berat, atau jenisnya. Demikian pula harganya harus diketahui sifat,jumlah maupun masanya. Jika barang dan harga tidak diketahui atau salah satu dari keduanya tidak diketahui, maka jual beli tidaksah karena mengandung unsur penipuan. Dari sekian syarat dan rukun jual beli, baik dari segi orang yangmenjalankan akad (aqidain), maupun barang yang dijadikan obyekakad, harusterpenuhi sehingga transaksi jual beli itu sah sebagaimana ketentuan yangdigariskan oleh syari’at Islam. Demikian pula sebaliknya akan dianggap sebagai transaksi yang fasid apabila jual beli tersebut tidak terpenuhi syarat dan rukunnya.


E. Kedudukan dan Hukum Jual Beli Dalam Islam

Hukum asal jual beli adalah mubah (boleh). Allah SWT telah menghalalkan praktik jual beli sesuai ketentuan dan syari’at-Nya. Dalam Surah al-Baqarah ayat 275 Allah SWT berfirman:

وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّﺒﯜا

Artinya :

“…Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan  riba…(Q.S. al-Baqarah, 2:275)

Jual beli yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan syariat agama Islam. Prinsip jual beli dalam Islam, tidak boleh merugikan salah satu pihak, baik penjual ataupun pembeli. Jual beli harus dilakukan atas dasar suka sama suka, bukan karena paksaan. 

Hukum jual beli ada 4 macam, yaitu:

1. Mubah (boleh), merupakan hukum asal jual beli;

2. Wajib, apabila menjual merupakan keharusan, misalnya menjual barang untuk membayar hutang;

3. Sunah, misalnya menjual barang  kepada sahabat atau orang yang sangat memerlukan barang yang dijual;

4. Haram, misalnya menjual barang yang dilarang untuk diperjualbelikan. Menjual barang untuk maksiat, jual beli untuk menyakiti seseorang, jual beli untuk merusak harga pasar, dan jual beli dengan tujuan merusak ketentraman masyarakat.

Landasan atau Dasar Hukum Jual Beli

Landasan atau dasar hukum mengenai jual beli ini disyariatkan berdasarkan Al-Qur’an, Hadist Nabi, dan Ijma’ yakni :

1. Al Qur’an

Yang mana Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa : 29 

“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu makan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu” (QS. An-Nisa, 4:29).

2. Sunnah

Nabi, yang mengatakan:

“Suatu ketika Nabi SAW, ditanya tentang mata pencarian yang paling baik. Beliau menjawab, ’Seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual beli yang mabrur.” (HR. Bajjar, Hakim yang menyahihkannya dari Rifa’ah Ibn Rafi’). Maksud mabrur dalam hadist adalah jual beli yang terhindar dari usaha tipu-menipu dan merugikan orang lain. 

3. Ijma’ 

Ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai. Mengacu kepada ayat-ayat Al Qur’an dan hadist, hukum jual beli adalah mubah (boleh). Namun pada situasi tertentu, hukum jual beli itu bisa berubah menjadi sunnah, wajib, haram, dan makruh.


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Jual beli merupakan proses dimana seorang penjual menyerahkan barangnya kepada pembeli setelah mendapatkan kesepakatan mengenai barang yang akan diperjualbelikan tersebut dan adanya nilai tukar atas barang yang dibeli dengan kesesuaian memperhatikan ketentuan syara’.

Jual beli didefinisikan secara rinci dengan: “Penyerahan barang dari penjual kepada pembeli dengan jalan melepaskan hak kepemilikan, setelah adanya kesepakatan harga dan atas dasar saling merelakan”. Sedangkan, riba (الربا) adalah tambahan (زيادة) tanpa imbalan (بِلاَ عِوَض ) yang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran (زيادة الأجل) yang diperjanjikan sebelumnya (اشترط مقدما).

Jual beli dapat ditinjau dari beberapa segi, yaitu dari segi obyek jual beli dan segi pelaku jual beli. Dalam hal jual beli ada tiga macam yaitu jual beli yang sah dan tidak terlarang, jual beli yang terlarang dan tidak sah, jual beli yang sah tetapi terlarang, monopoli dan najsi.

Adapun rukun dan syarat-syarat menurut para ulama ada empat, adanya akad, penjual dan pembeli, barang yang diperjual belikan dan ada nilai tukar pengganti barang (harga barang).

Hukum asal jual beli adalah mubah (boleh). Allah SWT telah menghalalkan praktik jual beli sesuai ketentuan dan syari’at-Nya. Hukum jual beli ada 4 macam, yaitu: Mubah (boleh), Wajib, Sunah, dan haram. Landasan atau dasar hukum mengenai jual beli ini disyariatkan berdasarkan Al-Qur’an, Hadist Nabi, dan Ijma’


DAFTAR PUSTAKA

1. Syarqawie, Fithriana. 2015. Fikih Muamalah. Banjarmasin:IAIN ANTASARI PRESS.

2. http://eprints.walisongo.ac.id/6598/3/BAB%20II.pdf

3. http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/Bisnis/article/view/1494

4. https://ariesyantoso.wordpress.com/2016/12/14/%E2%80%8Bperbedaan-mendasar-antara-jual-beli-dan-riba/

5. https://bocahhukum.blogspot.com/2018/06/macam-macam-jual-beli-dalam-islam.html?m=1


0 Response to "Makalah Jual Beli Dalam Islam"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel