Kisah Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)
Mukodimah
Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke 14. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan-Tuban di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat para Walisongo ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Ada beberapa pendapat mengenai arti Walisongo. Pertama adalah wali yang sembilan, yang menandakan jumlah wali yang ada sembilan, atau sanga dalam bahasa Jawa. Pendapat lain menyebutkan bahwa kata songo/sanga berasal dari kata tsana yang dalam bahasa Arab berarti mulia. Pendapat lainnya lagi menyebut kata sana berasal dari bahasa Jawa, yang berarti tempat..
Pendapat lain yang mengatakan bahwa Walisongo adalah sebuah majelis dakwah yang pertama kali didirikan oleh Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) pada tahun 1404 Masehi (808 Hijriah).[1] Para Walisongo adalah pembaharu masyarakat pada masanya. Pengaruh mereka terasakan dalam beragam bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat Jawa, mulai dari kesehatan, bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga ke pemerintahan..
Dari nama para Walisongo tersebut, pada umumnya terdapat sembilan nama yang dikenal sebagai anggota Walisongo yang paling terkenal, yaitu:
1. Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim
2. Sunan Ampel atau Raden Rahmat
3. Sunan Bonang atau Raden Makhdum Ibrahim
4. Sunan Drajat atau Raden Qasim
5. Sunan Kudus atau Ja'far Shadiq
6. Sunan Giri atau Raden Paku atau Ainul Yaqin
7. Sunan Kalijaga atau Raden Said
8. Sunan Muria atau Raden Umar Said
9. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah
1. Sunan Gresik
Foto : google |
Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim. Maulana Malik Ibrahim adalah keturunan ke-11 dari Husain bin Ali. Ia disebut juga Sunan Gresik, Syekh Maghribi, atau terkadang Makhdum Ibrahim As-Samarqandy. Ia diperkirakan lahir di Samarkand di Asia Tengah, pada paruh awal abad ke-14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah orang Jawa terhadap As-Samarqandy. Dalam cerita rakyat, ada yang memanggilnya Kakek Bantal.
Malik Ibrahim umumnya dianggap sebagai wali pertama yang mendakwahkan Islam di Jawa. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam dan banyak merangkul rakyat kebanyakan, yaitu golongan masyarakat Jawa yang tersisihkan akhir kekuasaan Majapahit. Malik Ibrahim berusaha menarik hati masyarakat, yang tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Ia membangun pondokan tempat belajar agama di Leran, Gresik. Pada tahun 1419, Malik Ibrahim wafat. Makamnya terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.
Asal keturunan
Tidak terdapat bukti sejarah yang meyakinkan mengenai asal keturunan Maulana Malik Ibrahim, meskipun pada umumnya disepakati bahwa ia bukanlah orang Jawa asli. Sebutan Syekh Maghribi yang diberikan masyarakat kepadanya, kemungkinan menisbatkan asal keturunannya dari Maghrib, atau Maroko di Afrika Utara.
Babad Tanah Jawi versi J.J. Meinsma menyebutnya dengan nama Makhdum Ibrahim as-Samarqandy, yang mengikuti pengucapan lidah Jawa menjadi Syekh Ibrahim Asmarakandi. Ia memperkirakan bahwa Maulana Malik Ibrahim lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Dalam keterangannya pada buku The History of Java mengenai asal mula dan perkembangan kota Gresik, Raffles menyatakan bahwa menurut penuturan para penulis lokal, “Mulana Ibrahim, seorang Pandita terkenal berasal dari Arabia, keturunan dari Jenal Abidin, dan sepupu Raja Chermen (sebuah negara Sabrang), telah menetap bersama para Mahomedans lainnya di Desa Leran di Jang’gala“. Namun demikian, kemungkinan pendapat yang terkuat adalah berdasarkan pembacaan J.P. Moquette atas baris kelima tulisan pada prasasti makamnya di desa Gapura Wetan, Gresik; yang mengindikasikan bahwa ia berasal dari Kashan, suatu tempat di Iran sekarang. Terdapat beberapa versi mengenai silsilah Maulana Malik Ibrahim. Ia pada umumnya dianggap merupakan keturunan Rasulullah SAW; melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja’far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rumi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali’ Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal, Jamaluddin Akbar al-Husain (Maulana Akbar), dan Maulana Malik Ibrahim.
Penyebaran agama
Maulana Malik Ibrahim dianggap termasuk salah seorang yang pertama-tama menyebarkan agama Islam di tanah Jawa, dan merupakan wali senior diantara para Walisongo lainnya.[9] Beberapa versi babad menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali ialah desa Sembalo, sekarang adalah daerah Leran, Kecamatan Manyar, yaitu 9 kilometer ke arah utara kota Gresik. Ia lalu mulai menyiarkan agama Islam di tanah Jawa bagian timur, dengan mendirikan mesjid pertama di desa Pasucinan, Manyar. Pertama-tama yang dilakukannya ialah mendekati masyarakat melalui pergaulan. Budi bahasa yang ramah-tamah senantiasa diperlihatkannya di dalam pergaulan sehari-hari. Ia tidak menentang secara tajam agama dan kepercayaan hidup dari penduduk asli, melainkan hanya memperlihatkan keindahan dan kabaikan yang dibawa oleh agama Islam. Berkat keramah-tamahannya, banyak masyarakat yang tertarik masuk ke dalam agama Islam. Sebagaimana yang dilakukan para wali awal lainnya, aktivitas pertama yang dilakukan Maulana Malik Ibrahim ialah berdagang. Ia berdagang di tempat pelabuhan terbuka, yang sekarang dinamakan desa Roomo, Manyar. Perdagangan membuatnya dapat berinteraksi dengan masyarakat banyak, selain itu raja dan para bangsawan dapat pula turut serta dalam kegiatan perdagangan tersebut sebagai pelaku jual-beli, pemilik kapal atau pemodal. Setelah cukup mapan di masyarakat, Maulana Malik Ibrahim kemudian melakukan kunjungan ke ibukota Majapahit di Trowulan. Raja Majapahit meskipun tidak masuk Islam tetapi menerimanya dengan baik, bahkan memberikannya sebidang tanah di pinggiran kota Gresik. Wilayah itulah yang sekarang dikenal dengan nama desa Gapura. Cerita rakyat tersebut diduga mengandung unsur-unsur kebenaran; mengingat menurut Groeneveldt pada saat Maulana Malik Ibrahim hidup, di ibukota Majapahit telah banyak orang asing termasuk dari Asia Barat.
Demikianlah, dalam rangka mempersiapkan kader untuk melanjutkan perjuangan menegakkan ajaran-ajaran Islam, Maulana Malik Ibrahim membuka pesantren-pesantren yang merupakan tempat mendidik pemuka agama Islam di masa selanjutnya. Hingga saat ini makamnya masih diziarahi orang-orang yang menghargai usahanya menyebarkan agama Islam berabad-abad yang silam. Setiap malam Jumat Legi, masyarakat setempat ramai berkunjung untuk berziarah. Ritual ziarah tahunan atau haul juga diadakan setiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal, sesuai tanggal wafat pada prasasi makamnya. Pada acara haul biasa dilakukan khataman Al-Quran, mauludan (pembacaan riwayat Nabi Muhammad), dan dihidangkan makanan khas bubur harisah.
Legenda rakyat
Menurut legenda rakyat, dikatakan bahwa Maulana Malik Ibrahim berasal dari Persia. Maulana Malik Ibrahim Ibrahim dan Maulana Ishaq disebutkan sebagai anak dari Maulana Jumadil Kubro, atau Syekh Jumadil Qubro. Maulana Ishaq disebutkan menjadi ulama terkenal di Samudera Pasai, sekaligus ayah dari Raden Paku atau Sunan Giri. Syekh Jumadil Qubro dan kedua anaknya bersama-sama datang ke pulau Jawa. Setelah itu mereka berpisah; Syekh Jumadil Qubro tetap di pulau Jawa, Maulana Malik Ibrahim ke Champa, Vietnam Selatan; dan adiknya Maulana Ishak mengislamkan Samudera Pasai.
Maulana Malik Ibrahim disebutkan bermukim di Champa (dalam legenda disebut sebagai negeri Chermain atau Cermin) selama tiga belas tahun. Ia menikahi putri raja yang memberinya dua putra; yaitu Raden Rahmat atau Sunan Ampel dan Sayid Ali Murtadha atau Raden Santri. Setelah cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, ia hijrah ke pulau Jawa dan meninggalkan keluarganya. Setelah dewasa, kedua anaknya mengikuti jejaknya menyebarkan agama Islam di pulau Jawa.
Maulana Malik Ibrahim dalam cerita rakyat terkadang juga disebut dengan nama Kakek Bantal. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah, dan berhasil dalam misinya mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Selain itu, ia juga sering mengobati masyarakat sekitar tanpa biaya. Sebagai tabib, diceritakan bahwa ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Champa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.
Wafat
Setelah selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur. Inskripsi dalam bahasa Arab yang tertulis pada makamnya adalah sebagai berikut: Ini adalah makam almarhum seorang yang dapat diharapkan mendapat pengampunan Allah dan yang mengharapkan kepada rahmat Tuhannya Yang Maha Luhur, guru para pangeran dan sebagai tongkat sekalian para Sultan dan Wazir, siraman bagi kaum fakir dan miskin. Yang berbahagia dan syahid penguasa dan urusan agama: Malik Ibrahim yang terkenal dengan kebaikannya. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridha-Nya dan semoga menempatkannya di surga. Ia wafat pada hari Senin 12 Rabi’ul Awwal 822 Hijriah. Saat ini, jalan yang menuju ke makam tersebut diberi nama Jalan Malik Ibrahim.
Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi.
Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh Magribi. Sebagian rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad saw.
Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa, sekarang Kamboja, selama tiga belas tahun sejak tahun 1379. Ia malah menikahi putri raja, yang memberinya dua putra. Mereka adalah Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri. Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya.
Beberapa versi menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali yakni desa Sembalo, daerah yang masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang, adalah daerah Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik.
Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai tabib, kabarnya, ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.
Kakek Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah -kasta yang disisihkan dalam Hindu. Maka sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 M Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur
Maulana Malik Ibrahim yang makamnya terdapat di Gresik, selain disebut sebagai Sunan Gresik, juga sering disebut-sebut sebagai walisanga yang pertama, yang tampaknya hanyalah didasarkan kepada tahun kewafatan yang tertulis pada nisannya, yakni 822 Hijriah, yang berarti 1419 Masehi. Dibandingkan dengan Sunan Ngampel Denta yang dianggap sebagai perintis dan pelopor, dan tahun kewafatannya diduga sekitar tahun 1467, kiranya data semacam ini mengundang sebutan bahwa Malik Ibrahim adalah wali yang pertama di antara para walisanga. Meski hanya dugaan, legenda akan tetap beredar demi pengukuhan. Di antara banyak legenda, kita periksa saja yang ditemukan oleh Husein Djajadiningrat dalam disertasinya Tinjauan Kritis tentang Sajarah Banten (1913).
Sebetulnya yang diteliti oleh Djajadiningrat adalah tentang sifat-sifat penulisan sejarah Jawa, dengan Sajarah Banten sebagai kasusnya, tempat antara lain terdapatnya kisah-kisah walisanga, termasuk juga tentang Maulana (Djajadiningrat mengeja Molana) Malik Ibrahim yang jelas disebutnya sebagai dongeng. Disebutkan dalam Sajarah Banten bahwa Malik Ibrahim adalah penyebar Islam tertua, yang kisahnya berjalin dengan kisah "saudara sepupu"- nya, Putri Suwari yang juga disebut sebagai Putri Leran.
Konon Molana Ibrahim ulama sohor dari Arab, keturunan Zeinulabidin, cicit Nabi Muhammad, menetap dengan sesama orang beriman lainnya di Leran. Lantas datang saudara sepupu lain, raja Cermen dari tanah seberang, yang bermaksud mengislamkan Angkawijaya raja Majapahit - jika berhasil, bahkan ia berniat menghadiahkan putrinya menjadi istri raja Majapahit.
Ringkas cerita, bersualah kedua raja ini di perbatasan, raja Cermen yang diiringi 40 wali mem-persembahkan sebuah delima, diterima tidaknya menjadi ukuran apakah raja itu akan masuk Islam. Disebut betapa raja Majapahit merasa heran, mengapa seorang raja dari seberang mempersembahkan buah delima, seolah-olah buah semacam itu tak ada di Jawa.
Mengetahui yang dipikirkan raja Majapahit, raja Cermen pamit untuk kembali ke Leran, hanya Molana Magfur, putera Malik Ibrahim, tinggal di Majapahit. Ketika buah dibelah, di dalamnya terdapat permata, maka segeralah raja meminta agar Molana Magfur menyusul raja Cermen agar balik ke Majapahit. Raja Cermen ternyata menolak. Ketika sampai di Leran berjangkit penyakit yang membunuh banyak orang. Tiga dari lima orang saudara sepupu yang bersamanya datang dari seberang, Jafar, Sayid Kasim, dan Sayid Ghart tewas pula karenanya - makam mereka terkenal dengan nama kuburan panjang. Tak ketinggalan sakit pula Putri Leran, putrinya, yang berencana ia nikahkan dengan raja Majapahit. Adapun doanya kepada Tuhan adalah, mohon kesembuhan putrinya agar bisa dinikahkan, tetapi kalau raja Majapahit tak bisa masuk Islam mohon agar usia putrinya dipendekkan saja - dan itulah yang terjadi.
Ternyata Angkawijaya menyusul ke Leran, dan ketika mendengar kematian ketiga "pangeran" ia disebutkan menilai rendah kepercayaan raja Cermen, karena tidak bisa menghalangi kematian para pangeran yang masih muda. Sampai di sini Malik Ibrahim berperan lagi, dengan memberi jawaban bahwa ketidakpahaman raja yang seperti itu tentunya diakibatkan penyembahan kepada dewa-dewa, dan bukan kepada Tuhan yang hakiki. Dikisahkan betapa Angkawijaya menjadi murka dan terpaksa ditenangkan para pengikutnya. Pulanglah ia ke Majapahit dan tidak mau mengingat lagi peristiwa yang terjadi tahun 1313 (tentunya penanggalan Saka, meski hanya dalam dongeng) itu. Disebutkan bahwa Malik Ibrahim kemudian pindah dari Leran ke Gresik, setelah meninggal dimakamkan di gerbang timur kota pelabuhan itu.
Makam dan pembongkaran
Masih ada lagi legenda tentang Malik Ibrahim, tetapi mirip cerita sinetron laga, sehingga bagi pembaca Intisari yang budiman lebih berguna disajikan cerita tadi saja, karena pembongkarannya akan menjelaskan beberapa hal.
Pertama, tentang dihubung-hubungkannya Malik Ibrahim dengan Putri Leran. Cerita ini terbentuk tentu karena terdapatnya kuburan atau makam panjang di Leran, yang tanggalnya lebih tua tiga abad. Dalam penelitian J.P. Moquette, batu nisan Malik Ibrahim berasal dari Cambay di Gujarat, sedangkan Djajadiningrat menyebutkan tentang makam di Leran, bahwa "Batu-batu nisan semacam itu masih tiga abad lagi lamanya dipesan di luar Jawa, yaitu di India." Belum bisa disimpulkan apa pun dari data ini, kecuali pengenalan bahwa untuk setiap pernyataan dalam ilmu sejarah dituntut pendasaran yang kuat. Dalam hal makam panjang di Leran, bisa diikuti misalnya beberapa cuplikan dari uraian ahli epigrafi (ilmu tentang prasasti) Louis-Charles Damais dalam artikel "Epigrafi Islam di Asia Tenggara" (1968) dari buku Epigrafi dan Sejarah Nusantara (1995):
"Prasasti paling tua yang dikenal di Jawa berasal dari suatu zaman ketika kebanyakan orang-orang Muslim di pulau itu berasal dari luar; kemungkinan besar mereka adalah pedagang, entah mereka menetap atau hanya singgah, walaupun kemungkinan yang kedua itu jelas lebih besar. Yang dimaksud di sini ialah nisan seorang gadis di kuburan Leran, beberapa kilometer dari Gresik di Jawa Timur, sebelah barat laut pelabuhan besar Surabaya (ucapan Jawanya adalah Suroboyo).
"Oleh karena kami di sini tidak mungkin dapat memerinci dan membahas hasil bacaan Moquette yang telah berjasa sebagai orang pertama yang menafsirkan prasasti itu, ataupun hasil pembacaan Ravaisse yang telah mengadakan beberapa perubahan, cukuplah kami kemukakan bahwa almarhumah bernama binti Maymun, sebagaimana cukup terbukti. Tanggalnya Jumat 7 Radjab 475 tahun Hijriah, atau 2 Desember 1082 M, artinya keesokan hari padanan teoretis menurut Tabel-tabel. Tanggal ini telah menimbulkan perdebatan, oleh karena 70 dan 90 mudah dikacaukan dalam tulisan Arab yang tidak ada tanda diakritiknya dan oleh karena epitaf itu mengandung kesalahan; yang tertulis sesungguhnya ialah ....., jadi harus dibetulkan. Akan tetapi hari pekan yang tercantum itu beserta kemungkinan paleografinya menurut kami merupakan kunci masalah itu, dan padanannya dengan tarikh Julius bagi kami tidak meragukan lagi, seperti telah kami uraikan sebabnya dalam tulisan lain.
"Tidak diketahui siapa gerangan gadis itu. Menurut dongeng setempat, ia adalah seorang putri raja, yaitu Putri Dewi Suwari atau Putri Leran. Unsur ini sudah tentu tidak tepat, karena sengkalan-sengkalan (kalimat yang menunjuk tahun - Red) yang bersangkutan dengan gadis itu menunjuk angka-angka tahun yang kira-kira tiga abad lebih muda, sedangkan prasasti itu sekurang-kurangnya jelas mengenai angka abad dalam tahun Hijriah. Sebuah dongeng dalam teks yang disebut oleh Knebel pada tahun 1906 dan yang ketika itu milik juru kunci makam itu, mengemukakan umpamanya sebuah sengkalan yang diartikan sama dengan 1308 Saka = 1386 (-87) M. Sebuah sengkalan lain sama dengan 1313 Saka = 1391 (-92) M. Lagipula, seandainya binti Maymun itu seorang putri raja, derajatnya pasti tertera pada nisannya, sedangkan di sini tidak. Jadi, sudah boleh dianggap pasti bahwa pada waktu itu yang bersangkutan adalah anak orang asing yang menetap untuk sementara waktu, tetapi yang tidak kita ketahui apa-apanya." Intisari sendiri juga belum memeriksa, bagaimana diketahui bahwa yang disebut sebagai gadis itu bukannya nenek-nenek.
Kedua, dan dengan begitu, layak diperiksa pula fakta mengenai Maulana Malik Ibrahim itu sendiri, apakah sesuai dengan dongengnya, masih memanfaatkan penelitian Louis-Charles Damais yang diterbitkan dua tahun setelah pria Prancis yang menikah dengan perempuan Indonesia itu meninggal pada 1966:
"Yang dikemukakan sekarang ialah prasasti lain, dari daerah yang sama, dari masa tiga abad sesudah prasasti binti Maymun, sebab tanggalnya Senin 12 Rabi al-awwal 822 H = 10 April 1419 M (dua hari sesudah padanannya yang teoretis). Prasasti itu terdapat di sebuah kuburan di Gresik yang bernama Gapura Wetan. Menurut suatu tradisi setempat, makam itu makam salah seorang tokoh yang dianggap termasuk penyebar agama Islam yang pertama di Jawa, yang sering dinamakan Wali Sanga. Bahwasanya dia termasuk salah seorang penyebar utama agama Islam, agaknya patut diragukan, mengingat bahwa penyebaran agama itu di Jawa Timur telah berlangsung jauh lebih awal, akan tetapi sudah tentu tidaklah mustahil bahwa tokoh itu, jika memang berwibawa, telah dapat mengajak orang masuk agama Islam, sehingga hal itu masih dikenang orang. Dia juga dianggap keturunan Nabi yang datang dari Tanah Arab. Dan salah satu namanya menurut dongeng, yang malah menganggapnya sebagai seorang paman Dewi Putri Suwari, adalah Mawlana Maghribi, "Guru dari Barat". Tetapi hal itu tidak tertulis pada nisannya. Prasasti berbahasa Arab itu, yang keadaannya masih baik sekali, tidak menyebutkan asal-usulnya, tetapi kita dapat membaca namanya dengan jelas, yaitu Malik Ibrahim, sebuah nama yang juga masih bertahan dalam tradisi setempat."
0 Response to "Kisah Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)"
Post a Comment